Mengurai salah satu kisah masa sekolah untuk ikutan berbagi cerita tentang sepatu. Kisah sepatuku sayang yang memorable meskipun bukan tentang sepatu merk populer. Setelah saya ingat-ingat dan memvalidasi hasil ingatan tersebut dengan bertanya pada salah satu kakak, alhasil memang kelas 3 SD saya baru bisa memiliki sepatu untuk sekolah.
Bismillahirrahmaanirrahiim, saat sebelum memiliki sepatu untuk sekolah tentu bisa ditebak jika saya ke sekolah dengan ‘nyeker’ alias tanpa alas kaki. Saya masih ingat sepatu pertama saya tersebut warnanya putih berbahan plastik dengan ada strip warna merah dan biru di sebelah tali sepatunya. Aturan tidak tertulis di rumah untuk sepatu sama dengan baju seragam, yaitu: sekali beli harus bisa sampai lulus sekolah. Syukur-syukur jika bisa bertahan untuk masuk sekolah berikutnya.
Kalau soal ukuran sepatu bisa dipastikan akan kebesaran bagi ukuran kaki saya. Cara menyiasatinya agar ‘pas’ dengan besarnya kaki yaitu menambahkan gumpalan kertas di bagian ujung sepatu. Agar bisa awet sampai lulus SD, maka kalau pulang sekolah sepatu tersebut biasanya saya tenteng [kalau berangkat ke sekolah sepatu terpakai dengan manis]. Dan jika sedang musim hujan, akan memberi alasan yang kuat untuk tidak bersepatu ke sekolah dan itu merupakan pemandangan yang sudah biasa bagi guru terhadap saya.
Saat masuk SMP dan SMA berlaku peraturan menggunakan sepatu warna hitam tiap hari sehingga tidak bisa mencari-cari alasan untuk menenteng sepatu lagi [seperti sewaktu masih SD] dalam rangka memperpanjang masa pakai sepatu. Sebenarnya kalau hari Jumat-sabtu aturan menggunakan sepatu agak longgar [jarang ada inspeksi dari guru] sehingga bagi teman-teman yang tak ada masalah untuk membeli sepatu bisa trial pakai sepatu warna lain [tidak hitam].
Jadi cara terbaik yang bisa saya lakukan agar sepatu tersebut bisa bertahan sampai lulus sekolah [selain pertimbangan waktu beli dengan kriteria sepatu yang: lentur, tahan lama dan harganya terbeli/murah] adalah dengan menjahitnya jika sudah muncul ‘mulut’nya [baca:berlubang].
Tentu saja urusan menjahit/sol sepatu juga tidak dibawa ke tukang sol sepatu. Saya harus menjahitnya sendiri dan Alhamdulillah kebetulan untuk urusan menjahit [pakai tangan] saya dan semua saudara bisa melakukannya. Untuk awalnya saya sering melihat dari kakak saya yang nyambi menerima order sol sepatu.
Secara prinsip, menjahit sepatu memang hampir sama dengan menjahit baju hanya berbeda pada alatnya [jarumnya lebih besar dan benangnya menggunakan senar]. Dengan cara demikian akhirnya bisa mencukupkan 1 pasang sepatu untuk satu masa sekolah.
Kisah sepatu ku sayang masih berlanjut ketika kuliah dan ini yang sampai sekarang masih membuat saya terheran-heran [sambil tersenyum] sendiri jika mengenangnya. Karena situasi [finansial] yang kurang mendukung, maka sepatu kuliah yang saya gunakan dengan membeli sepatu second. Saya masih ingat betul kala itu, diantar oleh kakak ipar untuk membeli di PKL yang ramai berjualan di sekitar Stadion Tambaksari setiap malam. Setelah beberapa kali memilih, saya pun mantap memilih sepasang sepatu warna hitam berbahan [seperti] kulit yang harganya delapan ribu Rupiah.
Alasan saya tentu saja memilih sepatu yang kuat (baca: awet) dan bisa digunakan untuk all moment: kuliah dan acara kampus lainnya [non akademis] dan istilah 'merk' merupakan bahasa dari planet luar angkasa yang tak ada dalam kamus saya tentang kriteria sepatu yang baik. Dan memang sepatu tersebut bisa bertahan jadi alas kaki yang setia sampai saya lulus kuliah dengan didukung sesekali saya menggunakan sepatu pinjaman dari teman kost [yang kebetulan memiliki sepatu banyak).
Dan saat-saat menjelang akhir dari masa kuliah yaitu ketika tinggal menunggu yudisium dan wisuda, pada suatu siang ketika sedang ngobrol dengan beberapa teman, saya iseng memperhatikan sepatu dengan lebih intens dan saat itulah saya baru menyadari jika sepasang sepatu yang saya gunakan selama ini bukanlah pasangan yang sepasang. Antara sepatu kanan dan kiri ternyata tidak sama, sekilas pandang kelihatan sama: warna hitam, berbahan [seperti] kulit, model bertali, ukuran sama.Tapi modelnya secara keseluruhan sepasang sepatu tersebut hanya tipically terlihat sama.
Untuk memastikan apakah saya tidak salah lihat [silap], saya pun bertanya pada teman di dekat saya.
“ Coba perhatikan sepatuku deh ““ Emang kenapa sepatumu ?” tanyanya masih belum aware dengan tujuan permintaan saya.“ Menurutmu sepatuku itu beneran sepasang atau hanya sekilas saja mirip sepasang sepatu yang berpasangan?”Sejenak teman saya terdiam, untuk kemudian tertawa “ Hebat deh, jadi selama ini kamu gak nyadar jika menggunakan sepatu yang berbeda antara kanan –kira ya, Rie?”.
Apakah saya malu atau minder dengan kenyataan sepatu ku sayang tersebut? Alhamdulillah, ALLAH Ta'ala mempertemukan saya dengan teman-teman yang tidak pernah bersikap ‘bully’ pada orang lain bagaimanapun kondisinya, sehingga saya tetap bisa enjoy dan percaya diri menikmati masa sekolah dan kuliah saya.
“ Sepatu, mungkin terasa biasa bagi sebagian orang, tapi luar biasa bagi sebagian yang lain “