Mengalami dan terjebak dalam kemacetan lalu lintas tentunya hal biasa bagi warga metropolis Jakarta dan Surabaya ( terutama pada rush hour). Tapi tentu bukan hal biasa jika terjebak macet sampai hampir 17 Jam untuk jalur daerah ke arah Banyuwangi (otomatis merupakan jalur darat menuju Bali). Dan inilah yang saya alami pada 26-27 Desember 2011 lalu.
Saya sengaja berangkat lebih awal pada senin itu karena sudah planning akan singgah ke Gresik sebentar (ada sedikit keperluan di sana) kemudian mampir Surabaya dengan tujuan ke Toko Buku (beberapa buku yang masuk book marked belum saya temukan di TB Banyuwangi). Berangkat dari Gresik sudah dipayungi sisa hujan yang masih menggaris rapat, sehingga hanya bisa dropped for while di TP karena dalam cuaca hujan yang ritmis dan waktu yang sudah malam, rasanya tak mungkin lagi untuk ke TB lainnya).
Preambule ‘macet’ sudah dimulai ketika bis kota baru muncul setelah hampir sejam saya menunggu di seberang TP. Sampai di Bungurasih (karena sudah paham suasana terminal), tak perlu banyak meladeni tawaran para calo bus, saya langsung menuju jalur bis arah Banyuwangi. Ketika mendapati bis sudah penuh, saya berniat turun tapi bertemu sang kondektur di pintu dan di ‘bujuk’ masih ada kursi yang kosong. Akhirnya saya pun masuk bis lagi yang sudah siap lepas landas (sekitar jam 22.00) dan ‘nrimo’ dapat kursi ekstra di sebelah pak sopir. Saya pun setting posisi comfort dan safe (terlebih setelah pernah mengalami peristiwa kehilangan dompet plus HP), serta kewajiban membayar tiket sudah selesai, saya pun tidur yang tidak benar-benar tidur pulas buat saya kalau lagi on the trip.
Keluar dari Tol Gempol, saya mendengar pak sopir minta pada kru teknisinya untuk check mesin. Something wrong is happening, saya kurang paham kerusakannya apa, yang jelas beberapa penumpang ngedumel: suara bis sudah aneh sejak awal kok tetap saja berangkat?
Begitulah, semua penumpang di minta turun dan harus mau menunggu bis replacement dari Bungurasih. Almost at the middle of the night di pinggir jalan dekat tanggul lumpur lapindo. It’s okay, I’m not alone. Saya pun check HP, salah satu sms yang masuk dari teman kantor yang asalnya Kediri. “ Mbak, aku mau naik Kereta ternyata tiket KA sold out sampai tahun baru dan sekarang aku belum dapat bis karena penuh semua?” seneng deh ada temannya terlambat kerja #dasarrr.
|
capture from the bus |
Sekitar 1jam menunggu, datanglah bis pengganti dan setelah proses tukar karcis (prosedur naik bis jk di oper ke bis lainnya), maka saya pun segera terlelap. Terjaga lagi saat menyadari posisi bis yang tidak melaju? Beberapa penumpang bilang ada banjir dan pikiran saya langsung pada lokasi dan rute yang sering kena Banjir yaitu daerah Keraton- Pasuruan. Kalau benar terjadi banjir lagi di rute tersebut, maka ini kali keempat banjir keraton pas saat saya dalam rute perjalanan Banyuwangi-Surabaya.
Pengalaman pertama beberapa tahun lalu, saya tiba di Banyuwangi jam 9 pagi. Peristiwa banjir yang kedua, bis yang saya naiki kea rah Surabaya belum sampai terjebak dalam macet karena sudah mendapat info dari temannya sehingga pak sopir mencari jalur alternative blusukan kampung dengan PeDenya. Yang ketiga saat saya naik Travel yang terpaksa menempuh jalan off road (karena sebagian besar rute yang di tempuh jalanan terjal berbatu dengan kanan-kiri jurang, bahkan pernah di suatu tanjakan semua penumpang diminta turun karena mobil tak sanggup menaiki tanjakan) “ Kalau tak ada penumpang yang mau naik pesawat jam 7, saya akan pilih berhenti di Tongas saja Mbak nunggu macetnya bubar”, demikian curhat pak sopir kala itu.
Kalau memang beneran macet karena ada banjir maka nothing I can do except sleep well again #sleeping beauty. Saya pun terjaga lagi tapi bukan karena kaget, perasaan saya sudah lama tertidur kok gak dengar aba-aba kondektur untuk memberitahu penumpang jika ada penumpang yang akan turun atau sudah sampai Terminal? Saya lihat jam tangan saya menunjuk di posisi jam 04.30 dan saya mencoba mengumpulkan nyawa dan kesadaran saya mencari tahu lokasi keberadaan saya…unbelievable bahkan masuk kota probolinggo pun belum??. Bukankah mestinya jam segini sudah masuk wilayah Banyuwangi??? “ Ada macet kenapa sih Pak?” Tanya saya pada kondektur yang kebetulan tak jauh dari saya “Ada trailer melintang di jalan, Mbak…” masuk akal saja deh, lha kalau terjadi banjir sehingga macet kan tentunya banyak yang terjebak macet termasuk trailer, truck, container ekspor, dsb.
Akhirnya saya tak bisa tidur lagi, ‘menikmati’ laju bis yang beringsut perlahan seperti siput di tempat yang licin. Situasi seperti itu, maka say hello kemana-mana biar tetap bisa enjoy meski macet menjebak. Dan konfirmasi terbaru dari teman kantor saya lebih parah, dia masih di sekitar pasuruan yang artinya masih berada di pusat kemacetan “ Mbak Rie, turun saja naik ojek terus pindah ke bisku..” ucapnya berusaha bercanda.
Dasar, masak saya di suruh balik arah menuju ke dia yang entah berapa KM posisinya di belakang saya?. Akhirnya jalur macet usai deh tapi rasa gembira terputus saat mendengar instruksi pak sopir pada kru teknisinya. Oh my God, this the second bus yang rusak?” Koplingnya lepas….” Sepotong kalimat yang saya tangkap. Dan setelah beberapa saat mencoba memperbaiki, finally they give up. Jadi penumpang terlantar episode dua. Dan kali ini tak bisa berharap cepat dapat bis pengganti karena jelas arah dari dan ke Surabaya macet total.
Waktu terasa banget berjalan lambat, battery HP sudah memasuki fase kritis. Mau nekad naik angkutan ke terminal probolinggo, jelas-jelas bis dari arah timur juga ‘berhenti’ karena sudah mendapatkan kabar macet yang super panjang Gempol – Probolinggo (tepatnya daerah Kademangan, ini setelah saya baca ketika posisi bisa melanjutkan perjalanan dan melihat titik terakhir deretan kendaraan yang berjejer). Salah seorang teman menyarankan agar saya kembali saja ke Surabaya, toh jaraknya masih lebih dekat jika ke Surabaya dan akhirnya sama-sama gak bisa masuk kerja kan masih lebih asyik di Surabaya bisa nonton, jalan-jalan, windows shopping, bla..bla..bla…. Gimana mau balik kalau rute ke Surabaya juga macet total, yang artinya:
maju kena,mundur kena (macet).
Capture sambil duduk 'melas' di pinggir jalan
Berada di pinggir jalan lagi, dengan pundak yang mulai pegel nyangklong tas, pindah dari kiri ke kanan, capek duduk ganti berdiri. Bosen di luar pindah naik ke bis dan turun lagi karena gerah di dalam bis. Mau mengeluh kok lebay amat, saya lihat yang bawa barang lebih berat dari saya juga banyak. Apalagi ada yang bawa 3 anak kecil namun mereka tetap tampak sabar meski anak-anaknya mulai rewel. Ada ibu-ibu yang seumuran ibu saya juga tetap tenang (jadi inget Ibu saya yang hari sebelumnya saya cium tangannya saat berpamitan dan mengantarkan keberangkatan saya dengan kalimat “ Ati-ati yo Nduk..”,) Tarik nafas dalam-dalam: I’ll be fine just like them.
Saya yang biasanya alergi bawa makanan, entah kenapa kok waktu berangkat mengambil beberapa potong kue hasil karya sang adik ipar, yang ternyata bisa jadi pengisi perut saya. Hemm, Allah memang selalu sangat baik dengan cara yang serba tak terduga sehingga menggerakkan tangan saya untuk membawa kue, membuat saya bisa menahan untuk pipis bersama para penumpang wanita lainnya. Saya tak melihat satu pun penumpang wanita yang kebelet pipis karena dengan posisi kami jauh dari perkampungan dengan kanan-kiri lahan pertanian maka akan sulit bagi saya dan penumpang wanita lainnya kalau kebelet pipis.
Dalam penantian serba tak menentu itu, ada yang protes pada Pak sopir (dibangunkan dari tidur) di suruh mbetulin tuh bisnya, ada yang mau demo wong bis rusak kok tetap di operasikan, ada yang punya ide untuk carter Angdes yang melintas untuk pergi ke Stasiun Tongas (Lha wong tikaet KA sudah sold out tuh), kami juga berubah seperti orang dari jaman flinestone belum pernah lihat bis: setiap lihat dari kejauhan penampakan bis (setelah dua jam parkir dengan bis rusak), kami teriak kegirangan.
Ternyata yang muncul bis pariwisata dan pariwisata lagi. Tentunya bis yang belum terjebak macet sudah mengambil jalur alternative deh. Dan bagi bis yang sudah terjebak macet, butuh waktu yang lama untuk bisa keluar dari titik kemacetan ( info yang beredar panjangnya jalur macet mencapi 40 KM lebih !) dan posisi teman saya, dia masih little move dari posisi awal 2 jam sebelumnya.
Dan manakala bis non pariwisata yang muncul, ternyata tak bisa menerima luberan penumpang lagi meski kami sudah menyatakan siap berdiri sepanjang perjalanan. Pilihan kami ya tetap harus bisa sabar menunggu bis dari arah Surabaya dan baru kami dapatkan saat pukul 8 lebih dan landing di Banyuwangi jelang jam 3 sore. Demikianlah cerita heboh kemacetan yang saya alami yang masih lebih heboh saat on the land (daripada versi tulisan saya). Sepanjang perjalanan menuju Banyuwangi, hampir semua penumpang yang seperjalanan dengan saya saling bercerita tentang betapa rasanya arggghhhh.....hampir sehari semalam menempuh rute Surabaya – Banyuwangi (belum terhitung saya yang berangkat dari Lamongan juga penumpang lainnya yang mengawali perjalanan dari luar Surabaya), benar-benar memecahkan rekor yang pernah saya alami menuju Dumai beberapa tahun lalu.
Jadi, sekedar kasih saran bagi yang merencanakan long trip Surabaya kearah timur (perhaps wanna go to Bali), mengingat saat ini musim penghujan dan liburan anak sekolah yang otomatis beresiko terjadinya macet seperti yang saya alami apalagi kalau macetnya malam hari para pengguna jalan harus bisa ‘mengatur sendiri’ lalu lintas di jalan, maka sebaiknya persiapkan diri dengan:
Peta local area (terutama wilayah Gempol sampai Probolinggo), sehingga anda bisa segera mencari rute alternative blusukan ataupun off road agar jadwal liburan tidak kacau balau. Yang terjadi kemarin ada bis pariwisata kehabisan BBM saking kelamaannya terjebak macet. Stay turn dengan media informasi On line (kalau di Surabaya ada Radio yang siaran live dan up date by minute tentang jalur lalu lintas).