Prolog dulu ya…: Kembali menjejak akhir pekan dimana diriku adalah bagian dan atau salah satu dari sebuah populasi yang TIDAK membiasakan untuk mensakralkan akhir pekan dengan harus ada acara atau something else similar with hanging around. Jika tidak mudik, maka just follow the flow…kalau butuh keluar untuk sesuatu keperluan ya keluar deh. Dan kebetulan sabtu ini kantor menjadwalkan kaji ulang manajemen dan evaluasi kinerja, mengingat kalau dilakukan pada hari kerja akan mengganggu aktifitas pekerjaan. Acara yang dimulai sejak pagi tersebut akhirnya selesai menjelang jam dua dan mumpung masih lumayan siang maka segeralah teringat untuk membawa motor dekil saya karena saking jarangnya dimandikan menuju bengkel. Setelah saya baca service card, wouuuww…ternyata sudah hampir enam bulan lalu motor keren dan ajaib tersebut saya bawa ke bengkel # Payah.
Prolog yang gak penting ya ? Tapi sedikit ada hubungannya kok #pembelaan diri, karena sewaktu menunggu di bengkel itulah jadi ingat kalau sudah berkomitment untuk event give away yang di adakan oleh putri cahaya. Dalam interval waktu menunggu tersebut, di antara keasyikan mengamati tangan-tangan cekatan sang montir yang mengobrak-abrik beberapa motor yang menjadi pasiennya, sang hujan (yang sudah mengirimkan signalnya sejak kumandang Adzan dhuhur) turun sukses dengan indahnya.
Dan
Bismilllahirrahmaanirrahiim, sejak awal hendak ikutan GA putri cahaya, sudah memilih dengan tekad bulat dan tak goyah meski badai menerjang #lebay judul postingan apakah ini rasa kehilangan. Kenapa saya demikian mantapnya memilih entry tersebut, just simple reason: uraian di dalamnya memberikan cermin alternative untuk ‘melihat’ wajah yang lebih indah dari sebuah rasa kehilangan. Sapaan ‘rasa’ yang awalnya belum bernama ‘kehilangan’ yang menyeruak dan demikian susah ditemukan benang merahnya (kata sang putri cahaya lho?), yang bahkan lebih sulit dari Matematika teknik persamaan differensial parsial satu dimensi ~ nah apalagi saya yang waktu kuliah gak dapat mata kuliah Matematika tentang ini ~ dimana pada alur pencarian ‘rasa’ tersebut pertemukannya dengan Cinderella yang mengatakan jika ekspresi wajahnya hampir mirip ketika dia kehilangan sepatu kaca? Putri tidur, ekspresi tersebut mungkin karena kehilangan masa/waktu?
Pendapat Putri salju berbeda lagi: apa mungkin ~seperti dirinya~ kehilangan nyawa? Kemudian bertemu Anastasia yang memberikan presumptive bilamana rasa yang dialaminya serupa apa yang dirasakannya ketika kehilangan ingatan? Long journey tersebut membawanya pada sebuah cermin yang memantulkan sesosok wajah putri cahaya yang akhirnya bisa mengurai benang kusut akan ‘rasa’ belum bernama (meski benang merahnya gak ketemu tuh kayaknya karena sudah dipakai untuk layangan), dan inilah pantulan cermin dari sang putri cahaya tersebut:
Rindu..
Aku benar-benar mengerti perasaan rindu datang tanpa diundang.
Bahkan ketika akal hilang, rindu tetap bisa menyapa.
Sekelebat wajah-wajah bermunculan di benakku.
Aku tersenyum manis,
Ya Allah terima kasih telah menghadirkan rasa ini untukku.
Teruntuk orang-orang yang selalu mencemaskan diri yang bodoh dan serampangan ini.
Tenang, orang bodoh itu baik-baik saja.
Teruntuk malaikat salju yang tidak henti-hentinya menyelimuti agar aku tidak mencair.
Tenang, serpihan salju itu tidak akan terhempas rata di gundukan salju.
Teruntuk bidadari-bidadari yang selalu membelai mimpiku tiap harinya.
Tenang, bidadari mungil itu tetap kuat menghadapi dera masa yang semakin menua.
InsyaAllah.
Sebuah cermin akan rasa ’kehilangan’ yang memantulkan wajah yang lebih indah bukan? Bahwasanya apa yang kita sebut hilang, adalah mengalami perubahan bentuk dan atau kepemilikan saja bukan? Jadi cobalah menganggap peristiwa kehilangan dalam frame yang equal dengan hukum kekekalan massa. Dan senada dengan entry apakah ini rasa kehilangan, ada satu lagi postingan yang kemudian muncul dalam ingatan dan membuat saya tertarik untuk menambahkan dalam ulasan ini. Bukan hanya karena suasana hujan yang menemani saat menulis, namun kejamakan persepsi yang mengidentikkan hujan dengan ‘rasa kehilangan’. Entry aku, kamu dan hujan yang diikutsertakan dalam event GA
man and the moon yang memenangkan kategori ‘melow’ ini bagi saya sangat puitis plus romantis plus memang melankolis # borongan memujinya…hahahahaa.
“…..Hujan...
Ketika berbicara dengannya, aku seperti berada di depan cermin. Dia begitu mirip denganku sampai-sampai aku ragu dia adalah manusia, mungkin dia sebuah kloning. Apalagi dia banyak melakukan hal-hal yang kusukai. Aneh? Jangan tanya lagi. Hujan, jumpailah dia di pagi hari. Dia sangat senang melihat bulir-bulir airmu yang jatuh di pagi hari. Sampaikan semangatku padanya, semoga hari-harinya diiringi ceria yang tak akan pernah luntur. Hampir lupa, hujan kirimkan juga rasa terima kasihku padanya. Dia telah mengajakku berkeliling kota dan memperlihatkan hal-hal yang spektakular. Lain kali, giliranku untuk mengajaknya ke duniaku, InsyaAllah. Walau aku tidak tahu kapan aku bisa menepati janji itu……”
Pada kenyataannya saya lebih suka lagu
November Rain melihat hujan, mendengar suara hujan, mencium harum aroma tanah kala hujan dan kadang masih suka hujan-hujanan (kalau terpaksa sudah dalam perjalanan).
************************************
“ Kenapa dengan hujan…” tiba-tiba ku dengar ada sapaan merdu menyeruak dalam gerak tarian hujan yang masih mengarsir udara. Saat ku lihat dengan seksama, ternyata putri cahaya yang datang dengan kemilau cahaya emasnya.
“ aku suka menikmati hujan, melihatnya jatuh berirama untuk mengusap wajah buana dengan intimnya” jawabku sambil membiarkan hujan membasahi bebas diriku.
Putri Cahaya tersenyum “ karena itukah jadi lebih suka kehujanan daripada menggunakan payung atau jas hujan?”
“ siapa yang bilang padamu, Putri?”
“ sikapmu, pilihanmu, ekspresi yang demikian hikmat untuk tidak menepi saat sedang kehujanan”
“ karena aku tidak membawa jas hujan…” dalihku.
“ Atau, lebih tepatnya agar kamu punya alasan untuk kehujanan kan?”
“ Apa ada yang terganggu?”
“ Tidak”
“ Lantas kenapa ?”
“ Sebenarnya ada apa degan hujan? Sepertinya kau demikian mencintai hujan sampai bisa mengabaikan dirimu sendiri?”
Aku tertawa mendengar ucapan Putri cahaya “ tak akan ada yang cemburu dengan hujan kok”
“ Suatu saat akan ada yang cemburu dengan kenanganmu bersama hujan “
“ Sepertinya tidak akan seserius itu, aku hanya ingin menjiwai spiritual di balik ayat-ayat hujan…”
“ apa harus dengan setia menari di bawah guyuran hujan?”
“ saat butir-butir hujan sampai di kulitku, meresapkan kesejukan dengan halus di setiap pori-pori. Adalah sama ketika molekul-molekul air itu menyelusup di bawah permukaan bumi, dimana ia sesungguhnya tak pernah benar-benar pergi. HUjan akan kembali menyapa dalam derai lembutnya yang penuh keajaiban setelah melewati prosesi mata rantainya yang mentakjubkan”
“ Dengan kalimat sederhana, hujan adalah lambang kesetiaan…” pintas putri cahaya penuh kemantapan.
*************************************
“…..Hujan...
Debaran hatiku muncul ketika bersentuhan pertama kali dengan kisahnya. Membuatku ingin melukiskan kisah itu dalam deretan kata yang memesona. Sayang aku belum berhasil. Karena itu, sampai sekarang pun aku masih berusaha mengenal dia lebih dekat. Siapa dia? Ng, aku biasa memanggilnya tuan putri. Hujan, sampaikan salamku padanya. Katakan, sesuatu yang tidak membunuhnya membuat dirinya lebih kuat. Dia akan bahagia dan menemukan seseorang yang akan mendampinginya di sepanjang hidupnya, InsyaAllah.”