“ Ada apa lagi dia kesini? Percuma, suruh dia
pergi !”
“ Pak, pelankan suaranya...didengar Bu
Laraskan tidak sopan bicara kasar begitu ?”
Aku berusaha tetap duduk dengan tenang dan tak terpengaruh dengan percakapan
yang terjadi di balik dinding bambu. Nada amarah jelas di setiap kalimat yang
di ucapkan oleh Pak Karman. Aku mengedarkan pandangan pada rumah sederhana yang
serba berdinding bambu dengan beberapa bagiannya ada yang berlubang.
“Maafkan suami saya, Bu Laras...” suara Bu Karman menghentikan kesendirianku di
ruang tamu tersebut. “ Sebenarnya Kang Karmanorangnya baik, nanti saya akan
coba membujuknya lagi agar mau mengijinkan Dinar sekolah ”
“ Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat, Bu. Saya akan datang lagi dan semoga
Pak Karman berkenan sedikit ngobrol dengan saya.Semoga tidak lama lagi Dinar
bisa sekolah seperti anak-anak yang lainya ” pamitku sambil mengurai seulas
senyuman.
“ Sejujurnya saya juga sangat ingin Dinar bisa sekolah, agar tidak jadi
perempuan bodoh seperti Emaknya ini ” ujar Bu Karman seolah meratapi keadaan
dirinya.
“ Saya akan berusaha maksimal agar Dinar bisa sekolah, semoga Pak Karman bisa
membuka hatinya bahwa anak perempuan juga perlu untuk sekolah dan menjadi
pandai ”
Aku melangkah lesu meninggalkan rumah Pak Karman, salah satu rumah dari calon
murid yang aku perjuangkan agar
diijinkan untuk sekolah. Dinar bukan satu-satunya yang tidak diijinkan sekolah
oleh orang tuanya. Pergi sekolah merupakan hal baru dan asing di desa terpencil
ini. Aku harus mendatangi satu persatu rumah warga yang memiliki anak usia
wajib sekolah, berusaha meyakinkan para orang tua betapa pentingnya sekolah
bagi anak-anak mereka.
*****
Sejak
beberapa menit lalukudekap pigura yang membingkai wajahku bersama mama, papa,Mas
Arga dan Mas Ardo. Di kamar berukuran kecil dengan perlengkapan yang serba
sederhana . Rasa rindu yang tiba-tiba menyeruak membuat air mataku mengalir
perlahan.
“ Kamu yakin akan mengabdikan diri di daerah terpencil itu ?” sekali lagi mama
mencoba meyakinkanku untuk mengurungkan niat. “ Apa kamu bisa bertahan hidup
disana tanpa fasilitas dan aktifitas yang kamu miliki seperti di sini ?”
Aku kembali teringat dengan kalimat-kalimat mama dan papa juga kedua kakakkuyang
senada meragukan pilihanku untuk terjun sebagai Guru di Sukamade. Semua
meragukanpilihanku untuk mengabdikan diri di daerah terpencil itu.
“ Di sana kamu gak bisa safari mall lagi lhoh? ” ucap Mas Arga.
“
Iya Nduk, jadi guru di Surabaya saja
kan mengabdi juga namanya..” kali ini papa ikutan membujukku anak perempuan
semata wayangnya. “Papa mengerti niat tulusmu untuk mengabdi, tapi
pertimbangkan juga perasaan orang tua dan kakak-kakakmu ya?”
Perbincangan panjang malam itu di
tutup dengan pelukan hangat dan keikhlasan menerima keputusanku yang tidak bisa
lagi di belokkan.
Aku menghela nafas panjang, seandainya mereka tahu alasan utama di balik
keputusan nekad yang kuambil, kembaliteringatlembaran kenangandengan Ramon yang
kandas tragis. Ramon yang backstreet
lagi dengan mantan kekasihnya adalah kenyataan pahit yang tidak bisa aku
toleransi. Aku pilihan untuk memutuskan hubungan dengan Ramon meskibukan
hal yang mudah tapi akan lebih tidak mudah lagi jika tidak segera mengambil
tindakan tegas dengan mengakhiri hubungan secepatnya. Dan memutuskan untuk
menerima tawaran dari sebuah LSMuntuk mengajar di daerah terpencil, berharap
bisa menjadi pemercepatanmelupakan Ramon.
Melalui daun jendela kamar, taburan bintang di langit seolah tersenyum menatap
dirinya. Angin malam berhembus semilir menyapa semesta kehidupan dengan belaian
penuh kasih. Harmoni suara alam mengalunkan musik yang demikian merdu dalam
keheningan malam yang tenang. Kembali terlintas wajah lugu Dinar, gadis
berusia 8 tahun dengan manik-manik matanya yang bersinar saat ditawari untuk
sekolah seperti beberapa teman seumurannya yang sudah lebih dulu mendapatkan
ijin dari orang tuanya. Beberapa anak memang masuk sekolah tanpa rintangan,
tapi sebagian besar butuh usaha diplomasi yang cukup alot.Apalagi untuk anak
perempuan karena pola pikir rata-rata masyarakat di desa terpencil ini masih
menganggap bahwa kodrat perempuan ya di rumah dan bekerja membantu suami ke
sawah atau ladang.
*****
Untuk sampai
di tempatku sekarang harus menempuh perjalanan darat yang sangat jauh ditambah
medan yang sangat sulit untuk di lalui kendaraan biasa.Aku sempat tidak percaya
bahwa di Pulau Jawa ini ternyata ada juga daerah terpencil begini,penerangan
yang masih belum merata, pembangunan sarana dan prasarana umum yang masih
sederhana, jarak sekolah yang luar biasa jauhnya dengan rute harus beberapa
kali menyeberangi sungai!. Benar-benar kondisi yang tak pernah terlintas dalam pikiranku
sebelumnya.
“ Beginilah Bu Laras keadaan di desa ini..” sambut Pak Kepala dusun saat 3
bulan lalu untuk pertama kalinya aku tiba tiba di daerah ini. “ Semoga Bu Laras
betah dan sanggup bertahan menghadapi para warga yang rata-rata masih kolot”
Awal-awalnya
memang cukup tersiksa menjalani kehidupan yang kontras dari keseharianku di
Surabaya yang serba ada. Tapi tekadku sudah bulat untuk bisa berbuat sesuatu
bagi warga di daerah terpencil ini. Bukan lagi karena alasan untuk melupakan
pengkhianatan Ramon, tapi dari lubuk hati terdalam aku ingin melihat Dinar-Dinar
di desa ini bersinar dengan memiliki kesempatan belajar dan menjadi perempuan yang melek pendidikan.
*****
Dengan memasang senyum ramah, aku mengetuk pintu dari bahan kayu pohon karet yang
ada di depanku “Assalamu’alaikum”
Pandangan tidak ramah Pak Karman langsungmembuatku sedikit jengah dan canggung “
Ada apalagi Ibu datang ke sini ? Dinar tidak butuh sekolah !”
“Wa’alaikumsalam, Bu Laras “wanita
parobaya itu langsung menyalami Laras berusaha menetralkan sambutan suaminya
yang tidak ramah. “ Mari silahkan duduk Bu..”
“ Maaf jika
kedatangan saya tidak diharapkan oleh Pak Karman...” sebisa mungkin aku tetap
tenang menghadapi sikap kasar Pak Karman. Toh itu bukan pertama kalinya aku
menerima perlakuan tidak ramah dari warga di sini. Dengan kegigihan dan
kesabaran, satu demi satu aku bisa melunakkan hati mereka agar mengijinkan
anaknya bersekolah.
“ Apa masih belum jelas kalimat saya, Dinar tdak butuh sekolah. Wong wedhok kuwi kodrate nang pawon, ora
usah sekolah..!”
“Anak-anak perlu belajar untuk
mengurus dirinya sendiri dan menerapkan apa yang dipelajari hingga dewasa
sehingga bermanfaat pada diri sendiri dan keluarganya. Jadi perempuan pun butuh
untuk sekolah Pak..”
” Percuma Bu Laras bolak-balik ke sini untuk membujuk saya. Samin, Kang Tarno
dan yang lainnya bisa Ibu bujuk tapi tidak untuk saya !”
“
Lihatlah Dinar Pak..” aku mengarahkan pandangannya ke halaman rumah pada sosok
mungil Dinar yang sedang memberi makan kambing dengan rumput yang dibawanya.“Apakah
bapak tidak ingin melihat Dinar menjadi perempuan yang pandai? Jika anak bapak
memiliki taraf hidup yang lebih baik, apa bapak tidak tidak ikut bahagia?”
“
Dan apakah Bu Laras tidak melihat kami ini orang susah ? Mau bayar pakai apa
sekolahnya Dinar? Jaman sekarang mana ada yang tidak butuh uang, hah?!”
“
Saya jaminannya kalau Dinar tak perlu bayar apa-apa, Pak”
“
Maaf Bu, maksud suami saya itu bukan hanya tidak punya uang untuk bayar sekolah
tapi Dinar juga harus membantu kami bekerja di sawah ...” kali ini Bu Karman
ikut bicara. “ Saya sebagai ibu juga ingin sekali mempunyai anak yang pinter
seperti Bu Laras, tapi...”
“
Beri saya waktu untuk memikirkannya Pak “ janjiku sebelum melangkah
meninggalkan kediaman Pak Karmandengan kecamuk tanya di sudut hati. Namun aku tak
akan menyerah begitu saja. Akubukanlah tipe orang yang suka untuk mundur atau
menyerah pada keadaan.
*****
Menikmati
hembusan angin pagi yang menyapu segenap pori-pori dengan gemirisik dedaunan
dari pohon-pohon yang ada di sekitar pantai. Duduk di sebongkah batu di tepi
pantai Sukamade dengan memejamkan mata, merasakan keajaiban nuansa pagi nan
tenang, sangat tenang, tanpa bising dan kesibukan yang menyesakkan. Sungguh
suasana romantis menyambut matahri terbit yang tiada bosan kunikmati setiap
pagi. Dan ketika memandangi langit yang mulai merekah merah di ufuk timur,
sungguh panorama eksotis yang tak pernah cukup untuk diuraikan dalam bait-bait
syair. Kabut tipis melayang ringan dan menyelimutisekitarku terasa sejuk sampai
ke tulang rusuk.
“ Pagi Bu Laras...” sebuah sapaan menghentikan keasyikanku menikmati keelokan
lukisan fajar di Pantai Sukamade
“ Aku tidak menyangka justru kita akan bertemu
kembali di sini. Hidup memang memberikan banyak hal yang tak tertebak, tapi aku
suka dengan ketidak-keterbakan ini “ ujarnya lebih lanjut dengan intonasi yang membuatku berdesir, sangat indah mendengarnya.
“ Kamu...Syamara
kan? “ tidak perlu waktu lama untuk mengenali sosok yang mengejutakanku barusan
“kok kamu bisa ada di sini ? ”
“
Saat Pak Dukuh bilang ada guru baru bernama Laras, sama sekali aku tidak
mengira jika itu kamu lho?”Laki-laki itu tersenyum, menampakkan sederet gigi
putih yang rapi. “ Setelah beberapa kali aku gagal untuk menemui sang guru baru
tersebut dan akhirnya aku mendapatkan jawaban yang luar biasa pagi ini. Kamu di
sini, di daerah terpencil ini? Meninggalkan gemerlap kehidupan kota? Rasanya
tak bisa dipercaya deh...”
“ Hahaha...bisa
saja kamu,” Pertemuan yang tidak terduga juga merupakan kejutan yang indah
buatku. Setelah sepuluh tahun berpisah sejak lulus SMA, kini bertemu kembali
dengan sosok laki-laki yang merupakan cinta pertama dan sekaligus cinta dalam
hati karena tak berani menunjukkan pada Syam jika aku jatuh hati padanya.
Setelah saling bercerita beberapa saat, akhirnya aku tahu jika Syam berada
bertugas disini sudah setahun sebagai dokter.
“ Ku dengar kamu
bisa meyakinkan warga untuk menyekolahkan anak-anaknya. Luar biasa sekali
gebrakannmu, Ras” puji Syam bersungguh-sungguh. “ Beberapa guru yang datang ke
sini tidak bertahan lama, tapi kamu dalam waktu 3 bulan bisa membuat
perkembangan yang menakjubkan “
“ Belum sehebat itu
Syam. Aku belum menemukan jalan untuk Dinar dan masih banyak yang lainnya
“jawabku agak galau.
“ Aku akan
membantumu, boleh kan?”
“ Serius?” sahutku antusias dengan menatap lurus bola mata Syam yang ternyata
masih membuat hatiku bergetar seperti 10 tahun yang lalu.
Syam
meraih tanganku, menggenggamnya dengan erat “ kita akan lalui bersama-sama,
Ras..”
Sejurus
aku terpana, tak tahu kalimat apa yang tepat untuk mengungkapkan kejutan yang
membuncah indah di sanubari. Aku
hanya berharap merekabisa mendapatkan pendidikan yang
memadai untuk bekal menjalani kehidupannya. Sehingga untuk ke depan, pilihan
apapun yang diambil oleh seorang anak setelah menyelesaikan studinya bukan lagi
suatu paksaan dari ‘harapan’ masyarakat semata “ dan Allah memberiku yang luar
untuk melukis fajar buat anak-anak di desa ini bersama
seseorang yang istimewa.
*The End*