Bismillahirrahmaanirrahiim,
Dengan kepala bersandar ke kaca, diamatinya lalu
lintas yang padat merayap di luar, sambil sesekali membaca tulisan yang
menghiasi billboard di pinggir jalan. Pemandangan yang sama di rute perjalanan
rumah ke kantor, dalam pandangan sepasang mata yang sama dan manusia yang sama, hanya saja ada perasaan
yang berbeda mengaduk-aduk sekeping hatinya belakangan ini.
“ Maaf Pak, sudah sampai…” ucapan sopir taxi menghentikan
ketermanguan Ghaza. Segera memberikan selembar uang seratus ribu diiringi
sebaris ucapan terima kasih dan menit berikutnya sudah menjejakkan kaki di
depan kantornya. Namun hati dan pikirannya yang mengawang…sibuk bertanya…sampai
kapan..pada batas yang bagaimana?
Ia rindu pada dirinya yang dulu, yang asyik dengan
buku-buku pelajaran, sibuk dengan berbagai kegiatan di kampus kala kuliah,
serius dengan praktikum demi praktikum di laboratorium juga serunya
berpetualang di alam bebas mendaki gunung demi gunung. Dan sosok Ghaza lainnya
yang penuh gelora kemudaan asa dan cerita kaya warna. Dan lembaran dalam
jilidan memorinya itu sampai pada dokumen ketika ia bertemu atau tepatnya
dipertemukan dengan Deandra anak tunggal dari sahabat papanya, gadis manis nan
santun yang berusia tiga tahun lebih muda. Brain, beauty, behavior and be
religy dengan latar keluarga yang bisa diacungin jempol untuk soal Bebet,
bibit dan bobotnya. Kedua orang tuanya demikian bersemangat mengajukan Deandra
sebagai calon tunggal menantu pilihan. Di usia memasuki kepala tiga sedangkan
calon atau seseorang yang jadi pilihan hati juga masih blank, sementara sebagai
anak sulung dan laki-laki satu-satunya dari tiga bersaudara tentunya orang tua
sangat mendambakan untuk menimang cucu. Karena kedua adiknya saat ini masih
kuliah sehingga tak mungkin mereka yang di buru-buru untuk segera menikah.
Yah apa salahnya dengan perjodohan jika calon yang
diajukan memenuhi criteria istri yang baik dan amanah? Toh, bagi lingkungan dan
teman-temannya kebanyakan juga menempuh jalur ta’aruf kala memilih calon istri?
Lelaki normal mana yang tidak mendambakan wanita seperti Deandra untuk di
pinang? “aku beruntung tak perlu repot-repot mencari atau minta di kenalin”
demikian Ghaza mulai mendoktrin hati dan pikirannya sendiri, “tak ada yang
kurang pada Deandra..” Orang tua sangat mendukung, semua keluarga meng’amini...semua
memberikan euphoria yang sangat meyakinkannya untuk mengucap ijab Kabul.
Ruang makan terasa demikian lengang dalam rumah yang
cukup besar dan hanya di huni mereka berdua, tak ada pembantu rumah tangga
karena Deandra merasa masih mampu mengerjakan semua pekerjaan di rumah dengan
berbagi tugas dengan Ghaza. Toh belum ada anak, jadi masih longgar waktu yang
mereka miliki. Tapi Deandra jadi merasa ada kelengangan yang berbeda, serasa
ada jarak antara dirinya dengan sang suami. Suasana yang di rasakannya dua
bulan belakangan ini demikian mengusik hatinya. Berbagai gejolak pertanyaan
bergelayutan di langit-langit pikirannya.
Deandra memandangi suaminya yang menatap piring di
depannya dengan pandangan kosong,
menunggu saat tepat untuk memulai bicara.
“ Mas….” Panggilnya dengan lembut.
“ Yaa….Yank?” jawab Ghaza berusaha selembut mungkin.
Dengan gaya ala-ala sinetron romantis cukup efektif untuk membangun
berkomunikasi yang bisa menumbuhkan rasa kasih sayang sebagai pasangan walau awal-awalnya
agak kikuk.
“ Kok jadi pendiam akhir-akhir ini? Ada persoalan?
Bisa kubantu? “
Ghaza menundukkan wajahnya sekilas, berusaha menghapus
jejak tawar yang menghiasi raut wajahnya. “Iya, tolong jangan bertanya ada
persoalan apa? Aku tak mungkin bisa
menjawabnya.” Sebaris jawaban yang
hanya mampu di ucapkan Ghaza dalam hati.
“ Apa aku melakukan
kesalahan, Mas? Ataukah ada sikapku yang kurang berkenan ” Deandra berkata
dengan lebih lembut, seperti biasanya jika merasa ada yang salah telah
dilakukannya.
“Enggak…. gak salah apa-apa
kok….”
“ Mas Ghaza sehat kan? Kemarin
aku ketemu Dokter Zainal, dia menanyakan Mas Ghaza….” Kalimat Deandra seolah
bedug yang dipukul dengan demikian kerasnya terdengar di telinga Ghaza, karena
mereka memang memprogram untuk punya momongan tahun ini. Masih jelas kelebatan
ekspresi antusias di wajah Deandra setiap kali membahas tentang rencana-rencana
mereka jika sudah punya momongan. Serentetan rencana untuk persiapan kalau
saatnya mereka diberi momongan, tentang pernak-pernik bayi, dekorasi kamar untuk
sang buah hati, komitment untuk membrikan ASI full sampai dua tahun, bla..bla…yang
begitu penuh gelora dan selalu disertai binar-binar di kelopak mata istrinya. Dirinya
juga sangat maklum mengingat Deandra adalah anak tunggal !
“ InsyaAllah aku sehat,
mungkin hanya capek sedikit .”
“ Ingat kesehatan Mas,
kalau ada report kerjaan yang bisa aku bantu ngetik biar aku bantuin..hemmm oiya, tadi
Mama telpon katanya minggu depan Om Danu ngadain syukuran untuk khitannya
Bagas”
Spontan Ghaza mengalihkan
pandangan matanya menyeberangi ruang makan. Mencoba melandaskan perhatiannya
pada setangkai anggrek yang sedang mekar di dahan pohon mangga gadung.
“ Mas Ghaza ada acara ya?”
dengan cepat Deandra membaca perubahan di wajah suaminya.
Dengan ragu, Ghaza
mengangguk.
“ Kita kan jarang ketemu
mereka, Mas?” rajuk Deandra sambil meraih tangan suaminya “ Usahain dong kita
bisa datang? Ada Ayah dan Ibuku juga nanti…”
“ Aku lihat lagi nanti
acaranya bisa di geser apa tidak ya, Nda?”
Suasana di ruang makan itu
dirasakan Ghaza seperti detik yang tak bergerak dari putarannya. Benaknya
langsung membayangkan harus memajang wajah sumringah seharian. Menjawab
pertanyaan demi pertanyaan yang sama ‘kapan kalian punya anak? Kapan kita bisa gendong
cucu?…bla..bla..’ Tidak hanya pertanyaan dari kedua orang tuanya, tapi dari semua keluarga
baik dari pihaknya maupun dari pihak keluarga Deandra.
izin menyimak :)
ReplyDeleteyukk di simak sambil minum es teh
Deleteini masalah yang sering dialami oleh pasangan muda, nyesek sih dengan pertanyaan-2 itu tapi bagaimana pandai-pandai kita menyikapinya...
ReplyDeletemembaca ini seolah saya sedang bercermin saja... :)
Part of this, ada true storynya. Eh, mmg sbnrya bisa kisah nyata dgn dilema spt ini ya mbak
DeleteMasih single kayak aku, didorong-dorong biar cepet nikah. Udah nikah, ditanya momongan. Bla bla bla bla. Hufth. Aku jadi galau.
ReplyDeleteSuatu saat kelak, aku tak akan menjodohkan ankku, takut salah
ReplyDelete