Meteorologi sebagai salah satu bagian dari Ilmu geografi yang spesifik mempelajari mengenai masalah atmosfer (suhu, udara, cuaca, angin) dan berbagai sifat fisika dan kimia atmosfer lainnya. Sedangkan Metrologi adalah ilmu pengetahuan tentang ukur-mengukur secara luas. Artinya, meteorologi dan metrologi TIDAK SAMA, secara ringkas aplikasi kedua cabang ilmu tersebut dipakai di dunia yang sangatlah berbeda.
Pada postingan semi curhat
tentang manfaat dan tujuan metrologi legal,
Bismillahirrahmaanirrahiim ada saya sebutkan bahwa untuk masuk ke ranah jobdesc metrologi saya terlebih dahulu melalui “pintu” diklat selama 5 bulan (800 JPL) di Bandung. Mestinya postingan curcol (
behind the scene of my diklat) saya curahkan saat masih melakoni cerita diklat di Bandung kala itu. Tapi ya excusing karena ritme diklat yang full learning dan
full day dengan materi yang terdiri dari kombinasi antara lain:
pembelajaran di kelas, ada PR, Quis dadakan/terjadwal, Praktikum + ujian praktikum, UTS, UAS, dan TA serta ‘bonus’ 5 hari uji kompetensi pasca diklat (di Bulan Ramadhan). Begitulah, gairah sebelum diklat pengennya bisa lebih akitif ngeblog di sela-sela aktifitas diklat tapi justru saya dibuat tak berkutik.
Secara keseluruhan, jadwal diklat mulai Hari Senin – Jum’at dimulai dengan absen secara finger print jam 07.30 dan kelas dimulai dari Jam 08.00 WIB - 17.00 WIB. Istirahat I pada jam 09.30 - 09.45, kemudian Ishoma jam 12.00 - 13.00 dan lanjut lagi dengan materi selanjutnya hingga jam istirahat pada 15.15 - 15.30, dan kelas resmi berakhir jam 17.00 WIB (prateknya sampai di kost jam 17.30an).
|
Jadwal Diklat untuk Rentang 1 Bulan (diperbaharui setiap bulan) |
Sabtu minggu, biasanya diisi dengan beajar bareng nyoba-nyoba berbegai instrumen, terutama yang masih blank ketika sesi penjelasan di kelas. Teman yang lebih paham dengan sukarela berbagi pemahamannya tersebut. Karena kalau berharap bisa menyerap semua materi yang disampaikan oleh pengajar ketika di kelas, banyak yang mengalami roaming, termasuk saya. Kebayang kan, gimana saya yang sudah sekian tahun tutup buku dan mulai pudar akan segala bentuk teori-teori eksak, dipertemukan kembali dengan pelajaran yang sarat dengan muatan teknis dan banyak disiplin ilmu baru yang sebelumnya belum kenalan.
|
Salah satu menu diklat: moco nonius |
Menakjubkan bukan, sabtu-minggu saat libur diklat (sebagian besar) kami malah semangat belajar kelompok. Etapi, tidak melulu diisi dengan belajar, sebenarnya sih kalau sabtu minggu saya dan sebagian yang berasal tak jauh-jauh dari Bandung (Yogya, Tegal, Jakarta, Kembumen, Jepara, Rembang, Madiun, yang jarak tempuhnya terjangkau secara ekonomis) kerap mondar-mandir mudik kok. Sesi belajar bareng adalah ‘pelarian’ karena kehabisan tiket KA.
Yayayaa…ternyata baru saya sadari (sebelumnya pingsan kali ya?) kalau tiket KA pas week end itu laris manis mengalahkan rekor jualan jagung bakar. Ternyata juga, harus punya strategi khusus agar tak kehabisan tiket KA yang langsung Bandung – Yogyakarta (PP) akhir pekan, terlebih saat high session long week end. Maklum, karena kerap mudik, saya harus berburu tiket KA ekonomi. Kecuali kalau ada hal urgent dan tiket ekonomi sudah sold out, ya antara rela dan harus ikhlas untuk naik KA yang eksekutif.
Drama berburu tiket kereta adalah serba-serbi yang belum seberapa jika dibandingkan konsekuensi seorang saya yang sudah menikah untuk menjalani babak diklat 5 bulan dengan tinggal jauh dari keluarga. Diklat metrologi yang saya lakoni merupakan diklat pertama terlama, sekaligus diklat pertama sejak saya menikah.
Kalau masih single dulu mah ayuk-ayuk saja mau diklat berapa lama dan lokasinya dimana pun tak masalah, tinggal cus. Gak perlu galau gimana ninggalin suami dan anak-anak, apalagi waktu itu Azka kelas 6 dan di rentang waktu menghadapi UN. Kalau sekedar
cek tagihan listrik online mudah mah simpil, atau gimana berhemat beli-beli makanan cukup cari dan
beli voucher Tokopedia, InsyaAllah dapat alternatif yang mencerahkan.
Siapa yang gak galau, ninggalin anak yang sebentar lagi menghadapi UN? Merasa bersalah pasti, tapi saya juga tak mungkin mundur dari diklat yang merupakan bagian dari konsekuensi atas pilihan untuk tetap bekerja setelah menikah.
Yang bisa saya lakukan adalah kompromi, menata hati dan berusaha tenang dengan berpositif thinking, karena kalau saya memelihara galau dan kuatir yang justru akan menimbulkan gelombang energi negatif, tak hanya bagi diri saya tapi juga akan berdampak pada orang-orang yang terhubung secara emosional dengan saya (suami, anak, dan keluarga lainnya). Untuk menguatkan hati, saya membuka hati dan mata pada teman-teman diklat lainnya yang tentunya memiliki problematika tak kalah kompleks dengan yang saya hadapi.
|
ber-6 (sekelas) cewek |
See, banyak teman-teman saya yang berasal dari luar pulau Jawa dimana mereka tak bisa sesering saya mengunjungi keluarganya. Bahkan ada beberapa teman diklat yang baru pulang ketika diklat selesai. Kemudian say juga melihat, kami ber-12 cewek (dari hampir 100an peserta diklat), ada yang bahkan meninggalkan anaknya yang masih batita!
Benar adanya, bahwa jangan terlalu sibuk melihat kondisi diri sendiri karena justru akan membuat kita terjebak dalam nelangsa yang menjauhkan dari rasa bersyukur. Look around then we’ll find betapa kita diberikan berlimpah karunia yang semestinya menambah rasa syukur.
Dari sederet drama dan kegalauan di periode permulaan diklat yang sering menghadirkan tanya “ bisakah dan mampukan menyelesaikan diklat ini?”, saya dan teman-teman pun s menguatkan dengan berbagai injeksi motivasi, antara lain:
- Mari kita jalani dan nimati apa yang ada, tanpa rasa kuatir akan seprti apa hasilnya nanti.
- Kita selesaikan apa yang sudah kita mulai, karena tak ada pilihan untuk mundur.
- Kita tidak sendirian, kalau toh tidak lulus diklat, at least kita tidak di pecat. Hehehehee (ini motivasi atau putus asa ya?)
|
Teman Diklat (sekelas): 29 orang |
Kini, setelah satu semester diklat berlalu, ada banyak cerita indah yang menambahi lembaran kenangan. Ada ilmu baru yang menantang, yang sebelumnya tak pernah terlintas akan mempelajari dan menggunakannya. Ada hubungan baru yang terjalin, persahabatan dan persaudaraan yang berkelanjutan walau sesi kebersamaan sebagai teman diklat telah berlalu tapi tetap akan ada ukhuwah di antara kami, semoga. Dan banyak hal baik lainnya yang bermunculan., termasuk merasa lebih muda karena mendapat teman-teman baru yang lebih muda. *cieee, sok imut*
|
Spending time: kebun teh |
“ Gimana Mbak, siap ikut diklat pengawas ?” tanya teman via WAG.
“ ehm…..sepertinya enggak dulu deh. Mau menetralkan jetlag dari drama diklat yang kemarin, hehehe…”
Epilognya, sesekali diklat bolehlah sebagai ice breaking dari rutinitas pekerjaan dan keseharian: menjalani ritme baru yang berbeda sebagai emak yang ngekost (lagi), tapi pengennya diklat yang sifatnya short course saja. #Ups.