Setiap jenis produk barang maupun jasa bisa dikatakan berkualitas atau tidak dengan menggunakan parameter-parameter tertentu sebagai alat ukur. Sebut saja suatu barang manufacture X misalnya, baru akan ditempeli label QC Pass dengan sederet indikator yang mewakili item produk tersebut). Demikian pula dengan JASA, terdapat cara-cara sendiri untuk menilai suatu jasa yang diberikan memiliki kualitas cukup, baik, memuaskan atau bahkan kurang baik .
Parameter ukur yang Bismillahirrahmaanirrahiim, digunakan untuk menentukan kualitas suatu barang atau jasa merupakan salah satu pertimbangan untuk memberikan “value” terhadap suatu jenis barang atau bentuk jasa/layanan.
“ Bun, gimana caranya mengukur keberhasilan atau kesuksesan seseorang?” pertanyaan jamak yang sebenarnya saya sendiri kerap mempertanyakannya. Pun saya tetap gagap saat anak kami mengajukan pertanyaan tersebut.
There’s no certain measurement to measure your success. Seperti halnya bahagia, tidak ada ukuran baku untuk menetapkan suatu keadaan yang dialami seseorang berada pada kategori bahagia atau tidak. Pun tidak ada komponen yang sifatnya standar untuk menilai sukses atau tidak. Like people says: Happiness is made and we choose to be happy or not. Serupa dengan kondisi seseorang bahagia, maka sukses mana kala kita berani mengambil langkah dan mencoba berusaha, pada titik tersebut kita sudah bisa menyebut sukses. No matter how is the result, karena sukses adalah pada proses ikhtiar yang dilakukan. Sukses bukan hasil akhir, melainkan rangkaian usaha yang kita lakukan.
“ Berarti kalau belum masuk top ten, tetap bisa dibilang sukses kan Bun?”, eng ing eeennng.
“ If you do your best, no worries about the result. Intinya, kalau sedih ataupun kecewa karena rangking di kelas atau prestasi lainnya belum sesuai harapan, ya wajarlah. Tapi tak perlu menjudge dirimu tidak sukses. You did well and accept all. Itu jauh lebih baik dan akan membawa semangat baru untuk berusaha lebih baik dan bisa menghargai hasil usaha sendiri. “.
Iya sih, kalau dipikir-pikir makin ke kinian ukuran kesuksesan sepertinya mengalami pergeseran makna yang cukup significant. Sangat jauh berbeda kalau dibandingkan dengan tiga dasawarsa lalu, apalagi jika dibandingkan dengan era 60 atau periode sebelumnya. Saat dimana adab, etika, kejujuran, kesederhanaan, integritas, pengorbanan dan totalitas pengabdian masih menjadi nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam menilai pribadi seseorang dalam lingkungannya. Pemimpin dan tokoh masyarakat kala itu “terpilih” sebagai hasil seleksi alam karena perilaku, perkataan dan attitude lainnya memang paripurna.
But now, label sukses semakin banyak dilihat dari melimpahnya materi: punya banyak rumah, tanahnya ada dimana-mana, mobilnya yang limited editian, seberapa sering liburan ke luar negeri, selalu hadir tiap kali ada pagelaran event musik yang menghadirkan artis dari luar negeri, tak masalah meski harus pre-order tiket we the fest atau lainnya. Bahkan ada rasa super bangga dan merasa sukses maksimal jika harga tiket super mihil (bisa untuk beli rumah tipe 36). Begitu juga dengan atribut-atribut yang dijadikan indikator kesuksesan dari jabatan yang berhasil diraihnya (tak mempermasalahkan bagaimana cara memperolehnya) dan fakir rasa tanggung jawab yang diemban.
“ Jadi, kriteria sukses untuk anak sekolah tidak harus dapat rangking sepuluh besar kan Bun ?”.
“ Iya, iyaa. Yang penting sholat 5 waktunya full, tetap bersungguh-sungguh belajar, tidak lupa rajin membantu pekerjaan rumah, mau menabung, perduli orang-orang di sekitar, dan seterusnya…”
Topik bahasan ini pun jadi sukses melantur ke sana dan kemari, dari alat ukur kualitas barang jasa, sampai bagaimana cara mengukur kesuksesan seseorang.
Apapun itu, yang jelas sangat jarang (atau bahkan tidak ada) kesuksesan yang murni dari hasil usahanya sendiri. Baik itu pemimpin daerah/negara, ilmuwan, olahragawan, politikus, pegawai dan lain sebagainya. Artinya, hampir semua macam kesuksesan yang diraih oleh seseorang tidak akan luput dari dukungan, kontribusi dan doa dari orang lain, at least orang tua kita.
Hidup tidak sesingkat nyala api lilin. Hidup adalah bagian dari cahaya yang akan semakin menyala terang bilamana ada sesuatu yang membuat semangat membara lagi dan impian kian berkobar.
Noted: tulisan ini diilhami dari pertanyaan anak “ kenapa orang yang sudah kaya masih korupsi juga?”. Hanya saja, naratifnya jadi maju-mundur cantik plus tak jelas temanya ya?