Frase tanya bergemulir menguntai nada
Serupa kisi-kisi berparalel
Pada titik tengah sahara kehidupan
Pada nadir ketidaktahuanku
Hari itu aku mengiyakan untuk bertemu dengannya lagi. Seseorang yang sosoknya pernah menghuni sebuah bilik di hatiku. Lima tahun berlalu, jujur saja aku belum bisa sepenuhnya mengeluarkan sosoknya dari hati. Kami akan bertemu lagi untuk suatu urusan. Bukan lagi urusan kuliah. Dia minta tolong kepadaku sehubungan dengan pekerjaan. Kebetulan atau tidak, pekerjaannya ada kesamaan dengan pekerjaanku. Dia seorang peneliti, kali ini dia sedang mengerjakan project tentang pencemaran perairan. Aku bekerja di ranah lingkungan hidup. Salah satu variable risetnya mengharuskan dia mewawancarai seseorang yang berkecimpung di lingkungan hidup.
Aku juga tidak mengerti, kenapa harus aku yang dia pilih. Andai dia tahu, bagaimana susahnya aku menjauh dan berusaha mengenyahkan fraksi-fraksi rasa yang menghuni bilik hatiku. Menghindari setiap kesempatan yang mungkin aku bisa bertemu dengannya. Waktu lima tahun sepertinya belum cukup untuk mengatakan aku tak lagi mencintainya. Perasaan itu masih ada. Terpendam di lubuk hati. Rasa cinta yang tak mungkin kusampaikan, meski sebentuk perhatian kecil. Rasa yang masih kerap hadir sebagai rindu.
“ Di kota ini hanya kau yang kukenal dengan baik,” jelasnya menegaskan saat telepon, seminggu lalu.
“Aku bisa mempertemukanmu dengan seniorku atau temanku yang lebih expert. Aku punya beberapa teman yang lebih mengerti tentang pencemaran lingkungan di kota ini.”
“ Kenapa sekarang jadi sesulit itu untuk menemuimu ? Apa waktunya tak tepat, kamu sedang banyak kerjaan ?”
Untuk pertanyaan-pertanyaan itu aku tidak punya pilihan. Aku tidak punya jawaban yang tepat.
Kemarin aku bertemu dengannya. Di sebuah kafe bandara. Aku yang memintanya datang ke sana, sebelum aku berangkat ke Jakarta.
Empat puluh lima menit berlalu, terasa sangat lama dengan segala caraku membuat semuanya biasa saja. Empat puluh lima menit berlalu, tanpa sedetik saja aku berani menatap matanya. Ada debar-debar tak menentu di dada. Menghadirkan ingatan tentang aku yang begitu mencintainya, sejak pertama aku praktikum dan mengenalnya sebagai asisten dosen.
Jika masih bisa memilih, cukup itu pertemuan terakhir kami. Karena bertemu dengannya lagi akan memperpanjang waktu untuk berhenti mencintainya. Bukan aku tak ingin bertemu lagi, aku hanya ingin melupakannya.
Pamrihku sederhana
membiarkan kemarin melaju pada bingkainya
dan mengkhatamkan risau gundah ini
dari simpul-simpul syaraf yang tak menentu
akan sebuah penantian panjang yang merindukan oase.
========================================================================
Bismillahirrahmaanirrahiim, sekian waktu berada ada fase semi hiatus, semacam fiksi pendek ini adalah luapan kerinduan sekian lama tanpa coretan belajar nulis fiksi. Maka, anggap ini sebagai simpul-simpul rindu ngeblog seperti 5 tahun lalu.
aseeekkk....
ReplyDelete