Seperti Lilin dan Pohon Kelapa. Saat musim hujan, untuk sebagian daerah tentu identik dengan listrik mati. Entah karena ada maintenance akibat ada kerusakan atau untuk preventive terhadap pohon tumbang. Yang jelas kalau hujan turun adalah identik dengan pemadaman listrik.
Meresapi suasana saat listrik mati, mengamati lampu yang berbahan minyak tanah (yang sekarang keberadaan minyak tanah sudah menjadi barang langka), menerbangkan kembali angan pada kenangan masa kecil saat belum ada program listrik desa.
Bismillahirrahmaanirrahiim saat setiap menjelang sore, maka penerangan di rumah hanya mengandalkan lampu dengan bahan bakar minyak tanah. Tak ada TV, radio juga jarang yang punya karena termasuk barang-barang mewah bagi sebagian besar warga desa. Sedangkan berangkat mengaji ke surau (model bangunannya seperti rumah panggung, jadi ada tangga untuk naik) tak lupa harus menyiapkan obor dari bambu dengan minyak tanahnya.
Manakala pulang dari mengaji, hampir selalu ramai membaca bermacam hafalan doa pendek dari Juz Amma (bukan untuk menambah hafalan) karena rasa takut melewati tanah/pekarangan kosong yang rimbun serta beberapa lokasi yang padat rumpun bambunya. Bacaan hafalan akan makin kencang jika kami mencium bau harum khas singkong yang direbus (mitos diantara kami kala itu adalah makhluk halus sedang merebus singkong, bahkan sampai sekarang aroma singkong rebus itu seseali masih saya jumpai di rute-rute jalan yang ‘sangar’). Jika rasa takutnya semakin kuat, maka jurus terakhir yang diambil adalah langkah seribu: Lariiii…..
Secuil kisah masa kecil yang selalu membuat saya tersenyum jika mengingatnya, seperti saat listrik mati yang saya alami. Menyalakan lilin dan mengamatinya seksama bagaimana benda yang terbuat dari campuran hydrogen dan carbon (yang lebih dikenal sebagai parafin) meleleh dengan tenangnya bagai permukaan air yang dalam. Sesekali apinya meliuk-liuk manakala hembusan angin lembut menyapanya penuh kasih mesra.
Kadang saya membayangkan bisa melihat dengan mata telanjang saat lilin mengalami proses pembakaran yang dimulai dengan bagian lilin yang meleleh kemudian oleh sifat kapilaritas lilin yang cair tersebut akan naik melalui sumbu sehingga hydrogen bertemu oksigen yang menghasilkan air (uap) dan carbonnya bersenyawa dengan oksigen membentuk karbondioksida (gas), untuk kemudian komponen tersebut menghasilkan cahaya yang berpendar (dengan efek romantis kalau lagi candle light dinner tentunya).
Dalam temaram pendar cahaya lilin, sekaligus terlintas sebaris kalimat yang pernah di ucapkan adik saya. Kalimat yang saya ingat dengan sangat baik, meski waktu adik saya mengucapkan kalimat tersebut sepertinya hanya asal ngomong. “ Kenapa orang suka bilang: jadilah seperti lilin yang rela membakar dirinya demi menerangi ruangan. Kenapa jarang yang mengatakan: tirulah pohon kelapa yang tetap bisa tumbuh berkembang tapi tetap bisa memberikan manfaat dari akar hingga daunnya”
Ungkapan “ingin menjadi seperti lilin” sebenarnya bukan hal baru bagi kita semua. Sebuah frase kalimat yang menggambarkan makna ketulusan dan rasa ikhlas tanpa pamrih hingga tak perduli akan kebahagiaan diri sendiri. Idealnya tentu kita akan lebih memilih menjadi seperti pohon kelapa, yang bisa tebar manfaat bagi sekitarnya tanpa kehilangan kesempatan untuk menjalani dan menikmati hidup dan kehidupannya.
Menjadi seperti lilin atau pohon kelapa, dalam konteks tertentu memang bisa merupakan bentuk pilihan dimana kita masih punya ruang dan kesempatan untuk menentukan pilihan sikap.
Akan tetapi dalam banyak konteks dan unpredictable conditional, seringkali keadaan membuat kita harus menempatkan diri seperti lilin. Banyak kisah heroik merupakan pengejawantahan filosofi pilihan hidup menjadi lilin, dalam banyak perwujudan (hubungan emosional) dan ikatan kasih sayang, orang tak lagi berpikir akan dirinya, karena kebahagiaannya adalah ketika bisa membuat orang yang disayanginya hidup bahagia.
Yang jamak terjadi dan seringkali luput dari perhatian kita bagaimana aktualitas sikap dan segala tindakan yang dilakukan oleh para orang tua adalah refleksi lilin yang menyala menerangi ruangan. At the view of my point, menjadi seperti lilin atau mendapatkan kesempatan menjalani scenario hidup seperti pohon kelapa, semoga adalah jalan yang akan membawa kita pada keseimbangan hubungan vertical dan horizontal.
*
*Sebuah renungan sederhana saat Listrik mati*