Membaca artikel/postingan peduli alamku tentang concert for Jakarta rubbish collectors, yang membuat go international kondisi yang sangat memprihatinkan dari rubbish collector dan terhadap tenaga kerja/pekerja secara umum yang kalau hendak dibuat listing saya yakin prosentasenya akan sangat fantastic.
Dan Bismilllahirrahmaanirrahiim, merupakan fenomena sosial ekonomi yang masih jamak kita jumpai bahwa pekerja (karena melimpahnya jumlah tenaga kerja) sehingga bargain positionnya kurang kondusif.
Hukum demand and order pun berlaku di ranah tenaga kerja, yaitu ketika suplay tenaga kerja melimpah maka upah yang ditawarkan pun bisa diminimalkan. Dengan kalimat superiornya “ kalau mau di gaji sekian ya silahkan kerja. Jika tidak mau, yang antri lainnya kan masih banyak..”, mungkin dan kira-kira seperti itu jika di verbalkan.
Pada kebanyakan bidang dan sektor kerja, not just rubbish collector field tapi secara general kondisi pekerja di tanah air memang still less attention, they do their job without appropriate uniform, no protection from contamination, lack of inssurance and also low [cost] payment.
Dan Bismilllahirrahmaanirrahiim, merupakan fenomena sosial ekonomi yang masih jamak kita jumpai bahwa pekerja (karena melimpahnya jumlah tenaga kerja) sehingga bargain positionnya kurang kondusif.
Hukum demand and order pun berlaku di ranah tenaga kerja, yaitu ketika suplay tenaga kerja melimpah maka upah yang ditawarkan pun bisa diminimalkan. Dengan kalimat superiornya “ kalau mau di gaji sekian ya silahkan kerja. Jika tidak mau, yang antri lainnya kan masih banyak..”, mungkin dan kira-kira seperti itu jika di verbalkan.
Kalau ditelaah lebih jauh, bukan hanya ketidakseimbangan antara lapangan pekerjaan dan jumlah tenaga kerja, namun masih significantnya jumlah tenaga expert WNA yang menduduki posisi-posisi strategis sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya degradasi kalangan terdidik Indonesia sehingga makin meningkatnya jumlah pengangguran dari kalangan terdidik yang otomatis akan menurunkan kesempatan tawar dalam posisi bursa kerja.
Wah, kok malah nglantur bahas polemik lapangan kerja ya? Kalau dilanjutkan bisa menimbulkan demo neh karena tulisan saya yang lebih bersifat subyektif. Jadi sebelum mblabar kemana-mana, saya kembali ke ide awal bikin postingan ini yaitu sekedar sharing beberapa foto yang tersimpan rapi di file. Sebuah gambaran yang mungkin tidak jauh berbeda dengan rubbish collectors hanya berbeda bidang pekerjaan/rutinitas.
Wah, kok malah nglantur bahas polemik lapangan kerja ya? Kalau dilanjutkan bisa menimbulkan demo neh karena tulisan saya yang lebih bersifat subyektif. Jadi sebelum mblabar kemana-mana, saya kembali ke ide awal bikin postingan ini yaitu sekedar sharing beberapa foto yang tersimpan rapi di file. Sebuah gambaran yang mungkin tidak jauh berbeda dengan rubbish collectors hanya berbeda bidang pekerjaan/rutinitas.
Bahwa masih banyaknya pekerja yang belum menggunakan perlengkapan kerja yang memadai, bahakan cenderung menggunakan pakaian kerja apa adanya meskipun resiko pekerjaan yang dihadapi sangat tinggi. Seperti kasus yang pernah saya lihat langsung, bagaimana "operator" tunner pembakaran yang bekerja tanpa menggunakan perlengkapan perlindungan diri yang memadai.
Pentingnya Perlengkapan Keamanan dan Keselamatan Kerja masih sekedar wacana indah bagi sebagian kalangan pekerja di negeri ini. Dengan HANYA mengenakan kaos seadanya, si bapak mengerjakan tugasnya mengumpankan bongkahan batu bara ke dalam tunnel yang membara dengan suhu sekitar 400 OC. Sesekali mengintip untuk melihat kondisi di dalam tunnel, kapan perlu ditambah batu bara/kayu bakar dan mengeluarkan sisa abu pembakaran dari output yang ada di bawah tunnel. Mengoperasikan dan menjaga tunnel hingga menghasilkan panas agar kondisi suhu dan tekanan dryer (alat utama proses) tercapai untuk mengolah raw material (basah) hingga jadi produk kering (tepung).
Pentingnya Perlengkapan Keamanan dan Keselamatan Kerja masih sekedar wacana indah bagi sebagian kalangan pekerja di negeri ini. Dengan HANYA mengenakan kaos seadanya, si bapak mengerjakan tugasnya mengumpankan bongkahan batu bara ke dalam tunnel yang membara dengan suhu sekitar 400 OC. Sesekali mengintip untuk melihat kondisi di dalam tunnel, kapan perlu ditambah batu bara/kayu bakar dan mengeluarkan sisa abu pembakaran dari output yang ada di bawah tunnel. Mengoperasikan dan menjaga tunnel hingga menghasilkan panas agar kondisi suhu dan tekanan dryer (alat utama proses) tercapai untuk mengolah raw material (basah) hingga jadi produk kering (tepung).
Dan semua perlengkapan kerja yang dikenakan di setiap tahapan proses nyaris sama, hanya kaos seadanya dan sepatu yang jauh dari compatible. Tidak ada perlindungan terhadap kontak bahaya jika terjadi kecelakaan kerja, tanpa penghalang dari cemaran mikroba, tak memakai penutup hidung dari bau yang luar biasa menyengat, dst.
Demikian juga keadaan yang tidak jauh berbeda, perlengkapan dan resiko pekerjaannya harus dilakukan oleh tenaga kerja wanita yang menempati posisi sorting dan sizing raw material yang berupa ‘sisa’ ikan dengan kondisi yang bisa dibilang ‘limbah’. Mengingat raw material yang digunakan adalah sisa ikan (isi perut dan potongan kepala) yang otomatis mudah membusuk begitu out of cold chain temperature. Perasaan miris, prihatin, simpatik dan entah apalagi yang berkecamuk di benak saya saat melihat ‘mereka’ berjuang demi menafkahi keluarganya dengan mengambil sikap permisif pada semua resiko dan kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Kebetulan saat itu kami memang lumayan lama mengidentifikasi alur proses yaitu menunggu sampai ada output produk yang dihasilkan. Jadi saya punya peluang untuk lebih mendekat ke orang-orang yang sedang bekerja [memulai aksi investigasi off the record].
“ Kerjanya mulai jam berapa, pak? “tanya saya ketika bisa mendekati si bapak yang memberi umpan batu bara.
“ Tergantung bahan baku Mbak, bisa mulai jam 6 pagi sampai sore..” jawabnya dengan wajah berhias segaris senyum.
“ Terus gajinya, mingguan atau harian..”
“ Nggih harian, Mbak..”
Dan sayapun terbawa rasa ingin tahu, sehingga memberanikan diri untuk bertanya berapa gaji yang diterimanya dengan resiko dan beban kerjanya tersebut. “ Kalau boleh tahu, berapa gajinya sehari P`k?” dan tebak berapa gajinya? “ Empat puluh ribu...”. Padahal upah pekerja bangunan saat ini sudah lima puluh ribu ke atas dengan jam kerja mulai jam 7 pagi sampai 4 sore.
Life's full of challenges, but these challenges are only given because GOD knows our faith is strong enough to get through them
Noted:
Foto original (awal) postingan ini dibuat ternyata disappear (mungkin efek ganti - ganti template), sehingga saya ganti dengan image lain yang relevan.