“ Pernah jatuh cinta? Pernah patah hati dong?” frase yang tertulis pada sebuah cover Antologi Write True Story: When I broke up. Patah hati bukan akhir dari segalanya. Masih banyak hal laing yang lebih berarti ketimbang bunuh diri. Setragis apapun ksah cinta, tetap masih banyak yang menyikapinya dengan positif, bahkan mampu bangkit dengan visioner yang lebih baik. Dan...tentu saja jangan mengira saya akan menulis tentang review buku tersebut atau sejenisnya.
Yups, secara tak terduga tadi siang datang 1 paket tertera untuk nama saya di kantor. Sempat bertanya-tanya, kok ada paket dari penerbit Leutikaprio? Ahaaa....langsung deh ingat jika akhir tahun kemarin saya termasuk dalam daftar pemenang di event “When I broke up” di sini. Dan Bismillahirrahmaanirrahiim ketika saya buka, so surprised karena ternyata isinya tak hanya buku Antologi tersebut. Ada piagam Penghargaan [tertanggal 12 Juni 2012], 4 buku masing-masing dengan judul: When I broke Up, 8 Hari di negeri Paman HO, DD Elegi seorang penyanyi dangdut, Mengejar Anggun dan 1 eksemplar majalah e-magz about writting serta 1 voucher [nominal 200 ribu untuk paket penerbitan]
Nah, dari semua buku dan majalah tersebut belum ada yang saya baca tapi sedikit informasi yang bisa saya share [ tepatnya promosi! ] tentunya tentang Antologi yang di dalamnya ada satu tulisan saya dengan judul My Re-engineering When I broke Up yaitu:
Judul : When I Broke UpPenulis : Ririe Khayan, Jacob Julian, Langit Senja, Arinana, Antie Wijaya, dkkPenerbit : Leuti KaprioISBN : ISBN: 978-602-225-409-6Tebal : 232, BW : 232, Warna : 0Cetakan I : Mei 2012Harga : 47.000 [ Belum Ongkir ]
Untuk informasi lebih detail bisa langsung kunjungi LeutiKaprio di sini. Berikut ini sebagian tulisan saya dan sengaja saya tampilkan sebagian paragrafnya secara tidak beraturan dan untuk [semoga] membuat penasaran. Then here we go.....
”…. kenapa harus berduka berlarut-larut sedangkan si dia tentunya sudah berbahagia. Kenapa masih menyelimuti hati dengan rasa sakit sementara si dia sudah menyulam tawa ceria? Sepenting itukah orang yang sudah dengan sengaja mencampakkanmu sementara masih kau genggam segala kenangannya seolah tak akan ada lagi yang lebih berharga…..” Beberapa kalimat yang sesekali aku selipkan di antara obrolan kami, hingga kemudian dia bisa bangkit lagi.
By the time, banyak hal dalam dirinya yang membuatku bisa merasa comfort, secure, safe, dibutuhkan, diinginkan dan dihargai serta kami bisa klik dalam pola pikir. Maka tak sulit buatku untuk mulai membuka hati menerima dirinya . Di saat aku sudah sedemikian yakin untuk bisa bersamanya, di saat itulah dia menyatakan mundur dengan alasan yang tak terjelaskan. Karena apapun alasannya, bagiku itu hanyalah alasan yang menunjukkan jika dia tak seserius yang aku perkirakan. Karena jika dia seserius sangkaanku, mestinya apapun halangan, masalah, rintangan tak akan menjadikannya untuk mundur.
Manakala hubungan (asmara) berakhir, betapapun di kemas dengan penuh nuansa romantis ataupun merupakan hasil kesepakatan bersama untuk memilih jalan hidup sendiri-sendiri, tetap hal yang menyakitkan. Apalagi yang tiba-tiba gone just like dust in the wind?. Maka aku termasuk salah satu orang yang tetap merasakan bagaimana jejak luka, gores kecewa, gurat sedih, feeling blue menghantam telak relung hati dan mengubah suasana hari-hari jadi berselimut kabut.
Rasa kecewa, sakit dan ‘merasa’ dipermainkan, campur jadi satu dalam hatiku. Aku merasa jadi orang yang bodoh sedunia karena percaya dia seserius dan gentle yang aku kira.... “ dia berhasil membuatmu patah hati deh”, demikian ucap sahabat karibku. “ Mau sampai kapan kamu berkabung seperti itu ?”. Berkabung mungkin istilah yang berlebihan, tapi kenyataannya aku memang merasa terjatuh dari tebing yang sangat tinggi, sakiiit rasanya. Makanku jadi kacau dan hampir tiap hari aku menangis, menangisi akan sikap dia juga atas kenyataan bahwa aku sudah menyukainya sehingga merasa kehilangan sedemikian rupa.
Waktu adalah obat yang mujarab untuk menyembuhkan hati yang terluka, selebihnya adalah keinginan kita untuk bangkit dari keterpurukan. Setelah beberapa hari bermuram durja, menangisi kegagalan ta’arufku, aku paham satu hal ‘Kecewa dan sedih HANYA sebagian awal dari kegagalan karena selebihnya adalah pendewasaan diri dan tempaan hati‘ Benar pula, menasehati orang lain memang lebih mudah daripada menerapkannya sendiri.
Aku belajar untuk menghadapi, merasakan, dan menerima rasa sakit tersebut, karena menghindarinya akan membutuhan jauh lebih banyak energy. Menangis memang bisa melepaskan sesak di dada namun tak akan bisa membuatnya kembali seberapapun banyak airmataku yang keluar. Karena itu aku di setiap menangis sekaligus aku mengatakan pada diri sendiri bahwa aku tak boleh larut dalam rasa kehilangan, patah hati atau apapun istilahnya.
Tak ada gunanya bertahan dalam kemarahan, kecewa, sakit hati atau penyesalan. Aku sudah berani mengambil resiko untuk jatuh cinta, maka saat mengalami kegagalan aku pun menempuh jalur re-engineering dalam cara berpikir dan sikap untuk mendapatkan kehidupanku kembali.....[the completely story available on the Antologi true story: When I Broke Up]
Buku yang berisi 30 karya penulis Pemenang event “ When I broke Up” LeutiKario ini menunjukkan bahwa patah hati BUKAN alasan untuk menenggelamkan diri dalam jurang kegalauan atau mematahkan asa kehidupan. Setidaknya 30 kisah dalam Antologi ini menjadi pembuktian bahwa sesungguhnya setiap orang bisa bangkit dari keterpurukannya, tak hanya soal waktu will help to heal tapi yang terpenting adalah KEMAUAN untuk segera bangkit, move on and Life must go on, guys!