Keracunan Ikan, Alergi Makan Ikan Laut dan Hubungannya Dengan Kandungan Histamin .Mungkin kita pernah mendengar peristiwa keracunan setelah
makan olahan ikan ataupun tentang orang yang alergi terhadap ikan? Dan bagi siapa
saja yang gemar makan ikan: pindang, ikan asin, produk olahan ikan tuna atau
pun jenis produk olahan ikan lainnya, sangat mungkin pernah mengalami/merasakan
adanya rasa gatal terhadap suatu jenis ikan atau produk olahan ikan yang sedang disantap. Rasa gatal tersebut, pada jenis ikan tertentu bisa jadi disebabkan oleh adanya kandungan HISTAMIN.
Dan Bismillahirrahmaanirrahiim sedikit
sharing tentang penyebab terjadinya alergi atau adanya rasa gatal/pahit pada ikan
yang lebih dikenal dengan nama Histamin
yaitu
senyawa yang terdapat pada daging ikan [umumnya dari family scombroid] yang di dalam
dagingnya terdapat kadar histidin yang tinggi.
Histamin di dalam daging ikan diproduksi oleh
hasil karya enzim yang menyebabkan dan meningkatkan pemecahan histidin dengan melalui proses
decarboksilasi
(pemotongan gugus karboksil).
Meskipun kadar histamin dalam daging ikan sangat bervariasi, namun secara rata-rata untuk ikan dalam family scombroid yang mulai mengalami decompose biasanya mengandung histamin sekitar 10-50 mg/100 gr dan yang tingkat pembusukannya sudah parah sekali maka kadar histaminnya bisa mencapai 1000 mg/100 gram.Gejala keracunan akan muncul apabila kita mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin yang berlebih, yaitu dalam jumlah diatas 70-1000 mg. Adanya kandungan histamin yang tinggi akan mengakibatkan muntah-muntah, rasa terbakar pada tenggorokan, bibir bengkak, sakit kepala, kejang, mual, muka dan leher kemerah-merahan, gatal-gatal dan badan lemas.
Sekilas gejala
keracunan histamin mirip dengan gejala alergi (yang diindikasikan dengan timbulnya rasa mual, pusing,
bentol-bentol yang disertain gatal biduren/skin rash), dimana hal tersebut
merupakan reaksi penolakan tubuh terhadap zat asing dalam aliran darah yang
dialami oleh orang yang sensitif terhadap ikan atau bahan makanan asal laut.
Oleh karena itu biasanya orang sering
keliru membedakan gejala keracunan histamin dengan alergi. Sampai saat ini
belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat keracunan histamin. Meskipun
begitu kita harus tetap waspada, karena efek yang ditimbulkannya juga tidak
bisa dianggap sepele.
Terjadinya
gejala keracunan histamin maupun adanya rasa gatal/pahit dari ikan hanya terjadi jika makanan hasil olahan
ikan yang dikonsumsi tersebut sudah kadaluarsa atau kualitasnya tidak baik
karena komposisi kimiawi [ikan] sudah berubah oleh aktivitas enzim-enzim/mikroorganisme
pembusuk dan hal ini hanya akan terjadi ikan yang sudah mulai rusak atau
membusuk.
Berdasarkan penelitian,
semua daging ikan yang berwarna gelap mengandung histidin bebas tinggi. Sebaliknya ikan-ikan berdaging putih, rendah
kandungan histidin bebasnya sehngga
waktu busuk tidak menghasilkan histamin.
Sedang ikan yang berdaging berwarna medium dapat menghasilkan histamin
sampai 10 mg% setelah dibiarkan 48 jam pada suhu 25OC. Tetapi terdapat anomali pada jenis ikan tuna yang
memiliki 2 jenis daging yaitu putih dan yang gelap, justru daging-daging yang
putih yang tinggi histaminnya. Daging
yang merah jauh lebih sedikit. Untuk
konsumsi manusia daging merah lebih aman dari daging putihnya itu bila
dipandang dari segi histamin.
Daging ikan yangberwarna merah memiliki kecenderungan mengadung histamin yang lebih rendah disebabkan daging
merahnya tinggi kandungan TMAO (Trimethyl Amine Oksida) yang berfungsi
menghambat proses terbentuknya histamin.
Mengapa
daging merah justru kecil kandungan histaminnya ?
Meskipun enzim
pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri, sebagian besar
enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam
saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi ikan dari luar,
terutama melalui sentuhan tangan yang kotor. Karena itu kadar
histamin dalam ikan tuna dapat digunakan sebagai tolok ukur tingkat kontaminasi
mikroba (sebelum diolah
lebih lanjut).
Dari
ratusan jenis bakteri yang telah diteliti ada 3 jenis bakteri yang mampu
memproduksi histamin dalam jumlah tinggi dari histidin yaitu :
a.
Proteus
morganii
b.
Enterobacteri
aerogenes
c.
Clostridium
perfringens
Hampir
semua mikroba pembentuk histamin bersifat gram negative dan
berbentuk batang, banyak yang
berasal dari kontak dengan
tangan manusia dan kotoran tinja dan isi usus ikan. Mikroba dan enzim protease isi perut ikan
dapat merembes dari dinding perut ke daging.
Bagian depan tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian ekor. Ikan-ikan yang telah dibuang jeroannya, rendah kadar histaminnya karena, mikroba usus dan enzim proteolitis yang terdapat dalam rongga perut dapat menembus ke daging.
Pembuangan jeroan pada ikan kecil dianggap kurang praktis. Untuk menghindari terjadinya histamin
yang tinggi, maka beberapa hal yang perlu
diperhatikan [semoga bisa diaplikasikan dalam sehari-hari] antara lain:
PENGARUH SUHU (peningkatan Suhu / Temperatur )
Jumlah
histamin yang diproduksi dari histidin, sangat tergantung pada jumlah enzim
yang berada di sekitarnya, dan jumlah enzim sangat tergantung pada jumlah
bakteri yang hidup dan berkembang biak.
Suhu yang paling baik untuk pertumbuhan mikroba disebut suhu optimum
pertumbuhan, sedang suhu terbaik untuk kecepatan reaksi enzim disebut suhu
aktivitas optimum.
Untuk
Proteus morganii suhu optimum
aktivitas enzimnya adalah 37OC, sedang suhu optimum pertumbuhan
adalah semakin tinggi suhu biasanya semakin cepat reaksi enzimnya, tetapi juga
cepat koagulasi dan enzim menjadi inaktif.
Enzim dekarboksilase yang dihasilkan oleh mikroba biasanya sangat peka terhadap suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar. Enzim karboksilase dari Clostridium perfringens kehilangan 25% keaktifannya dalam waktu 10 menit pada suhu 38OC. Sebagian kegiatan enzim banyak terjadi sebelum tahap precook, selama precook meningkat. Sehingga pada tahapan precook ini sangat penting untuk diwaspadai dan dimonitoring agar kegiatan enzim dekarboksilase tidak mengalami peningkatan yang serius.
Cold Chain System |
PENGARUH PENANGANAN ( Unpropper Handling)
Ikan-ikan
tuna yang tidak segera di-es-kan setlah ditangkap ternyata
mempunyai kandungan histamin lebih tinggi dari pada yang dieskan. Yang tidak
segera di-es-kan memiliki kadar histamin 2X lipat, Ikan-ikan yang di-es-kan
terlambat, sudah tidak memenuhi mutu untuk dikalengkan setelah berumur 5 hari.
Karena itu peng-es-an pada ikan [tuna] mutlak sangat
perlu, terutama untuk menekan terbentuknya histamin.
Ikan tuna yang tidak dibekukan dan disimpan pada 0OC akan sudah busuk paling lambat 11 hari. Sedang ikan yang dibekukan –20OC baru membusuk dalam 15 hari, ikan-ikan beku yang dithawing disimpan pada 0OC akan busuk dalam waktu 12 hari sedang yang dibekukan (sampai) –20OC selama 67 hari akan membusuk dalam waktu 13 hari pada suhu 0OC (thawing).Tujuan thawing ialah meningkatkan suhu pusat ikan sehingga mencapai 0OC. Yang harus diperhatikan saat thawing ikan adalah Waktu yang diperlukan tentu saja tergantung faktor-faktor tersebut diatas serta ukuran ikan. Semakin lama waktu thawing, semakin tinggi pembentukan kadar histamin.
Thawing terhadap ikan beku dapat
dilakukan dengan 3 cara yaitu :
- Ikan diberikan air yang mengalir secara kontinyu
- Ikan didiamkan dalam rendaman air bersih (direndam), dan
- dengan udara (dibiarkan meleleh sendiri) pada suhu kamar.
Kadar histamin akan meningkat tergantung cara thawing, waktu thawing, suhu air dan kecepatan aliran air
Seperti
telah diketahui, tuna segar tidak mengandung histamin segar. Histamin terjadi
setelah ikan mati dan dibiarkan pada suhu yang cukup tinggi dimana beberapa
bakteri dapat tumbuh dan berkembang biak.
Perkiraan (secara
sederhana) kadar
histamin dapat diperoleh dengan
menggunakan skala monograph, yaitu dengan membuat garis yang menghubungkan
skala A waktu (jam) dengan skala B suhu (OF). garis tersebut akan memotong
skala C kadar histamin (mg/100 gram).
Sebagai contoh: bila ikan tuna telah dibiarkan pada suhu 70 OF (42 OC) selama 29 jam maka kadar histaminnya akan mencapai 10 mg/100 gram. Bila dibiarkan 14 jam pada suhu90 OF (54 OC) atau selama 10 jam 100 OF (60 OC) kadar histaminnya juga akan mencapai 10 mg/100 gram. Meskipun kadar histamin tidak selalu sama pada setiap bagian badan , namun produksi kadar histamin tersebut menggambarkan indikasi umum. Biasanya bagian depan ikan lebih tinggi kandungan histaminnya dibanding bagian belakang.
Bila
ikan tuna sudah mulai membusuk, kandungan histamin rata-rata masih kurang dari
3 mg/100 gram, tetapi kadar histamin bagian depan (belakang kepala ikan) sudah
mencapai 1,14 kali lebih besar dari nilai rata-ratanya. Sedang ikan dengan
tingkat kebusukan sedang biasanya rata-rata histaminnya telah lebih dari 10
mg/100 gram, sedang bagian depan telah mencapai 1,98 kali lebih besar.
Cara prediksi
tersebut diperoleh berdasarkan berbagai asumsi yang dianggap mewakili, jadi ada
kelemahan-kelemahan yaitu monograph tersebut dibuat dari data-data ikan kecil
(4 – 5 pounds) dari satu jenis ikan, dan tiap ikan diinkubasi pada suhu yang
tetap. Dari
monograph tersebut jelas hubungannya antara suhu dan kebusukan (histamin),
semakin tinggi suhu semakin cepat produksi histamin. Semakin rendah suhu semakin awet dan semakin
rendah histamin.
Selain dengan menggunakan monograph, maka bagi konsumen masyarakat
pada umumnya juga bisa melakukan deteksi histamin dengan menggunakan
uji indera (sensory test) yaitu penglihatan dan perasa untuk
mengetahui kadar histamin. Uji indera
ini masih banyak digunakan untuk mendeteksi ikan yang sudah terlalu tinggi
kadar histaminnya, yaitu ketika
ikan sudah mengalami proses decompose (kemunduran mutu) yang biasa kita kenal
dengan istilah ikan (sudah) tidak segar.
Ikan yang tidak segar bisa dilihat dari ciri-ciri visualnya antara lain: tekstur dagingnya lembek, berbau busuk [bau khas ikan mulai rusak], warna permukaan kulitnya kusam, mata ikan keruh [tidak cemerlang], daging melesek jika ditekan dengan jari, perutnya pecah.
Secara uji indera rasa yaitu dilakukan dengan mencicipi
daging ikan, jika terasa pahit atau gatal [yang harusnya tidak ada dalam taste
ikan berkualitas baik], maka bisa dikatakan mengandung histamin. Akan tetapi
dalam batas kadar histamin
yang rendah,
penggunaan deteksi
uji indera tidak mungkin menjelaskan secara obyektif sehingga sering
menimbulkan “debat
kusir” karena tingkat kepekaan indra masing-masing orang berbeda.
Bisa jadi bagi si A sudah merasakan adanya rasa gatal,
namun bagi si B [yang sensitivitas kurang peka] tidak merasakan gatal saat
menikmati ikan secara bersamaan. Sehingga untuk hasil yang akurat [umumnya]
untuk quality assurance skala produksi harus dilakukan uji histamin secara
laboratoris sehingga diperoleh hasil kadar histamin secara kuantitatif (yang
lebih obyektif). Masalah
kadar histamin dalam ikan
kaleng [tuna] adalah merupakan masalah serius dalam
perdagangan international.
Berbagai negara menetapkan batas maximum (MRL = Maximum Residu Limits) di dalam regulasi perdagangannya. Dan Indonesia mempersyaratkan MRL histamin sebesar 100 mg/100 g [ppm].