Prolog: Niat awal postingan ini dalam rangka menyemarakkan perhelatan GiveAway Cah Kesesi AyuTea. Tapi setelah menyimak dengan lebih seksama dalam tempo yang secukupnya tentang isi T&Cnya, ternyata ada point yang menyebutkan: diutamakan kisah sendiri.
Meski demikian, karena niat sudah diikrarkan maka tidak bisa saya tarik lagi sehingga tetap saya posting [Alhamdulillah jika ditoleransi untuk masuk kriteria GA #Mauuunya!] . Dan Bismillahirrahmaanirrahiim here is my story [based on true story] yang saya narasikan dalam bentuk cerpen. Hope you’ll enjoy this entry.
♠♥♠♥♠♥
Pesawat telpon di meja kerjaku berdering kembali padahal baru satu menit aku meletakkan gagang telpon tersebut, “Iya Lia, ada apa lagi ?” tanyaku tanpa basa-basi pada sekretarisku.
“ Maaf Pak, ada yang ingin bertemu dengan Pak Damar. Bisa saya persilahkan masuk sekarang atau…”
“ Siapa
lagi? Bukannya sudah tidak ada appointment?”
“ Seorang
bapak, tapi tidak mau menyebutkan namanya..” kudengar nada agak ragu di
seberang telpon yang aku pegang.
Sok misterius banget, mau bertemu denganku tapi tidak
mau menyebutkan identitasnya. Tapi demi mengingat didikan etika kedua orang
tuaku, maka aku bilang pada Lia untuk mempersilahkan tamu itu masuk ke ruang
kerjaku.
“ Assalamu’alaikum…” seorang lelaki seumuran bapak
tapi sedikit lebih tinggi memasuki ruanganku. Kulitnya sawo matang, rambut agak
bergelombang. Garis wajahnya mengingatkanku pada seseorang tapi aku tidak
ingat sama sekali kapan dan di mana pernah melihatnya.
“ Wa’alaikum salam,” kuterima uluran tangannya,”silahkan
duduk Pak..”
“ Maaf jika kedatangan saya mengganggu Nak Damar..”
“ Kalau boleh saya tahu bapak ini siapa dan ada keperluan
apa ingin ketemu saya?” tanyaku to the point.
Lelaki itu tidak langsung menjawab, kulihat seberkas
gundah menghiasi wajahnya yang mulai terpahati keriput di beberapa bagian.
“ Sangat wajar jika Nak Damar tidak mengenaliku, sama
halnya aku juga tidak akan tahu bagaimana rupa Damar kecil yang telah
kutinggalkan 24 tahun silam…”
“ Maksud Bapak…?” perasaan aneh, gugup dan bingung
serta merta membadai di dadaku. Apakah dia….?
“ Iya aku ayahmu…” satu kalimat yang cukup membuat
bumi terasa berhenti berputar. Aku terdiam dalam keterpanaan tiada terkira,
terkejut dan ingin tidak mempercayai ucapannya. Tapi ingatanku yang langsung
mendarat pada selembar foto yang pernah ditunjukkan Embah saat aku SMA adalah
pembenaran yang tak bisa ku tolak.
Bippp...bippp...suara handphone
menghentikan lamunanku tentang pertemuan kemarin sore dengan lelaki yang menyebut dirinya ayahku. Kulihat layar dan tampak nama Prastama muncul
dilayar. Aku tak berminat mengangkatnya karena
adikku itu pasti akan mencerca dengan banyak pertanyaan kenapa dan untuk apa
aku tiba-tiba mau pulang ke Surabaya lagi padahal belum ada seminggu berada di
Jakarta. Sebagai
gantinya kukirimkan pesan singkat agar besok menjemputku di Juanda.
♠♥♠♥♠♥
“ Bapak mana, Buk?” tanyaku
begitu masuk rumah dan mencium tangan ibu.
“ Kamu ini
ada apa? Tiba-tiba pulang lagi dan langsung nanyain bapakmu “ protes ibu sambil
mengacak rambutku, kebiasaan ibu jika gemas padaku. “ cuci kaki dan minum teh
dulu. Jam segini bapakmu ya bersama taxinya, apa lupa kalau pekerjaan bapakmu
itu sopir taxi?”
“ Lha bapak sih ngeyel, suruh berhenti jadi sopir tidak mau. Sekarang aku sudah kerja
dan Andi sudah lulus kuliah. Hanya tinggal Prastama yang harus dibiayai, aku sanggup bayari
kuliahnya”.
“ Kamu ini
datang-datang bicara ngalor-ngidul gak jelas begitu? Ada apa sih, Mar? Apa kamu
malu punya bapak jadi sopir
taxi? ”
“ Astagfirullah, kok jadi salah paham
begini ? Ibuk tahu jika Damar sangat menghargai dan kagum dengan bapak kan ?”
aku berusaha meredamkan perasaan ibu, merangkul pundaknya dan mencium keningnya
dengan lembut. “ Bagi Damar, bapak adalah ayah terhebat di dunia, jadi tidak ada
alasan buat Damar untuk malu dengan pekerjaannya sebagai sopir “.
“ Iya ibuk
heran tiba-tiba kamu pulang lagi dan baru satu menit masuk rumah sudah bicara
yang membingungkan seperti orang kesambet
gitu “.
Ya Allah,
aku tak sanggup mengatakan pada ibuk kenapa aku mendadak pulang lagi.
Menceritakan pertemuanku dengan lelaki yang sudah menelantarkannya tanpa jejak
demi menikah dengan wanita selingkuhannya, bahkan
untuk memperjelas status pernikahannya ibuk harus bersusah payah sendiri
mengurus surat cerai tanpa kehadiran lelaki itu. Jiwa besarnya mungkin sudah memaafkan lelaki tersebut, tapi aku yang tidak tega untuk melihat Ibu harus berperang kembali dengan desir luka karena aku membangkitkan lagi gores kelamluka masa lalunya.
Aku memandang pigura yang menggantung di tembok, foto kami sekeluarga saat
acara wisudaku beberapa tahun lalu. Ada bapak, ibu dan kedua adikku, sungguh
potret keluarga utuh yang harmonis. Dan kenyataanya keharmonisan itu tak hanya
tampak di foto. Dengan bekerja sebagai sopir taxi dan dibantu ibu yang
melayani pesanan kue, mereka membesarkan kami bertiga dalam kesederhanaan di
tengah kerasnya kehidupan kota Surabaya dan mampu mengantarkan kami sampai
jenjang kuliah.
Bapak menikah dengan Ibu yang janda beranak satu yaitu diriku.
Sebenarnya saat itu bapak kerja di sebuah perusahaan tapi karena mengalami
kebangkrutan akhirnya bapak kena PHK sehingga harus mencari pekerjaan lain dan jadi sopir taxi
sampai sekarang. Aku hanya mengenal Bapak sebagai ayahku, karena yang aku tahu
dari cerita sekilas, ayah kandungku sudah meninggalkan ibu sejak aku belum
genap berumur setahun. Dan kenyataan itu tidak pernah menggangu karena sikap
serta kasih sayang yang dicurahkan bapak tidak ada yang berbeda kepada kami
bertiga. Lingkungan sekitarpun bukan tipical tokoh-tokoh dalam cerita sinetron
yang usil terhadap bentuk hubungan anak dan ayah/ibu yang tidak sedarah.
“ Kamu
kenapa? Kok dari tadi mandangi foto itu? “.
Aku
menoleh dan tersenyum pada ibu “ Coba lihat di foto itu, bapak kelihatan
kelihatan keren kan Buk? Hehehe…”
“ Dari
tadi bapakmu terus yang kamu omongin, Mar “ selidik ibu dengan instink ingin
tahunya.
“ Ibuk
bisa saja “, elakku sekenanya “ Damar mau istirahat dulu Buk..”
♠♥♠♥♠♥
Semilir
angin sore yang meniup perlahan, menawarkan kesegaran tersendiri dengan aroma
basah sisa hujan beberapa jam lalu. Duduk pada salah satu sudut tribun di
Stadion Tambaksari, melayangkan pandangan ke tengah lapangan. Tampak beberapa
anak sedang asyik main bola dengan keriangannya yang tanpa beban. Pemandangan
yang menerbangkan ingatan pada masa kanak-kanakku.
Tak terasa sudah delapan belas tahun berlalu saat bapak setiap hari minggu
mengajakku main bola di lapangan ini. Bersama kedua anak kandungnya dan aku
yang lahir dari benih laki-laki lain tapi bapak menyayangiku dengan demikian
tulusnya sehingga aku tak pernah merasakan jika dia bukan ayah kandungku.
Bapak yang mengajariku naik sepeda, menemaniku main bola dan membuatkan
aku layang-layang. Bapak yang panik saat aku diserempet sepeda motor, bapak
yang meredamkan amarah Ibu waktu tahu aku coba-coba merokok. Terlalu banyak
kenangan dan tak bisa aku sebutkan satu persatu betapa bapak sudah menempatkan
dirinya sebagai sosok ayah yang luar biasa bagiku. Dan yang
membuatku aku lebih bangga lagi, semarah apapun bapak tidak pernah sampai
menurunkan tangan pada kami.
“ Menangis
itu normal Mar, tapi jadi laki-laki cengeng itu yang salah besar..” nasehatnya
ketika aku jatuh saat belajar naik sepeda.
“ Kenapa
cengeng itu salah, Pak?” tanyaku kala itu.
“ Karena
cengeng itu artinya kamu lemah, kamu tidak hebat…” dengan bahasanya bapak
mencoba memberi penjelasan yang bisa diterima oleh nalar kanak-kanakku.
Dedauanan hijau yang masih basah oleh sisa
air hujan, beberapa
butirnya jatuh di tubuhku saat angin bertiup perlahan. Kupejamkan
mata, merasakan romantisme suasana di stadion ini sambil mengenang
kembali setiap kenangan masa-masa aku sering bermain di lapangan ini.
“ Damar…”
sapaan suara yang teramat aku kenal, menghentikan laju lamunanku. Perlahan
kubuka kelopak mataku, menoleh ke samping dan kudapati sosok lelaki yang akrab
aku panggil bapak sudah duduk dengan santai. Senyumnya mengembang di antara
kumis tipisnya yang kelihatan habis dicukur.
Kucium
tangannya dengan takzim “ Kok Bapak tahu Damar di sini?”
“ Di sini
kamu dulu suka menghabiskan waktu untuk bermain, dan di sini pula kamu biasa
menyendiri jika ada masalah kan?”
Yah, tentu
saja bapak dengan mudah bisa menemukan aku di sini karena dia sedemikian paham
dan hafal akan semua kebiasaanku.
“ Apa dia
sudah menemuimu, Mar? Dan karena itu kamu tiba-tiba pulang dan mau minta
penjelasan sama Bapak, kenapa memberitahu dia tentang alamatmu di Jakarta?” tanya bapak langsung pada pokok dilema
hati yang aku alami.
“ Damar
bingung, Pak. Antara kecewa, sedih dan ingin marah…andai bisa di hapus, Damar
akan lebih mudah untuk memilih menghapus jejaknya dalam hidup Damar “.
“ Hushh,
jangan ngawur gitu kalau ngomong..”
“ Dan Bapak, kenapa memberitahukan alamat Damar ?”
Bapak
menatapku dalam-dalam, seolah hendak menyelami isi hatiku dan sesaat kemudian
melemparkan pandangannya lurus ke tengah lapangan.
“ Karena
Bapak tahu bagaimana hati seorang ayah untuk anaknya..”
“ Hanya
karena dia kebetulan yang menyebabkan aku lahir? Kemudian pergi tanpa rasa
tanggung jawab sedikitpun, tidak perduli istri dan anaknya masih hidup atau
tidak? Itu yang di sebut hati seorang ayah?”
“ Bapak
mengerti perasaanmu, Mar. Tapi dia tetap ayah kandungmu yang harus kau hormati
“
“ Dan
kalau aku tidak bisa menghormatinya maka aku di sebut anak durhaka ya kan Pak? Kenapa dia
tidak di sebut ayah durhaka ?”
“
Damar..!” pintas bapak dengan intonasi agak tinggi.
“ Maaf,
Damar tidak bermaksud kasar..”
Bapak
menghela nafas panjang dan merangkul
pundakku dengan kasih.
“ Bapak
tahu tidak mudah bagimu untuk menerima kenyataan bahwa kau harus menghormati
dia. Dan asal kau tahu inipun salah satu resiko tidak mudah yang harus Bapak
hadapi ketika memutuskan menikah dengan ibukmu “
“ Maksud Bapak?”
“ Aku yang
membesarkan dan selalu ada buatmu..bagiku kau sudah menjadi anak kandungku.
Tapi kenyataannya ada laki-laki lain yang jelas-jelas adalah ayah kandungmu ?
Dan bapak tidak mungkin meniadakan fakta itu. Sangat tidak mudah buat bapak,
Mar. Dengan menekan rasa cemburu dan ego, bapak meyakinkan ibukmu agar mau
memperkenalkan kamu dengan keluarga ayahmu demi hubungan silaturahim tidak terputus..”
“ Iya,
Damar sama-samar masih ingat. Dulu ibuk sesekali mengajak Damar ke rumah orang
yang menyebutkan dirinya sebagai Eyang. Tapi laki-laki itu tak pernah muncul menemui
Damar di sana Pak...” jawabku dengan nada suara serak. Ada rasa nelangsa saat mengingat betapa ibu sudah berlapang hati menapak tilas keluarga 'mantan' suaminya agar aku mengenal siapa saja keluarga besar ayah kandungku. Dan kenyataannya lelaki tersebut tak pernah menampakkan batang hidungnya meski hanya sesaat. Dan ibu pun akhirnya harus mengikhlaskan jika lelaki itu tak ingin bertemu anak kandungnya. Menginjak SMP, ibu berhenti mengajakku mengunjungi keluarga besar itu karena orang yang membahasakan dirinya dengan sebutan Eyang sudah meninggal.
“ Dan
tidak mudah bagi Bapak saat harus
berbesar hati memberikan alamatmu ketika dia datang menemui bapak, Mar. Tapi
bapak harus realistis, walau bagaimana tidak ada istilah mantan orang tua bagi anaknya kan?”
Aku
terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang di ucapkan bapak, berusaha meresapi
dan mengendapkannya dalam hati serta meredam emosiku.
“ Sisi
manusiawi bapak tidak rela, tiba-tiba dia muncul dan ingin di anggap sebagai
ayah kandungmu. Tapi bapak akan jadi sosok ayah yang gagal mendidikmu jika
bapak sendiri tidak mampu bersikap gentlemen dengan memberikan apa yang menjadi
hak bagi kalian sebagai anak dan ayah..”
Aku
terhenyak, trenyuh dalam palung haru yang terdalam. Sedemikian luar biasanya
jiwa besar bapak. Dia yang sudah bersusah payah berselimut suka dan duka untuk
membesarkan aku yang jelas-jelas bukan darah dagingnya, melimpahiku dengan perhatian
dan kasih sayang. Dan dia berbesar hati meyakinkaku agar bisa menerima
laki-laki yang mengaku sebagai ayah karena sebagian darahnya mengalir dalam
tubuhku.
“ Terima
kasih, bapak adalah ayahku yang terhebat” kupeluk bapak dengan sangat erat.
Jika tidak ingat ini di lapangan, mungkin air mataku sudah menetes perlahan.
“ Jadi
bagaimana..?”
“ Damar
tidak akan mengecewakan bapak “ jawabku dengan suara serak “ Damar akan
berusaha bersikap sportif terhadap ayah kandung Damar tapi Damar tidak bisa
janji kalau hubungan kami akan cepat akrab “
“
Maksudmu, Mar?”
“ Hampir dua
puluh lima tahun sejak kepergiannya meninggalkan Damar, tidak bisa di tebus dengan hitungan hari atau bulan untuk
melahirkan hubungan emosional antara ayah dan anak..”
“ Iya Bapak mengerti, yang penting kamu bisa memaafkan dia saja dulu..”
“ Bapak
sendiri yang suka bilang pada Damar bahwa tidak ada yang instant di dunia ini. Semua butuh proses dan waktu kan ?”
“ Ya
sudah, sekarang ayo kita pulang. Ibukmu sudah masak nasi goreng kesukaanmu
lho?”
Dan kenyataannya hubungan nasab antara orang tua dan anak memang tak akan
terputus mulai masa lalu, sekarang dan nanti, apalagi ada adik perempuan hasil
pernikahan ayahku dengan wanita itu....hubungan bertali darah ini akan terus merentang
selamanya, demikian serangkum bisikan hati yang memberikan energi proaktif dan kucoba
tanamkan dalam mindsetku selain pattern yang tak akan tergeser lagi bahwa Bapak adalah ayahku.
Kami
pun beranjak dari stadion dengan diiringi sayup-sayup suara adzan Maghrib, menggema
memecahkan langit Surabaya. Warna jingga mulai semburat di sisi barat dan angin
senja pun seolah berhenti sejenak untuk menjawab
seruan suara muadzzin yang merdu mengumandangkan panggilan untuk menyeru pada Allah Azza wa Jalla dalam sujud demi sujud yang khusyu.
♠♥♠♥♠♥ End ♠♥♠♥♠♥
Tidak ada yang bisa mengubah dan menghindari masa lalu,
tapi selalu ada pilihan untuk memperbaiki reaksi serta sikap kita sekarang terhadap segala yang telah terjadi demi hari esok yang lebih baik.
"Tulisan
ini diikutsertakan dalam GiveAway Cah Kesesi AyuTea
yang
diselenggarakan oleh Noorma Fitriana M. Zain".