Budidaya Ikan : Solusi untuk Musim Paceklik dan Over Fishing. Membaca tentang Petani Ikan di Yogyakarta Gunakan Panel Surya di VOA Indonesia pada 18-05-2012 yang berisi tentang Pemanfaatan sumber energi alternatif dengan panel surya, dilakukan sejumlah petani di Yogyakarta, untuk memanfaatkan sinar matahari menjadi sumber tenaga listrik bagi penggerak aerator.
Dengan penemuan teknologi aerator diharapkan mampu mengurangi kematian bibit benih ikan dan dalam jangka panjang pemanfaatan panel surya akan membawa dampak positif dalam mengurangi ketergantungan atas listrik dari negara. Artinya, petani ikan pun akan bebas dari ketergantungan listrik terhadap pemerintah. Dan Bismillahirrahmaanirrahiim saya tertarik untuk menggarisbawahi tentang petani ikan dan kontribusi penemuan panel surya tersebut untuk sektor perikanan.
Sebut saja kota/daerah Muncar yang mendapatkan predikat prestisius sebagai salah satu kota penghasil ikan terbesar di Indonesia. Yang paling menonjol dalam imaji saya kala SD adalah Muncar sebagai pendaratan ikan dari para nelaxan yang tangkapannya melimpah ruah. Dan saat sekira 10 tahun lalu saya berkesempatan menginjakkan kaki di bumi Blambangan tepatnya di Muncar [meski kesan pertama yang saya peroleh adalah betapa pencemarannya yang sudah di tingkat akut kala itu dan sampai sekarang], pemandangan yang terlihat memang membuat berdecak kagum.
Di depan mata saya terpampang hasil tangkapan ikan yang melimpah ruah, bahkan kalau hanya untuk dimakan sendiri ikan bisa gratis. Konon katanya sampai pernah terbuang akibat daya tampung pengolahan ikan over loaded! Hal yang kontras dengan di daerah saya yang jauh dari sentra perikanan sehingga menu ikan merupakan lauk yang istmewa [jika tidak boleh dibilang exclusive] saat makan. Bisa makan dengan ikan asin saja sudah luar biasa, apalagi maka pindang atau beli ikan dalam kaleng [sarden]?
Salah Satu Wajah Pantai yang tercemar |
Saya juga terpesona oleh oleh taraf ekonomi masyarakatnya yang terlihat dengan dominasi pemandangan rumah-rumah yang dalam kaca mata saya termasuk rumah mewah. Bukan berarti golongan ekonomi lemah tidak ada, tapi populasinya tertutupi oleh banyaknya rumah-rumah penduduk yang masuk strata menengah ke atas.
Saya (sempat) pernah bilang guyonan sama teman: “jika tempat tinggalku dibawa ke Muncar bisa masuk dalam daftar penerima zakat neh?” Selain taraf ekonomi masyarakat Muncar yang mengagumkan, saya juga melihat betapa industri pengalengan ikan bertumbuh pesat karena pasokan bahan baku yang melimpah ruah tersebut. Juga industri skala rumah tangga seperti pemindangan, pembuatan ikan asin, pengolahan minyak ikan, petis dan berbagai produk sampingan [dari hasil pengolahan ikan] lainnya. Mengguritanya industri perikanan di Muncar tentu merupakan angin segar untuk menyerap tenaga kdrja sebanyak-banyaknya.
Akan tetapi sepertinya saya harus mencubit diri beberapa kali, ketika mendengar berita tentang musim ‘paceklik’ yang sedang melanda masyarakat nelayan Muncar. Bukan sekedar kondisi paceklik rutin yang biasa disebut dengan istilah padangan yaitu saat bulan bersinar terang [biasanya berlangsung sekitar seminggu] yang berakibat menurunnya hasil tangkapan ikan sehingga saat padangan biasanya digunakan untuk memperbaiki alat tangkap daripada pergi ke laut malah over cost.
Tapi paceklik yang saat ini terjadi adalah the worst Paceklik dalam sejarah [katanya para nelayan]. Sekarang adalah tahun ketiga Muncar menghadapi masa paceklik. Hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Nyaris tidak membawa hasil tangkapan ikan menjadi hal pahit yang harus dihadapi hampir tiap hari oleh komunitas nelayan di Muncar.
Dan pemandangan di pelabuhan Muncar yang menyuguhkan banyaknya perahu/kapal penangkap ikan terparkir secara padat untuk jangka waktu lama merupakan hal jamak namun sekaligus ironis bagi daerah yang [pernah] menyandang predikat prestisus sebagai kota penghasil ikan terbesar di Indonesia. Secara singkatnya, nelayan dan semua yang terkait dengan aktifitas penangkapan ikan di laut menganggur total saat paceklik ini. Perahu dan kapal yang tak terurus di bibir pantai adalah hal ‘tragis’ apalagi kenyataan bahwa alat-alat penangkap ikan tersebut saat tidak terpakai pun membutuhkan biaya perawatan yang relatif banyak/mahal.
Ketika saya berkesempatan bertemu langsung dengan para pelaku pengolahan ikan, fakta yang tak kalah dramatisnya, salah satu contohnya adalah pelaku pengolahan pindang: saat ini yang masih bisa beroperasi jumlahnya tak lebih dari 20 % dari 16 unit usaha pemindangan yang ada di wilayah Muncar, itu pun dengan kapasitas produksi yang juga drop drastis menjadi + 10%, yaitu sekitar 500 Kg.
Bahkan meskipun kebijakan import membuka kran untuk mendatangkan bahan baku dari luar negeri ternyata tidak memberikan pengaruh yang significant karena dari hasil yang sudah pernah di coba, nilai margin keuntungannya sangat tipis yaitu mendekati nilai Break Event point atau bahkan mungkin sama dengan BEP, itu pun dengan kondisi produk yang kualitasnya jauh lebih rendah jika dibandingkan menggunakan bahan baku lokal yang tingkat freshness-nya masih tinggi.
Hal yang senada juga dialami oleh industri pengalengan [jenis ikan pelagis kecil], selama terjadinya masa paceklik [3 tahun terakhir ini], kapasitas produksinya pun turun dengan tajam, bahkan beberapa pabrik ‘mati suri’ sampai jangka waktu tak tertentu. Untuk memproduksi permintaan pasar lokal saja mereka kesulitan bahan baku, apalagi memenuhi target ekspor seperti sebelum-sebelumya.
Bagi pengolah ikan [pabrik] yang modalnya dibawah rata-rata atau pas-pasan, maka dalam sebulan belum tentu ada kegiatan proses produksi. Sedangkan pabrik yang tingkat capitalnya rata-rata, mereka masih mampu beroperasi secara random yaitu ketika sudah terkumpul hasil tangkapan nelayan yang memenuhi kuota untuk dilakukan proses produksi. Untuk kapasitas produksi 10 ton [yang menghasilkan produk jadi + 5,5 ton] sehari, dibutuhkan waktu sekitar 2 minggu untuk mendapatkan jumlah bahan baku yang memenuhi kapasitas produksinya.
Bagi pabrik pengalengan yang memiliki dukungan finansial seattle, masih bisa berproses relatif lancar dengan mengandalkan bahan baku import. Dari 10 pabrik yang bergerak pada proses pengalengan ikan, saat ini yang masih berproduksi rutin tinggal satu pabrik yaitu dengan mengandalkan bahan baku import. Hal ini tentu merupakan fakta yang sangat ironis, dari wilayah penghasil Ikan terbesar berubah wajah jadi konsumen importir bahan baku ikan!
Dilema paceklik yang sangat mencekik bagi masyarakat nelayan di wilayah Muncar: pemasukan yang nihil sedangkan pengeluaran biaya perawatan kapal/alat tangkap ikan dan kebutuhan hidup sehari-hari harus dipenuhi secara rutin. Sedangkan untuk menjual perahu atau kapal adalah hal yang tidak mungkin karena paceklik kali ini terjadi secara merata. Dampak yang lebih kronis adalah bagi nelayan yang berposisi sebagai buruh pada pemilik kapal atau perahu. Ibarat satu tepukan di permukaan air yang menimbulkan gelombang transversal dan longitudinal yang merambat luas, maka demikian juga paceklik yang terjadi di Muncar.
Musim paceklik ikan yang berkepanjangan hingga menginjak tahun ketiga, maka satu demi satu isi rumah pun berpindah tempat, perhiasan anak-istri, perabot rumah tangga bahkan alat dapur pun bisa pindah tangan dengan sukses. Tak jarang, rumah yang tampak bagus pun tinggal bangunannya yang terlihat mentereng, sedangkan isinya sudah ganti kepemilikan. Maka jangan berburuk sangka dulu kalau ada orang yang menawari barang-barang komplementer dengan harga yang super sale karena bisa jadi barang-barang tersebut berasal dari warga Muncar.
Lantas kemanakah para tenaga kerja produktifnya mengais nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?
Jumlah tenaga kerja yang terkena dampak musim paceklik ikan ini pun tentu tidak sedikit mengingat penyerapan tenaga kerja dari setiap pabrik secara rata-rata adalah 300-500 orang. Maka pergi Ke Bali atau bekerja ke kota besar lainnya sebagai buruh kasar atau bahkan berbondong-bondong menjadi TKI adalah pilihan yang terpaksa mereka lakukan. Grafik jumlah TKI yang berangkat ke luar negeri pun melonjak tinggi, demi sesuap nasi dan kesejahteraan hidup, harus dilakoni kehidupan tinggal jauh dari keluarga dan orang-orang yang di sayangi dengan menghadapi segala resiko bilateral yang mengancam dari berbagai aspek kehidupan.
Kondisi paceklik ikan yang terjadi di Muncar merupakan sebuah pelajaran sekaligus tantangan jangka panjang bagi dunia perikanan untuk lebih intens mengembangkan sektor budidaya. Karena walaupun wilayah Indonesia 2/3-nya terdiri dari perairan yang luas dengan sumber kekayaan [ikan] alam yang berkategori renewable resources, tapi banyak aspek lain yang juga memberikan pengaruh simultan terhadap fluktuasi hasil penangkapan ikan akan mengarah pada fase ‘langka’ ikan.
Tingkat sustainable ikan ada batas optimumnya, pada suatu saat sangat mungkin bisa terjadi jumlah ikan yang ada di perariran lepas akan mengalami penurunan akibat jumlah penangkapan yang melebihi daya kembang biak ikan itu sendiri.
Fenomena yang terjadi di Muncar adalah akibat over fishing yang sudah berlangsung sangat lama dan menjadi lebih parah lagi oleh pencemaran lingkungan yang seperti saya bilang di atas bahwa tingkat pencemaran yang terjadi di Muncar sudah berada di atas batas akut, karena hampir semua unit pengolah ikan [skala kecil maupun industri] sebelumnya tidak ada yang dilengkapi dengan instalasi pengolahan limbah [IPAL]. Kondisi ini pastinya menjadi faktor yang berkontribusi besar terjadinya paceklik yang berkepanjangan saat ini.
Untuk memulihkan kondisi lingkungan [perairan] yang tercemar tentu dibutuhkan upaya sinergis dari semua lini/stakeholder dan membutuhkan jangka waktu yang tidak singkat. Tindakan recovery yang ditempuh dengan mewajibkan untuk membuat instalasi pengolah limbah bagi semua jenis industri/usaha yang menghasilkan limbah potensial sebagai pencemar lingkungan, tentu tidak serta merta bisa mengeliminasi masa paceklik ikan di Muncar, sedangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan dan perikanan harus secepatnya dipulihkan.
Selain akibat over fishing dan pencemaran lingkungan di atas, jika ditelaah lebih jauh maka secara makro/nasional, perikanan di Indonesia tidak bisa [selamanya] hanya bertumpu pada hasil penangkapan. Sudah saatnya meng-adjust sektor budidaya untuk memperkuat [sekaligus meningkatkan] kapasitas produksi hasil perikanan.
Maka hadirnya Inovasi aerator untuk budidaya ikan bisa menjadi alternatif yang comprehensive, tepat guna dan tepat waktu untuk menggiatkan sektor budidaya para nelayan. Pemanfaatan panel surya tentunya sangat menghemat pembiayaan karena tidak ada pengeluaran untuk listrik atau pun genset, sehingga selain mengurangi kematian benih/bibit ikan yang dibudidayakan juga bisa menekan biaya produksi yang sangat significant. Jumlah benih yang mati bisa diminimalkan dan cukup mengandalkan tenaga surya merupakan faktor yang berkorelasi untuk memenuhi ketersediaan bahan baku di sektor industri perikanan karena peluang produksi perikanan dari sektor budidaya adalah:
- Spesies ikan yang lazim diolah adalah Udang, Nila, Bandeng, Patin, Lele, gurami dengan asumsi rendemen 60%
- Rumput Laut diolah (kering) dengan rendemen 12,5%
Dengan demikian kisah pilu dan tragis fenomena paceklik seperti yang melanda di Muncar semoga tidak perlu terulang lagi di masa-masa mendatang, juga tidak sampai terjadi di wilayah lain. Maka sangat masuk akal dan memenuhi kriteria kalkulasi akuntabilitas jika teknologi aerator panel surya sangat mendukung terhadap perkembangan sektor budidaya sehingga bisa mewujudkan industri perikanan yang berbasis pada:
1. Berpihak pada masyarakat miskin (Pro poor)
2. Pertumbuhan ekonomi (Pro growth)
3. Penyerapan tenaga kerja (Pro Job)
4. Pengembangan agroindustri/agrobisnis (Pro Bussines)
5. Penanganan perubahan lingkungan (Pro sustainable)
6. Pro Kesetaraan Gender karena industri Perikanan mampu menyerap tenaga kerja perempuan sebanyak 60-70% dalam proses produksinya.
Dengan output, out come dan impact tersebut diharapkan bisa mempengaruhi pembangunan ekonomi yang pro-rakyat dengan tujuan pembangunan yang diharapkan bisa meningkatkan produksi dan produktifitas perikanan dan kelautan yang berkelanjutan sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan serta masyarakat pesisir lainnya karena potensi budidaya bisa meliputi: Tambak, Kolam, Karamba, Mina Padi, Sawah Tambak, Budidaya Laut.
Dan sejatinya semua yang berperan dalam proses produksi hasil perikanan untuk menghasilkan komoditas ekspor yang kompetitif dalam free trade market yang berkembang saat ini merupakan Pahlawan Devisa tanpa harus menjadi TKI ke luar negeri. Dengan demikian membudayakan sektor budidaya ikan akan menjadikan nilai tambah produksi perikanan yang mampu menyerap tenaga kerja dan membuka kesempatan berusaha yang lebih luas.
Menuliskan tentang laut dan perikanan, membangkitkan kenangan akan sebuah semasa saya masih kanak-kanak yang berjudul: Nenek Moyangku yang mengisahkan tentang betapa hebatnya seorang Pelaut:
Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda b’rani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai
Meresapi tiap bait lagu karya Ibu Sud tersebut memberikan romansa yang luar biasa tentang keberanian dan ketangguhan para nenek moyang kita yang menjelajah samudera sebagai pelaut dan membukukan sejarah bahwa Indonesia adalah negara Maritim yang besar. Dan semoga berabad-abad tahun ke depan Indonesia tetap bisa berkibar sebagai negara Maritim yang tangguh, bukan sebatas memorabilia dalam b`it-bait lagu ataupun catatan tinta sejarah belaka.
Notes: Alhamdulillah juara kedua di http://www.voaindonesia.com/section/voa_blogging_contest/2173.html