“
Anak-anak, kakek-nenek moyang kita telah
menanam pohon Kelengkeng ini meski sangat tahu kelak mereka tak akan sempat
menikmatinya. Mereka tetap bersemangat menanamnya demi anak cucunya kelak. Nah, tanaman apakah yang sudah kita tanam untuk anak cucu kita nanti? #efek
lagi jalan-jalan di Agrowisata” demikian sms yang saya terima. Sekilas
memang sms biasa, sekedar berbagi kabar-kabari layaknya ketika saya lagi pengen
up date status di FB atau twitter tentang
hal-hal yang sedang saya lakukan.
Setelah beberapa waktu berlalu, kok saya jadi
teringat lagi dengan sms tersebut. Bismillahirrahmaanirrahiim poin
of view
saya pada jenis kegiatannya yaitu mengajak anak-anak berwisata ke area
perkebunan, menikmati manis buah kelengkeng dengan mengalami metik langsung
dari pohonnya. Kalau ditelaah sedikit lebih serius, bukankah acara mengajak
anak-anak untuk jalan-jalan ke Agrowisata tersebut bisa menjadi salah satu
media edukasi untuk menumbuhkan rasa cinta pada tumbuhan sejak dini? #edisi belajar jadi orang tua MODE ON!
Seperti
kita tahu bahwa pemanasan global, siklus alam yang mengalami pergeseran/tidak
menentu dimana dampaknya banyak terjadi bencana alam yang silih berganti.
Dimana ‘kisruh’ ketidakseimbangan alam tersebut merupakan salah satu faktor yang
menyebabkannya adalah punahnya flora dalam jumlah yang besar. Untuk
mengembalikan pada kondisi semula dibutuhkan gerakan/revolusi yang luar biasa
secara global tentunya. Dan kegiatan
tersebut harus didasari oleh good will
dan mind set keperdulian dan
kesadaran bahwa hal tersebut merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat.
Menumbuhkan
rasa cinta pada tumbuhan sebagai gerakan yang bisa memperbaiki [kondisi] bumi memang tidak bisa serta
merta dilakukan. Dengan mengacu pada kondisi empirik yang demikian maka memulai
dengan gerakan dari unit masyarakat terkecil yaitu KELUARGA akan memberikan
kontribusi terwujudnya pelestarian flora. Menumbuhkan rasa cinta pada tumbuhan
sejak dini dengan dimulai dari keluarga, jika hal ini sudah menjadi kesadaran
dan bisa mendunia maka ancaman global warming secara perlahan akan bisa
direduksi level kekritisannya.
Bukankah terwujudnya tatanan sosial yang kondusif dimulai dari unit terkecil dari bagian masyarakatnya yaitu Keluarga?
Untuk
starting step, bisa dimulai dengan
menanam jenis tanaman yang disukai oleh semua anggota keluarga sehingga secara
bersama-sama akan terbentuk kebiasaan memelihara tanaman di rumah.
Masing-masing kleuarga tentu memiliki trending
topic yang spesifik yang bisa lebih aplicable bagi semua anggota
keluarganya, terutama bagi anak-anak sebagai agent perubahan masa depan.
Terciptanya intensitas dan interaktif antara anak dan tumbuhan sejak dini bisa menjadi media training natural dalam rangka memberikan pondasi yang kuat terbentuknya karakter seseorang [anak] yang memiliki kepekaan, ketelatenan dan empati yang tinggi pada orang lain.
Dengan demikian akan membentuk perilaku yang lebih
sabar, bijaksana dan relatif bisa mengendalikan diri serta berjiwa sosial yang
tinggi. Kemampuan bersosialisasi juga bisa dibiasakan dengan merawat tumbuhan
karena pada saat proses merawat: menanam, memupuk, membersihkan dari gulma/hama
lainnya secara invisible bisa menumbuhkan rasa percaya diri.
Selain itu,
mengajak dan membiasakan anak-anak “bercengkerama” dengan aneka tumbuhan juga
akan melatih mereka lebih perduli dengan lingkungan sekitarnya. Jika setiap
keluarga memiliki awareness untuk
membiasakan anak-anaknya akrab dengan tumbuhan maka dalam skala populasi
masyarakat yang lebih luas akan berpengaruh terhadap perbaikan kondisi alam
[yang kian memburuk ini]
Wah,
gara-gara sms berwisata di kebun kelengkeng kok membuat saya mendadak begaya
sok orang tua gini ya? #Maaf
nglantur jadinya neh.
Padahal saya sendiri belum punya banyak tanaman di tempat tinggal yang terkini.
Iya kalau di rumah orang tua memang tanaman [tampak
cuplikan gambar di atas]
sekitar rumah lumayan rimbun, mulai dari pohon pisang [paling dominan], mangga,
sirsak, jeruk, jambu, lamtoro, sono, waru, nangka, jambu monyet, kunir [putih +
kuning], kencur, laos, lombok, pepaya, gingseng jawa, dan bahkan rimbun pohon
bambu serta masih ada beberapa lagi lainnya. Sejak kecil pun saya bersaudara pun
sudah terkondisikan menjalin hubungan mesra mutualisme dengan tetumbuhan,
baik yang ada di sekitar rumah maupun aneka tanaman di sawah.
Dan
ijinkan saya memiliki impian jika kelak memiliki keluarga sendiri, semoga ada
sisa lahan yang bisa dijadikan “sekolah” untuk menumbuhkan
Cinta pada Tumbuhan sejak dini pada agent perubahan masa depan. At least, if finally lahannya terlalu
banyak huruf “S”-nya alias Sempit Sekali Sisa lahanya Sehingga Sangat Susah [gak bersisa lahannya sama sekali] untuk bercocok tanam, maka semoga muncul
kekreatifan diri ini dengan bercocok tanam secara VERTIKULTUR tentu hal yang
sangat menarik banget deh. Tak hanya bisa jadi media edukasi pragmatis bagi
anak-anak, tapi juga bisa jadi sarana olah raga serta wisata hati dan pikiran bagi semua
anggota keluarga. Hehehe....