Tidak ada yang bisa lepas dari rasa sakit/sedih. Sehebat apapun orang tersebut, ketika hal dan peristiwa terjadi di luar dugaan kita dan sifatnya tidak/kurang menyenangkan, maka reaksi kita adalah sedih, kecewa (semoga tidak jadi sakit hati ya?)
Tapi bagaimana menghadapi serta menerima kala rasa (tidak enak) tersebut menghampiri kita? Kita menemukan apa yang kebanyakan orang sadari: Dalam hal rasa sakit secara emosi, kita bisa lari . . . tapi tidak bisa menghindar. How far we run, how deep we hide…we’ll never can reject it.
Kalau mengalami tragedi, kebanyakan orang ( termasuk diriku sendiri ) tidak dengan mudah menerima dan menyambut emosi yang menyakitkan – paling tidak untuk sementara. Sebelum kita bisa “sembuh” kembali, kita harus menghadapi rasa sakit tersebut (suka atau tidak, tidak bisa di tolak neh). Ingin sembuh dengan cepat? Siapkan toleransi yang besar terhadap rasa sakit: jalani proses untuk ikhlas. Karena Ikhlas menerima kenyataan (yang tidak/kurang menyenangkan) adalah proses dan butuh waktu.
Bahkan buah yang jatuh dari pohon pun butuh proses dan waktu (meski secara teori ada hukum gravitasi). Kalau kita belajar untuk menghadapi, merasakan, dan menerima rasa sakit, maka rasa tersebut akan menjadi semakin kecil, sampai akhirnya menghilang, gone with the wind…believe it or not !
Merasakan rasa sakit sama dengan menghadapinya dan artinya kita sedang dalam proses penyembuhan. Semakin kita acuhkan, justru semakin menumpuk. Then suddenly, seperti tsunami yang akan menghempaskan gelombang rasa sakit yang sangat besar. Di saat seperti ini, air mata bisa jadi salah satu hal baik dan perlu!
Kalau sedang menghadapi hal berat, penting sekali untuk tahu ada pilihan duduk dan menghadapi rasa sakit dengan segera. Berusaha menghindari malah akan merasakan sakit yang lebih besar lagi nantinya dan justru menunda tahap penyembuhan.
Dari buku yang berjudul The Buddha and the Terrorist, “Rasa sakit adalah bagian dari kehidupan. Dengan menerima, intensitasnya akan berkurang. Jangan tolak rasa sakit. Penolakan akan rasa sakit malah membuat kita lebih gelisah dan bisa berakibat pada rasa takut. Takut akan rasa sakit lebih buruk dibanding rasa sakit tersebut. This pain will pass.”
Kalau kita menghindari rasa sakit dan sedih, ingatkan diri kalau takut akan rasa sakit lebih buruk dibanding rasa sakit itu sendiri. Saat rasa sakit mulai memasuki pikiran, let it flowing. Jangan lawan airmata untuk menetes, jangan takut disebut cengeng jika kita menangis untuk sesuatu hal yang memang normal kalau menangis. Menangislah karena sebuah peristiwa yang menyesakkan dada sangat jauh berbeda dengan tangisan yang cengeng. Kalau perlu, berikan waktu pada diri untuk bersedih.
Hidup belum berakhir, seperti berbagai tantangan hidup, mengalami dan mengatasi rasa sakit bisa menghadiahkan kedalaman emosi dan perspektif yang tanpa kita sadari sudah tersimpan selama ini dalam diri. Menerima rasa sakit memang menakutkan. Kemungkinan untuk tergoda dengan pengalihan lewat alkohol, pil tidur, atau bahan adiksi lainnya sangat besar. Percayalah pengalihan rasa sakit hanya akan memperparah rasa sakit itu sendiri. Jika kita berada pada situasi yang sulit, mengalami kondisi yang biasa kita sebut “kegagalan” sebenarnya adalah jalan bagi pendewasaan diri kita, tempaan yang akan membuat kita lebih kuat.
Just remember this too shall pass, nothing last forever, even pain. And happiness is around the corner!
Dedicated for me and my lovely big family