Obrolan sepintas lewat, maksudnya ketika saya melintasi showroom sepulang dari kantor sebelah, ada tiga teman kantor yang lagi asyik melihat-lihat katalog produk berbahan plastik yang banyak digemari untuk digunakan sebagai tempat makanan dan minuman. Tahu kan, itu tuh si Tuppy (inisial saja ya?). Saya pun tergoda untuk berhenti dan ikutan melihat-lihat isi katalog tersebut. Bismillahirrahmaanirrahiim, tak ada niat membeli dan Alhamdulillah tidak tergoda untuk ikut order, karena yang sudah ada dirumah saja masih jarang digunakan. Entah bagaimana start up-nya, obrolan kami kemudian nyasar ke MEA atau AEC (Asean Economic Community).
“ Pintu gerbang MEA belum dibuka saja, kita sudah diserbu produk-produk dari luar ya? Gimana kalau MEA sudah going on?”
“ Iya ya Mbak, bisa jadi saat ini di port entry Indonesia sudah ngantri conainer-container yang siap membanjiri pasar Indonesia dengan produk luaran ya?”
Sebagian masyarakat dilanda kuatir, mungkinkah produk lokal mampu bersaing? Kan begitu ‘gate’ MEA resmi dibuka per 1 Januari 2016 ini, sistem perdagangan pun sah mengikuti pola free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi, modal, dan tanpatarif bagi perdagangan antar negara anggota ASEAN. Adanya friksi kekuatiran sangat bisa dimaklumi mengingat jumlah unit UKM yang cukup besar yaitu sekitar 3,5 juta dengan penyerapan tenaga kerja yang mencapai kisaran 10 juta orang. Tapi di sisi lain, beberapa kali saya ikut “survey” lokasi UKM dan rata-rata memiliki permasalahan klasik yang sepertinya masih menjadi fenomena umum UKM, antara lain:
- Pemilik merangkap jadi manager, pekerja, pemasaran, all session akibatnya kemungkinan besar mengalami over load sehingga tidak melihat suatu masalah sebagai hal yang harus di follow up dengan plan and action
- dan masih berkutat pada bagaimana produksi bisa stabil dan terjual (dengan margin yang mepet BEP sudah dianggap usaha lancar)
- Terbatasnya modal sehingga tempat produksi masih belum terpisah (bercampur dengan tempat tinggal) dan diperparah dengan sistem pengelolaan keuangan yang masih bercampur dengan keuangan keluarga
- Mind set: seperti ini saja sudah baik-baik saja sehingga belum ada implementasi untuk inovasi desain dan sentuhan teknologi
- Belum menerapkan standardisasi produk seperti sertifikasi halal dan P-IRT (untuk produk pangan olahan), SNI, ISO, dll.
- Dan permasalahan lainnya yang tak bisa saya tuliskan semuanya di sini.
Itu hanya satu sisi yang mengungkit kekuatiran yang (seharusnya) ditindaklanjuti dengan how to over come. Tapi daripada larut dalam drama melow kuatir dan kuatir ini-itu, toh masih banyak sisi lain, potensi UKM yang bisa menjadi daya ungkit sekaligus “modal” untuk memperbaiki friksi kekuatiran di atas.
Setidaknya, saat saya melihat sebagian besar produk yang mengisi show room dimana kami sedang ngobrol tadi. Iyah, bermacam produk PAKAIAN terpajang rapi dan menarik mulai dari out fit untuk kaki (kaso kaki) sampai kepala (topi dan jilbab). Sepertinya kita sangat bisa optimis jika bisnis pakaian memiliki variable daya saing dan bisa existing dalam laga kompetisi di ajang MEA karena:
- Semua barang-barang yang diproduksi dari industri pakaian merupakan salah satu kebutuhan primer umat manusia.
- Trend fashion semakin semarak dan berwarna yang membangkitkan daya kreatifitas pada semua ragam bisnis fashion.
- Akan semakin banyak orang yang tertarik menekuni bisnis pakaian ini karena marketnya jelas [ada] dan luas. At least ada sekitar 250 juta penduduk Indonesia yang membutuhkan PAKAIAN.
- Bagi yang belum memiliki modal besar tapi punya semangat wirausaha, memulai bisnis pakaian ini terbilang murah/terjangkau. Bahkan hanya bermodalkan jarum jahit, benang dan kain perca sudah bisa memulai bisnis (aksesoris) pakaian. Dan kemudian bisa dikelola dengan sistem yang terorganisir. Kan banya peluang untuk mengembangkan usaha, misalnya melalui akses dana-dana CSR, bantuan dana bergulir, dsb.
Perubahan trend fashion berlangsung sangat cepat merupakan permasalahan yang sangat perlu untuk dipahami oleh para pelaku bisnis pakaian karena ketika suatu jenis/model pakaian terlambat masuk ke pasaran ketika trendnya sudah memudar dikalangan masyarakat bisa menjadi penyebab kerugian yang sangat besar dan sangat mngkin bisa berakibat fatal yakni terjadi kebangkrutan [bagi yang modalnya kecil].
Prospek, peluang dan potensi bisnis pakaian yang cukup menjanjikan, senyatanya bukan tanpa kendala. Dengan mengenali dan mengiventarisir kendala, bukankah itu sebuah langkah awal untuk menuai keberhasilan?
Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menuntut produk dalam negeri mampu berdaya saing yang tinggi dengan produk-produk dari luar. Bagi para pelaku bisnis pakaian lokal untuk mampu bersaing diera global saat ini dan selanjutnya, selain harus concern pada Kualitas dan mampu mengikuti irama perkembangan trend fashion, juga perlu mewaspadai serbuan barang dari luar negeri yang tak bisa dinisbikan ketika pintu global market sudah dibuka saat peresmian MEA nanti.
Tidak ada pilihan lain, selain harus menghadapi pasar regional (AEC) tersebut dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan daya saing untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan desain yang up to date.
Trust konsumen sejatinya berbasis pada kualitas, jadi ketika suatu produk mampu membuktikan kualitasnya, tentu pada akhirnya akan menarik perhatian semua lapisan konsumen [pembeli] dari berbagai level. Apalagi dalam industri garmen dimana daya dukung kultur, kekayaan alam, budaya dan keanekaragaman negeri yang berada pada garis khatulistiwa ini merupakan modal alamiah yang sangat potensial untuk dijadikan grand design dengan pola KREATIFITAS.
Bukankah Industri yang mengacu pada ide-ide KREATIFITAS memiliki kesempatan untuk fight dan survive yang lebih besar?
Berani, Bangga, Bela dan Beli Produk Indonesia (Njepret dari katalog UKM) |
Apalagi jika pelaku bisnis pakaian mampu mengelola usahanya dalam metode ONE STOP BUSINESS, yaitu membuat produk sendiri, merk sendiri dan memiliki toko sendiri. Toh, sekarang era digital sudah menjadi bagian life style hampir semua lapisan masyarakat dari seluruh penjuru dunia? Selain memasarkan secara Off Line, meng-ON LINE kan bisnis sudah merupakan bagian penting dalam pemasaran di era global.
Bagi para konsumen, termasuk saya, sangat perlu brain washing secara berkala dan kontinu untuk Bangga dengan produk dalam negeri.
Kalau dulu para pejuang mengejawantahkan rasa cinta tanah air dengan berjuang memerangi penjajah, maka di era kemerdekaan yang berarus global ini, cinta tanah air bisa diekspresikan (salah satunya) dengan semangat BERANI BANGGA, BELA dan BELI (gunakan) Produk nasional.
So, bisa memenangkan konsumen dalam negeri, sebenarnya sudah bisa dibilang memenangkan pasar MEA karena jumlah konsumen terbesar di kawasan ASEAN adalah Indonesia. Bagaimana menurut Anda?
Waagghh.. Aku juga bangga pake produk indonesia mbak
ReplyDeletesepp, lanjutkan
DeleteBatik yang dipajang di foto paling atas bagus euy...
ReplyDeleteBangga donk dengan produk dalam negeri....
Bagus Mbak, harganya juga bagus , hehehe
DeleteSaya persis seperti yang digambarkan mbak ririe. Usaha saya di rumah, saya pemilik, manajer, pekerja, marketing, Yang paling susah mengelola itu adalah karena inflasi kita, pekerja kita yang tidak mau diajak meningkatkan kualitas.
ReplyDeleteUsaha saya adalah pembuat jas pria, khusus pria, menerima kerjaan operan (sub /cmt ).
Kalau ada yang berminat kerja sama, silahkan hubungi saya.
Iya pak, inflasi tak hanya membuat pelaku usaha susah bernafas tapi juga para pembeli.
DeleteSemoga sukses dengan usahanya ya Pak:)
Saya persis seperti yang digambarkan mbak ririe. Usaha saya di rumah, saya pemilik, manajer, pekerja, marketing, Yang paling susah mengelola itu adalah karena inflasi kita, pekerja kita yang tidak mau diajak meningkatkan kualitas.
ReplyDeleteUsaha saya adalah pembuat jas pria, khusus pria, menerima kerjaan operan (sub /cmt ).
Kalau ada yang berminat kerja sama, silahkan hubungi saya.
Saya persis seperti yang digambarkan mbak ririe. Usaha saya di rumah, saya pemilik, manajer, pekerja, marketing, Yang paling susah mengelola itu adalah karena inflasi kita, pekerja kita yang tidak mau diajak meningkatkan kualitas.
ReplyDeleteUsaha saya adalah pembuat jas pria, khusus pria, menerima kerjaan operan (sub /cmt ).
Kalau ada yang berminat kerja sama, silahkan hubungi saya.
Tantangan bisnis UKM makin berat ya, mba. Kalau tidak online, akan sulit untuk dapat pelanggan lebih banyak. Karena sekarang memang eranya serba online.
ReplyDeleteOnline menjadi salah satu pintu menuju exixting dan survive utk UKM ya Mbak
DeleteDi daerah saya ada bisnis UKM peralatan canggih untuk pertanian dll mbak, sepertinya juga ga akan kalah sama produk2 dari luar. Ikutan bangga juga meskipun tidak berada di kampung saya :)
ReplyDeleteeh, sama lho mbak. Kakakku juga ada yg bikin mesin-mesin tapi untuk packaging http://tjmesindo.blogspot.com/ *promosi*
DeleteWaaaa kenapa dirimu baru nulis kayak gini sekarang2 ini? Banyakin lagi dooong, aku butuh banyak pengetahuan menuju one stop bussiness itu. Aktivitas olshopku aku perlambat dulu krn lg nyoba2 design sendiri. Nggak peduli suka diledekin pakar2 apalah2 itu yg bilang bisa kaya tanpa harus produksi sendiri, cukup reseller aja katanya.
ReplyDeleteMbak, pengetahuan masih cethek. Praltek juga nol puthul.
DeleteKOnsep One stop bussiness, aku ngertinya baru sebatas wacana tapi bgm lika-liku setup-nya, masih harus banyak belajar lagi neh
industri pakaian gak ada matinya ya selalu ada terobosan baru
ReplyDeleteiya mbak, never ending utk industri fashion
Delete