Ada dua pasar tradisional yang ada di dekat tempat tinggal kami yaitu Pasar Sleman yang letaknya tak jauh dari SD Muhammadiyah Sleman dan pasar Denggung yang berada di dekat lapangan Denggung (Tridadi). Kalau hendak diperbandingkan, tentu Pasar Sleman lebih besar karena merupakan pasar skala Kecamatan. Tapi jika ditanya kapan saya terakhir kali pergi ke pasar tradisional? Bismilllahirrahmaanirrahiim, seingat saya di Bulan Desember tahun lalu ketika musim liburan sekolah. Kalau anak-anak lagi pada di rumah, biasanya memang jenis jajanan yang disukai adalah jajanan tradisional, terutama tiwul, klepon, putu ayu dan pukis. Saat itu, bersama Kang Suami saya pergi ke pasar Sleman karena persediaan jajanan lebih banyak dibandingkan pasar Denggung. Eh FYI, saya juga doyan jajanan tradisional, terutama tiwul yang sering bikin kangen. Hanya sayangnya, selama di Sleman ini saya belum pernah ketemu Tiwul yang original. Rata-rata aneka olahan gaplek berasa manis.
Ada yang kaget atau terkesima, kok sebegitunya saya jarang nyambangi pasar tradisional? Bukankah biasanya ibu-ibu itu hampir tiap pagi ke pasar? Terus ada gak neh yang kepikiran kalau saya lebih sering nyambangi pasar modern atau toko moder kan? Jawabannya adalah saya memang tidak setiap pagi/hari ke pasar dan bisa juga terbilang jarang ke pasar tradisional tapi juga termasuk super jarang belanja ke pasar modern kok. Lho kok bisa? Lantas kemana saya belanja? Very simpel, karena jadwal belanja memang tidak setiap hari. Kalau hanya untuk beli bahan lauk-pauk: ikan, ayam, daging, biasanya sih cukup nitip Kang Suami kala ngantarin sekolah Azka. Sedangkan untuk belanja semacam sayur-mayur, tahu, tempe, lombok, dan sejenisnya yang basah-basah ria, biasanya saya lakukan sepulang kerja.
Ada dua tempat langganan saya belanja, satunya sebuah toko yang berjualan lengkap mulai sayur, cabe, tahu, tempe, dan seterusnya. Kalau perlu belanja banyak, hingga ke bumbu dapur, GULA, kopi, susu, deterjen, saya lebih sering belanja ke toko yang bernama Mekar Jaya itu. Harganya sama sama kok, atau setidaknya hanya terpaut seratusan rupiah lah dengan harga di pasar Sleman. Wong, barang dagangan untuk masak sehari-hari memang berasal suplai dari pasar. Kan pasar tradisional berperasinya hanya sampai tengah hari, tentu gak semua dagangan bisa laku kan? Nah, menurut ramalan saya, sebagian penjual sudah memiliki partnership dengan Toko Mekar Jaya. Salah satu buktinya, kalau saya belanja sore hari, variasi sayurannya lebih lengkap dan ada jajanan/kue basah juga.
Yang satunya adalah di tempat jualan yang dimiliki oleh seorang ibu tua yang membuka kios sederhana (tidak permanen) di pinggir jalan. Di toko kedua ini, biasanya saya belanja yang akan langsung di masak seperti tahu, tempe, sayuran, dan beberapa kebutuhan yang mendesak lainya sekiranya si ibu punya persediaan barang yang saya butuhkan.
Jadi, secara de facto sebenarnya saya tetap belanja cukup sering, sekitar 3-4 kali dalma seminggu, di tempat yang sistemnya juga masih tradisional semacam pasar. Pada kedua “pasar mini” tersebutlah, saya dan beberapa working mommy lainnya sering berbelanja , ngiras-ngirus sekalian pulang kerja. *sayangnya, dalam rangka membuat postingan ini saya kebetulan belum belanja blas, jadi belum ada dokumentasinya*
Apakah pasar (termasuk yang saya sebut ‘pasar mini’ ) tradisional ada yang menggunakan blog atau website dan media sosial untuk mempromosikan? Setahu saya sih belum ada, semua cara penjualannya masih sistem direct, akad jual beli dilakukan secara face to face antara pembeli dan pedagang. Oleh karena pasar merupakan tempat bertemunya semua calon pembeli dan sekian banyak pedagang yang berjualan secara bersamaan, juga adanya kesamaan barang dagangan dan diantara riuh rendah suasana transaksi yang terjadi, terlihat jelas kalau pasar tradisional masih punya daya tarik yang magis.
Diluar kondisi (seperti apapun kondisi sebuah psara tradisional), saya melihat Pesona Pasar Tradisional Yang Kaya Tradisi. Ada banyak pelajaran tradisi kebaikan yang saya lihat, menggenapkan empati dengan pembelajaran yang kaya akan hikmat kehidupan.
Ada yang kaget atau terkesima, kok sebegitunya saya jarang nyambangi pasar tradisional? Bukankah biasanya ibu-ibu itu hampir tiap pagi ke pasar? Terus ada gak neh yang kepikiran kalau saya lebih sering nyambangi pasar modern atau toko moder kan? Jawabannya adalah saya memang tidak setiap pagi/hari ke pasar dan bisa juga terbilang jarang ke pasar tradisional tapi juga termasuk super jarang belanja ke pasar modern kok. Lho kok bisa? Lantas kemana saya belanja? Very simpel, karena jadwal belanja memang tidak setiap hari. Kalau hanya untuk beli bahan lauk-pauk: ikan, ayam, daging, biasanya sih cukup nitip Kang Suami kala ngantarin sekolah Azka. Sedangkan untuk belanja semacam sayur-mayur, tahu, tempe, lombok, dan sejenisnya yang basah-basah ria, biasanya saya lakukan sepulang kerja.
Pasar Tradisional di Denggung, Sleman |
Yang satunya adalah di tempat jualan yang dimiliki oleh seorang ibu tua yang membuka kios sederhana (tidak permanen) di pinggir jalan. Di toko kedua ini, biasanya saya belanja yang akan langsung di masak seperti tahu, tempe, sayuran, dan beberapa kebutuhan yang mendesak lainya sekiranya si ibu punya persediaan barang yang saya butuhkan.
Jadi, secara de facto sebenarnya saya tetap belanja cukup sering, sekitar 3-4 kali dalma seminggu, di tempat yang sistemnya juga masih tradisional semacam pasar. Pada kedua “pasar mini” tersebutlah, saya dan beberapa working mommy lainnya sering berbelanja , ngiras-ngirus sekalian pulang kerja. *sayangnya, dalam rangka membuat postingan ini saya kebetulan belum belanja blas, jadi belum ada dokumentasinya*
Apakah pasar (termasuk yang saya sebut ‘pasar mini’ ) tradisional ada yang menggunakan blog atau website dan media sosial untuk mempromosikan? Setahu saya sih belum ada, semua cara penjualannya masih sistem direct, akad jual beli dilakukan secara face to face antara pembeli dan pedagang. Oleh karena pasar merupakan tempat bertemunya semua calon pembeli dan sekian banyak pedagang yang berjualan secara bersamaan, juga adanya kesamaan barang dagangan dan diantara riuh rendah suasana transaksi yang terjadi, terlihat jelas kalau pasar tradisional masih punya daya tarik yang magis.
Keunikan Pasar Tradisional |
- Semangat dan kemauan kerja, tak hanya bagi orang-orang yang masih usia produktif tapi juga yang tergolong manula. Jika hendak di survey, bisa jadi akan diperoleh jumlah yang significant kalau pedagang di pasar tradisonal yang usianya 60 tahun ke atas. Being Old men/ women doesn’t mean impotential
- Interaktif di pasar merupakan pembuktian salah satu pepatah Jawa: Obah Mamah. Sopo sing gelem Obah, bakal iso mamah ~ siapa saja yang mau gerak, tentu bisa mendapatkan penghasilan (nafkah). Bahkan ketika tak punya modal sepeser pun, asal mau gerak pro aktif di pasar, bantu angkut-angkut, akan dapat bayaran kan? Kalau mau jualan, gelar alas atau papan, akan ada yang menitipkan barang untuk dijual dengan sistem bagi hasil. Seperti seorang simbah yang berjualan parutan kelapa di Pasar Denggung. Menurut beliau, kelapa yang dia parut sudah ada yang ngedrop. Bawang putih, tempe, dan telur ayam…semua item barang dagangannya tidak dia bawa dari rumah lho? Itu baru sample seorang simbah, yang untuk sampai ke pasar harus berjalan kaki cukup jauh (berdasarkan ceritanya). Tapi belakangan ini diantar jemput oleh anaknya. Tidak ada istilah usia manula untuk tetap produktif.
- Tempat praktek keramah-tamahan yang efektif. Selain saling kenal di antara para pedagang layaknya hidup bertetangga di kampung, pembeli sebagai “orang belum dikenal” akan bersikap seramah mungkin untuk menawar dan pedagang pun melayani dengan sikap yang tak kalah ramahnya kan? Hayooo...siapa yang mau mencoba tawar-menawar harga di pasar, jangan lupa siapkan senyum termanis anda ya?
- Pasar juga merupakan tempat “kopdar” yang efektif. Ini saya simpulkan dari kegemaran Bapak saya yang sampai saat ini masih sesekali ke pasar walau sekedar untuk beli “batu” untuk korek api kunonya. Dulunya, hampir tiap hari Bapak (sesekali ditemani Simbok) pergi ke pasar untuk menjual: beras, pisang, daun pisang, sapu lidi, ayam, telur, pokoknya berjualan komoditas yang dihasilkan dari rumah dan sekitarnya. Setelah dua puluh tahun tak lagi berjualan di pasar, Bapak masih suka bersepeda pancal ke pasar karena memedomani bahwa dengan mengunjungi satu tempat yang bernama PASAR TRADISIONAL, sekaligus kesempatan untuk bersilaturahim dengan banyak orang-orang yang pernah dikenalnya, saling sapa, bertukar kabar dan ngobrol ringan sebentar. How beautiful life, isn't it?
- Implementasi kesetaraan gender sudah menjadi bagian yang menyatu dengan ritme perdagangan di pasar tradisional. Tak ada dominasi suatu jenis komoditas hanya boleh/harusnya di jual oleh jenis gender tertentu. Lha wong bapak-bapak yang jual under wear untuk perempuan bukan hal asing lagi kan? Atau, mas-mas atau bapak-bapak belanja bumbu masak...siapa takut? Juga, tak ada istilah kalau kaum perempuan tidak kuat mengangkut sekarung barang jualannya. Mau lihat aksi super women...pergilah ke pasar tradisional, There is many women as strong as men
- Dan pelajaran nyata yang tak kalah ajaibnya bahwa salah satu cara mensyukuri hidup adalah dengan bekerja keras. Tak perlu ada istilah gak pede meski sebagai cowok setampan Le Minh Ho tapi berjualan tempe. Iya thoh?
Menjadi manula dan tetap potential (Ibu Pemarut Kelapa yang saya ajak ngobrol di Pasar Denggung) |
Dari pengalaman blusukan ke pasar tradisional, mulai dari pasar di Kedungpring, Surabaya kemudian di Banyuwangi dan sekarang di Yogyakarta, memang sih masih merupakan pemandangan umum kalau kesamaan pasar tradisonal (kebanyakan) masih terlihat kumuh, tidak beraturan, dengan tingkat keperdulian akan sanitasi dan hygiene masih terbilang masih dibawah garis rata-rata (yang seharusnya).
Tapi saya yakin dan optimis bahwa Pasar tradisional ditengah kemajuan jaman di masa-masa mendatang akan lebih eligible dan nyaman sebagai tempat untuk bertransaksai jual-beli. Karena pembenahan dan perbaikan infrastruktur, sarana dan prasarana sebuah pasar tradisonal tentu tidak sederhana, butuh perencanaan dan anggaran yang tidak sedikit pula. Dan setahu saya, tidak mungkin semua pasar tradisional bisa diperbaharui secara serentak.
One by one, step by step…..sudah banyak kan pasar tradisional yang mulai tampak kinclong, rapi, bersih, dan nyaman untuk penjual dan pembeli. Meski pesaing akan tumbuh dan berkembang dengan inovasinya masing-masing, tapi rejeki tak akan tertukar selama kita mau bekerja dan bersungguh-sungguh. Dan pasar tradisional tentu akan tetap memiliki segmen pembeli yang loyal karena keunikan nilai-nilai tradisi kebaikannya.