Bismillahirrahmaanirrahiim, hasil coba-coba bikin fiksi dan postingan berikut ini merupakan lanjutan dari cerita Belum Musim Semi.
Berhari-hari Ghaza di
hantui mimpi mengerikan, yang membuatnya terbangun tengah malam dengan
bersimbah keringat dingin. Bermacam adegan menakutkan menghiasi tidurnya.
Mamannya yang terkena serangan jantung. Mertuanya yang shock berat, sanak
saudara mengejeknya dan yang paling Ghaza takutkan tatapan sedih dan air mata Deandra
yang mengalir perlahan di pipinya tanpa sepatah kata yang di ucapkan. Ghaza
masih bisa tegar dan menenangkan Mamanya, dia masih bisa menahan semua ejekan
serta sindiran keluarga dan semua orang. Tapi sanggupkah dia menghadapi
kenyataan telah menyakiti dan mengecewakan Deandra, wanita yang di nikahinya
dua tahun lalu? Yang telah menjadi istri yang sangat di kasihinya sejak ikrar
Ijab Kabul itu? Perasaan cinta yang bertumbuh dari hari ke hari oleh
kelembutan, kedewasaan, kesabaran dan kesederhanaan Deandra? Siapkah dia jika
harus melepaskan Deandra?
Bayangan-bayangan dalam
mimpinya seperti monster yang siap menghisap seluruh keberaniannya, menjadikan
hatinya kacau dan kehilangan motivasi. Secuil keberanian yang menyeruak namun
sebongkah ketakutan menindih keberanian tersebut dengan secepat kilat.
“ Mas…”
Ghaza hampir terlonjak dari
KURSI di ruang kerjanya.
“ Ada apa, Nda? Kok ikutan
bangun..?” Tanya Ghaza dengan nada di buat sewajar dan tenang mungkin.
Deandra hanya diam di
tempatnya berdiri, dengan sorot mata yang jauh lebih menusuk relung hati Ghaza
daripada yang dilihat dalam mimpi-mimpinya. Kemahirannya berdiplomasi,
merangkai kalimat-kalimat dalam berdebat serta semua perbendaharaan
kata-katanya tercekat dalam suasana hati yang kelu membeku.
Lama keduanya berpandangan, di bawah sinaran cahaya lampu baca yang menyala di meja kerja.
Lama keduanya berpandangan, di bawah sinaran cahaya lampu baca yang menyala di meja kerja.
Dengan langkah mantapnya Deandra
berjalan mendekat, merangkul suaminya dengan mesra, begitu menenangkan dan
penuh kedamaian yang membuat Ghaza mengawang dalam rasa yang tak tertebak.
“ Aku sudah tahu….”
Suara Deandra mengalun
bagai sambaran petir tanpa hujan. Sekejap menghentikan detak jantungnya,
melumpuhkan aliran darah yg mengaliri nadi-nadi kehidupannya.
Perlahan terdengar hembusan
nafas berat Ghaza, mengisi suasana malam yang dilingkari keheningan pekat. Udara
malam yang dibingkai rintik gerimis namun molekul-molekul udara yang semestinya
dingin justru tak membuat Ghaza
merasakan kesejukan. Galau, gundah, sedih dan rasa takut mencengkeram
kuat di relung hatinya. Tapi ia harus siap dengan kenyataan terpahitnya, ‘Tetap ada
kemungkinan Anda bisa memiliki keturunan karena Semua kuasa ada di tangan
Ilahi….’
Masih terngiang sangat jelas prolog dari Dokter Zainal ketika menyerahkan hasil
pemeriksaan medis tentang fertilitas mereka.
“ Aku rela jika Nda
pergi…karena aku ingin kamu bahagia” setiap kata yang meluncur dari mulutnya
adalah sayatan sembilu yang harus ditahan agar tidak menumpahkan butiran bening
dari kelopak matanya. Cukup hatinya yang menangis pilu tanpa suara.
Lirih…ada isakan tangis, “
Aku mohon, jangan menangis. Aku tidak akan mempersulitmu meraih kebahagiaan”
Tak ada jawaban.
“Aku mencintaimu, sangat. Kamu
tidak akan tahu seberapa besar aku mencintaimu sehingga kebahagiaanmu adalah
yang terpenting buatku…”
“ Mas Ghaza memutuskan
tanpa bertanya bagaimana sikapku?”
“ Cukup lama aku menyangkal
kenyataan ini, tapi sekarang aku belajar untuk menghadapinya. Kamu berhak
mendapatkan yang lebih baik, tak perlu harus menanggung beban ini seumur hidup
dalam ikatan bersamaku. Maafkan aku jika tdk
bisa menjadi nahkoda yang bisa membawa pernikahan ini mengarungi lautan seperti
yg kau impikan.
Tetap bersamaku tak akan membuatmu menjadi wanita yang sempurna. Jadi biar ku
tanggung semua ini sendiri karena aku teramat mencintaimu, Nda..”
Deandra mengangkat
wajahnya, menatap wajah laki-laki yang menikahinya lima tahun lalu dengan
tatapan tak berkedip. “tujuanku menikah denganmu untuk memiliki seseorang yang melengkapiku, menyempurnakan
kebersamaan”
ucap Deandra dengan penuh keyakinan yang membawa Ghaza pada dimensi rasa yang
membiaskan bianglala kebahagiaan.
“ Bukan berarti pernikahan menjadi pincang jika belum ada kehadiran buah hati kan…? Jika pada akhirnya kita tidak dikarunia keturunan, bukankah itu artinya Allah memberi kita kesempatan menjadi orang tua dengan jalan yang lain ?”
Deandra menghambur jatuh, memeluk lebih erat suaminya. Sebuah pelukan seorang istri yang menggenapkan rasa haru di dada Ghaza bercengkerama dengan kebahagiaan.
“ Aku mungkin bukan siapa-siapa bagi dunia ini, tapi aku akan berusaha menjadi dunia bagimu Nda..”
Ya Allah, kumohon biarkan ini menjadi rahasiaku bersama dokter kami selamanya, doa khusyu Ghaza dalam hati sambil membalas pelukan istrinya.
*Noted: Judulnya apalah-apalah (bingung kesana kemari mencari