Prolog: Tulisan ini merupakan Re-Type dari sedikit klipping [koran] yang saya miliki dari masa lampau. Saya sebut lampau karena ‘usia’nya hampir 14 tahun dan so surprise saya menemukannya kini. Sebab, yang saya ingat ‘hanya’ pernah mengguntingnya tapi lupa apakah masih saya simpan ataukah ikut musnah bersama beberapa koleksi surat/postcard/klipping yang tahun kemarin dengan berat hati saya abu-kan [karena dimakan rayap]. Secara random, kadang saya suka menyimpan hasil guntingan koran semata-mata karena tertarik dengan tema artikelnya [tidak aware dengan penulisnya] yang menurut saya bersifat ever lasting dan potongan koran yang ingin saya Re-Type isinya ini, entah doeloe dapat korannya darimana dan yang jelas saat itu tentu bukan dari membeli koran karena hal itu merupakan kebutuhan tersier yang tak mungkin saya lakukan!. Bismillahirrahmaanirrahiim artikel yang diberi judul “Siapa Typical Indonesian Itu?” jika boleh saya analogkan dengan peribahasa: ojo nggebyah uyah atau yang lebih sering kita dengar: jangan menggeneralisir masalah/stigma/justifikasi etc. Dan inilah tulisan [artikel] yang dirilis terkait dengan [dan tidak berselang lama dari] peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Saat kerusuhan massa pada Mei lalu, yang kontroversinya mengenai kekasaran massa terhadap penduduk Indonesia keturunan Cina., saya tengah melanjutkan kuliah di AS. Berbeda dengan para mahasiswa yang turun ke jalan, demo dan unjuk rasa – saya merasa jadi pengecut karena diam saja dan tidak melakukan apa-apa – saya justru pergi kuliah.
Suatu saat, ketika istirahat duduk ngopi di kafetaria, tiba-tiba ada mahasiswa yang saya tahu namanya Johnny. Dia asal Hongkong dan duduk di meja saya, ikut nimbrung. Dia bertanya, “Kamu orang Indonesia, apakah kamu keturunan Cina?” Saya Jawab tidak. Saya anak pribumi. Dia bertanya lagi, “Kamu benci orang Cina?.”
Sedikit tertegun, saya jawab dengan hesitasi, “ Tentu tidak...”
Indonesian dance |
Beberapa wkatu kemudian situasi menarik kembali memancing pikiran saya. Situasinya mirip pengalaman sebelumnya. Ngopi di kafetaria. Bedanya, kali ini saya berlima dengan pelajar Indonesia lain. Seperti murid-murid di Indonesia, kami berlima melestarikan budaya nongkrong dan ngobrol di sekolah. Lalu, tiba-tiba seorang teman - dia asal Jepang – bergabung. Kanako, nama murid asal Jepang itu, datang dan menyapa saya. Saya lalu mengenalkan semua “anak” yang sedang ngopi di kafetaria itu. Mulai dari roomates [teman setempat tinggal saya] Y, R, dan H, lalu teman dekat saya, J. Setelah perkenalan itu, Kanako mengajukan dua pertanyaan. Pertanyaan pertama retorikal, “ Semuanya orang Indnesia?” yang tanpa perlu dijawab dia sudah mengerti. Pertanyaan kedua secara kontras adalah salah satu pertanyaan paling hebat yang pernah saya dengar, “Kamu semua kelihatan beda-beda. Yang mana di antara kalian yang typical Indonesian [tampang umumnya orang Indonesia]?”
Apa itu typical Indonesian?
Saya bisa mengerti, kenapa Kanako bertanya demikian. Di Jepang, hanya ada satu macam orang [suku?], orang Jepang, yang namanya variasi sedikit. Berbeda dengan Jepang, orang Indonesia bermacam-macam. Bayangkan, di anatara kami berlima saja tidak ada satu pun yang persis. Saya campuran Jawa dengan Kalimantan [Banjar] asal Surabaya. Y keturunan Cina asal Yogya, H keturunan Cina tapi dari Surabaya, R campuran Jawa dengan Manado asal Jakarta. Sementara itu, J asal Jakarta namun campuran Sunda dengan bule Amerika [saya menolak menggunakan kata Indo karena saya tidak setuju dengan penggunaan kata itu]. Dari tampang saja, kami berlima terlihat sekali perbedaannya. Tetapi, setelah saya perhatiakn lebih dekat lagi, cara berbicara kita juga sangat berbeda-beda.
Indonesian music |
Saya misalnya, terus terang, tidak bisa berbahasa Jawa ataupun Banjar. Logat saya pun lebih miring ke logat Jakartaan. Y itu berbicara Jawa halus dengan orang tuanya di Yogya sehingga dia berlogat halus, meskipun dia keturunan Cina. H logatnya sangat Suroboyoan. R itu berbicara dengan logat Jakarta yang kental. Sedangkan J, meskipun tampang bule, mungkin lebih fasih berbahasa Sunda daripada Inggris [dia besar di Indonesia]. Ini belum dihitung perbedaan agama diantara kita...
Lalu, yang mana di antara kami berlima itu yang lebih pantas dibilang typical Indonesian? Kami berlima saling memandang satu sama lain. Dan tampaknya, saya lebih dekat ke jawaban pertanyaan tersebut, meskipun saya sendiri tidak begitu setuju. Menurut stereotype saya, typical Indonesian itu mestinya adalah orang keturunan Jawa asli yang kulitnya sedikit lebih gelap. Bagaimana tidak, pemerintahan kita didominasi orang Jawa, suku terbesar itu suku Jawa [ini asumsi, yang mungkin saja saya salah]. Lalu, populasi Indonesia sebagian besar di Jawa dan bahasa tradisional yang paling banyak digunakan itu mungkin bahasa Jawa. Jangan lupakan pula agama Islam sebagai agama mayoritas.
Meskipun lahir dari keluarga beragama Islam dan dibesarkan di Jawa, saya ini berkulit lebih terang [terima kasih kepada ibu saya yang asal Kalimantan]. Karena itu, sering saya dipanggil sinyo di Indonesia. Saya juga tidak bisa berbahasa Jawa [waktu di SD, di kelas saya pernah di tanya apa itu isi lombok, saya jawab “pedes”]
****
Lantas, kenapa kedua cerita tadi membuat saya berpikir dalam? Memikirkan lagi latar belakang pemikiran saya mengenai kerusuhan Indonesia yang berbau rasial terhadap keturunan Cina. Dari media massa yang saya ikuti di AS, hampir semuanya menuding orang pribumi Indonesia sebagai pembenci keturunan Cina. Hal ini menyebbakan saya sangat sedih. Jika orang bertanya, saya paling hanya menyangkal. Saya katakan, kerusuhan terhadap WNI keturunan Cina hasil dari kebencian sosial, bukan rasial, mengingat sebagian besar kekayaan Indonesia itu dipegang oleh orang keturunan Cina. Saya sadar, jawaban saya itu tidak sepenuhnya benar. Saya ingin pernyataan itu benar, tetapi kenyataannya mungkin berbeda. Kenapa bangsa kita [yang pribuminya] dicoreng sebagai bangsa rasialis? Jika benar bangsa kita ini rasialis, kasarnya bangsa kita ini sama dengan cerita-cerita kuno mengenai kebencian orang putih terhadap orang hitam di Amerika: mayoritas membenci minoritas, apakah memang benar bangsa kita ini rasialis?
Two Indonesian: beda kostum, hehehe.... |
Saya bangga sebagai orang Indonesia, bangga karena bangsa yang beragam-ragam penduduknya itu bisa menjadi satu bangsa : Bangsa Indonesia. Tetapi, kenyataan seperti itu telah mengerosikan sebagian dari kebanggaan saya. Saya tidak ingin menjadi bagian dari bangsa yang rasialis. Inginkah Anda? Saya lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti dari Johny yang asal Hongkong tadi. Saya lelah menjadi orang pribumi di luar negeri yang dicap pembenci Cina. Memang, saya tidak suka beberapa orang keturunan Cina. Tetapi, yang tidak saya sukai itu karakternya, bukan rasnya. Saya juga tidak menyukai beberapa pribumi di Indonesia, seperti para polisi yang menerima suap. Tetapi, itu juga karena kelakuannnya. Memang ada beberapa orang keturunan Cina yang kelakuannya less desirable [kurang disukai] oleh para pribumi, tetapi pisahkan mereka dari masyarakat Cina secara umum. Jangan disamaratakan!
Mungkin media massa di AS itu bohong – seperti klaim teman saya yang tinggal di Indonesia. Tetapi, mungkin juga mereka benar bahwa orang pribumi [pribumi yang mana? Nah, Lho?] itu menyerang keturunan Cina dengan alasan yang berbau rasialis. Sebelum kerusuhan Mei lalu, Johny juga pernah berbicara dengan saya dan teman saya yang lain, yakni F yang keturunan Cina asal Surabaya.
Johny kepada F bertanya, “ Kamu orang Indonesia keturunan Cina, bisa berbahasa Cina?”.
F menjawab dengan bahasa Inggris yang berlogat Suroboyoan amat kental, “ Ya, saya keturunan Cina. Tetapi, saya tak bisa berbahasa Cina.”
“Kenapa?” tanya Johny.
“Karena saya orang Indonesia, jadi ya berbahasa Indonesia.”
Saya kagum sekali kepada F. Seandainya dia bukan keturunan Cina, seharusnya dia bilang sebagai orang Indonesia yang lebih asli, sebagai pribumi. Dia mengaku orang Indonesia, sementara banyak diantara kita yang pribumi memanggil diri kita orang Jawa, orang Medan, orang Madura, atau orang suku lain. Dia juga lebih Indonesia daripada saya, yang masih kurang setuju saat ditunjuk sebagai typical Indonesian.
Karena kerusuhan-kerusuhan berbau rasialis akhir-akhir ini, saya sering memikirkan F. Apa yang dia pikirkan sekarang? Saya sendiri malu bertanya padanya... Tolong, jangan sampai kita dicap rasialis. Jangan hancurkan hati orang-orang seperti F.
Notes : Surat terbuka dari Amerika yang ditulis oleh Azrul Ananda [nama yang sudah tidak asing di dunia jurnalistik saat ini] ketika masih jadi mahasiwa di AS, diterbitkan di Jawa Pos, 26 September 1998.