“ Kok masih santai? Sudah jam berapa ini?” teguran Ibu serta merta
membuatku berhenti melemparkan makanan ke kolam Lele.
“ Belum jam 6 kan Bu?”
“ Iya belum jam 6 sore…” jawab Ibu sambil masuk rumah dan aku pun bergegas
mengikuti langkah ibu. Kulihat Jam dinding sudah menunjukkan jam 6 lewat 10
menit.
Akibat terlalu asyik bercengkerama dengan piaraan ikan lele jadi lupa waktu
untuk berangkat sekolah padahal sudah berbaju seragam rapi. Aku langsung
bergegas mengambil tas sekolah dan buru-buru pamitan dengan mencium tangan Ibu.
Kebetulan Bapak masih di Surabaya jadi ‘mandor’ di rumah Mbak Rani yang sedang
merenovasi rumahnya. Sapaan tetangga yang kutemui sepanjang jalan menuju
pangkalan angkuan desa hanya ku jawab dengan satu kata “ ya..” dan seulas
senyum. Sambil berjalan setengah berlari, hatiku dipenuhi harap-harap cemas
takut ketinggalan kloter colt yag di penuhi anak-anak sekolah. Jika sudah lewat
setengah tujuh, artinya angkutan dominan berpenumpang umum sehingga akan nunggu
muatan penuh baru mau berangkat.
Beberapa meter sebelum jalan pertigaan, kulihat colt hitam sudah siap
melaju. Maka dengan segera aku melambai-lambaikan tangan memberi isyarat minta
untuk ditunggu.
“ Ku kira sudah berangkat tadi…” komentar Pak Darma, sang sopir colt
angkutan desa begitu aku mendudukkan pantatku di bangku yang masih kosong.
Penumpangnya sudah hampir penuh, jadi tidak perlu cari tambahan orang lagi.
****
Jarak sekolah dari rumah sekitar 10 KM, jadi aku menempuhnya dengan naik
angkutan karena Ibu belum mengijinkanku bawa motor. “ lebih aman naik colt
saja, kalau bawa motor nanti kamu ngebut-ngebutan” demikian alasan masuk akal
dari ibu. Aku kenal dan mulai akrab dengan Pak Darma sejak masuk SMU karena
sering naik colt angkutan yang dikemudikannya.
Sebenarnya sopir dan kenek yang lainnya juga lumayan kenal, tapi karena
seringnya naik colt hitam Pak Darma jadi aku merasa lebih akrab dengan sopir
yang sudah berusia separuh abad itu. Saat masih di kelas 1 SMU, masuk
sekolahnya siang jadi sewaktu pulang seringkali sudah tak banyak angkutan yang
beroperasi karena sudah tak banyak penumpang. Makanya para sopir angkutan lebih
memilih masuk garasi sebelum jam lima sore. Dan Pak Darmalah yang masih setia
beroperasi untuk menunggu kepulangan anak-anak sekolah yang masuk siang.
Padahal jumlah kami gak sampai penuh coltnya dan tariff anak sekolah hanya
separuh dari ongkos resmi. Jadi kalau di hitung, uang yang kami bayarkan
mungkin hanya impas untuk beli BBM saja.
*****
Seringkali jelang jam sekolah bubar, Pak Darma sudah stand by di dekat
sekolahku yang artinya sangat membantu karena tak perlu berjalan hampir 500
meter menuju lokasi terminal.
“ Kok kamu sudah pulang duluan, Man?”
“ Jam terakhir kosong Pak..” jawabku saat sampai di terminal dan ternyata
colt pak darma yang siap berangkat. “ Masih sering nunggu anak sekolah yang
masuk sore ya Pak?”
“ Hehehe..iya, kasihan kalau gak di tungguin, mereka bisa kemaleman sampai
rumah”
“ Iya sih Pak, kalau gak ada angkutan lagi pasti jalan kaki dari halte bis
yang di pertigaan itu. Pernah tuh aku ngalami jalan kaki lumayan masih sekitar
2 KM lebih untuk sampai rumah…”
“Orang tuanya tentu cemas dan kuatir kalau sampai malam anaknya belum
pulang sekolah, terutama lagi jika anaknya perempuan, Man” sambil berkata
demikian, kulihat pandangan Pak darma menerawang. Wajahnya nampak berkabut
sekilas. Aku yakin Pak Darma teringat akan anak gadisnya, yang menurut
ceritanya seumuran denganku seandainya diberikan umur panjang.
“Pak, coltnya dah hampir penuh…di berangkatkan saja. Sambil jalan sapa tahu dapat
penumpang lagi” celetuk seorang penumpang yang sudah tak sabar lagi menunggu.
Dengan senyumnya yang khas pak sopir menjawab “ Sebentar lagi ya Bu, kenek saya
masih cari penumpang. Nanti kalau sudah datang, saya janji langsng berangkat
kok.”
Begitu Udin sang kenek muncul, maka Pak Darma pun segera membawa colt
hitamnya melaju. Ia begitu pengertian pada penumpang dan tak jarang dia membawa
coltnya meski hanya berisi beberapa penumpang saja.
“ Yang penting beli BBM dan bisa setor sesuai perjanjian dengan juragan
colt. Sisanya untuk Udin…kalau aku cukup bisa untuk beli makan dan minum
sajalah” demikian prinsip Pak Darma menjalankan colt angkutan. Dia tidak begitu
mengejar dapat jatah banyak dari hasil mengemudikan colt angkutan. Seakan sisa
hidupnya sudah cukup jika bisa berbuat untuk orang lain. Dan aku sangat paham
dan mengerti kenapa Pak Darma bisa sedemikain bersikap seperti itu.
*****
Pada suatu kesempatan saat aku masih kelas 1 dan ketika kelasku keluar
lebih dulu, kala itu sambil menunggu kelas yang lain keluar, aku duduk santai
dengan Pak Darma di dalam coltnya. Saat itu, tanpa sengaja perbincangan kami
kemudian mengalir pada kisah kehidupan pribadi Pak Darma. Aku mengenal Pak Darma sebagai warga pendatang di desaku, hidup
sendirian di sebuah rumah sederhana milik seoarang warga yang sudah tak ada
yang menempati karena semua anak sang pemilik rumah berada di luar kota. Saat
sang pemilik rumah di panggil yang Maha Kuasa, rumah tersebut dipersilahkan
bagi siapa saja yang mau menempatinya yang penting amanah untuk menjaga dan
merawatnya.
“ Kulihat Pak Darma gak pernah pulang kemana gitu…”
“ Mau pulang kemana lagi, Man? dimanapun aku berada, ya di situlah rumahku”
Pak Darma selalu saja memanggilku hanya “Man”, padahal namaku cukup keren Abdul
Firmansyah
“ Keluarga Pak Darma gimana? Tentu mereka merindukan Bapak lho?”
Mendapat pertanyaan sederhanaku, serentak Pak Darma terdiam. Kerutan di
wajahnya tampak semakin jelas dan tatapan matanya tampak meredup. Dinyalakan sebatang rokok tembakau racikan tangannya
sendiri. Asap yang yang keluar dari mulutnya dia permainkan hingga membentuk
seperti lingkaran-lingkaran, sesaat kemudian hilang bersama aliran udara.
“ Semoga mereka merindukanku, hingga saat kelak maut menjemputku mereka mau
menemuiku…”
Aku tersentak kaget sekaligus merasa bersalah karena telah membuat Pak
Darma bersedih mengenang akan keluarganya, istri dan anak yang tak mungkin lagi
di jumpai dan di peluknya dengan segenap kasih sayang.
“ Hidup dan mati rahasia Ilahi, aku tak pernah menyangka akan kehilangan
istri dan anakku sedemikain cepatnya. Kadang aku tak percaya jika mereka sudah
pergi selamanya. Dan semua itu karena salahku…”
Aku yakin rasa bersalah, kehilangan dan penyesalan sedemikian pekat
menguasai perasaan Pak Darma. Istrinya meninggal saat proses melahirkan dimana
kala itu Pak Darma sedang jagong manten dan main kartu dengan asyiknya.
Dan dia tak segera bergegas pulang saat tetangga yang memberitahukan datang menemuinya. Di saat penting dan genting, dia justru lebih
menunda untuk pulang karena merasa kurang satu putaran lagi bakal menang. Dia
memang menang dalam permainan kartu tersebut tapi harus di bayar dengan harga
yang sangat mahal yaitu kehilangan istri dan bayi perempuanya karena bidan yang
di panggilnya datang terlambat.
“ Akibat egoku, aku harus menanggung perasaan ini seumur hidup. Aku sangat
mencintai mereka, andai saja waktu bisa aku putar kembali….” Demikian cerita
pilu yang menjadi alasan Pak Darma meninggalkan kampung halamannya. Berpindah
dari satu tempat ke tempat lain, berharap menemukan kedamaian dan
kebahagiaannya kembali. Hingga langkah kakinya sampai di desaku dan menerima
pekerjaan sebagai sopir colt angkutan umum.
Sejak aku tahu kisah kehidupan Pak Darma, aku berusaha bisa menjadi teman
bicara yang baik sebatas mampuku, berharap bisa sedikit mengobati kerinduan Pak
Darma pada anaknya. Pada dasarnya Pak Darma orangnya supel, jadi dengan siapa
saja dia bisa bergaul akrab. Baginya hidup akan lebih berwarna jika bisa
berbuat banyak untuk orang lain “ aku hanya hidup sendiri, dengan berbuat baik
pada siapa saja akan bisa membuatku merasa tak sendirian, Man”.
Bagiku Pak Darma
seperti guru kehidupan tanpa gelar dan kurikulum. Bagaimana seharusnya aku bisa
lebih meyayangi kedua orang tuaku, memanfaatkan waktu agar tidak menyesal
kemudian, dan banyak hal lainnya yang aku tangkap dalam setiap percakapan-percakapan dengannya saat pulang sekolah atau kesempatan lain jika
kami sedang bersama menunggu colt penuh penumpang. Namun semua nasehat yang selalu dia sampaikan
dalam nada bercanda itu tak akan pernah lagi terulang. Semua nasehat itu akan
terukir dengan indah di langit hatiku.
“ Ada kecelakaan sepertinya..” Ucap sang sopir angkutan yang ku naiki siang
itu. Kulihat beberapa meter di depan, banyak orang berkerumun sehingga jalanan
menjadi macet. Dengan rasa ingin tahu, aku turun mengikuti langkah sopir
angkutan untuk melihat dari dekat korban kecelakaan. Pikiranku langsung di
sergap rasa panic dan kuatir manakala kulihat colt hitam yang sangat aku
kukenali sudah ringsek. Semakin dekat langkah kakiku, semakin banyak genangan
darah memerah di permukaan aspal. “ Innalillahi wa inna ilahi roji’un..”
desisku tertahan. “ Pak Darma…” hanya itu yang keluar dari mulutku. Kulihat
banyak bintang-bintang beterbangan di pelupuk matakau untuk kemudian dunia
menjadi gelap total di sekitarku.
“ Alhamdulillah kau sudah sadar, ini di minum teh hangatnya biar lebih
enakan di badanmu..”
“ Pak Darma, Bu…dia…”
“ Iya, Pak darma meninggal, dia berusaha mengerem ketika ada perempuan
hamil hendak menyeberang namun ada truck
yang melaju dengan kecepatn tinggi dan menabraknya dari arah belakang” tutur
ibuku dengan nada sedih dan mata berkaca-kaca. “ Kalau kau sudah merasa lebih
baik, mungkin bisa ikut mengantar Pak darma untuk kali terakhir…” pungkas Ibuku
sambil menyeka sudut matanya.
Seperti halnya aku yang merasa kehilangan, ibuku juga merasa kehilangan
oleh kepergian Pak Darma dan aku yakin semua orang yang mengenal beliau akan
merasakan hal yang sama karena Pak Darma memang orangnya terkenal ramah dan
ringan tangan untuk membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan. Dalam
perjalanan menuju ke mesjid untuk ikut menyolatkan Pak Darma, terngiang kembali
kalimat yang pernah di ucapkan Pak Darma kali terakhir aku bertemu dengannya “ hidup itu singkat, cintai selalu keluarga dan orang terdekatmu karena kita
tak pernah tahu saat kehilangan mereka. Jangan pernah menundanya”
mrebes mili ni mb terharu
ReplyDeleteIni jg di buku mozaik, kan ya? Msh terharu
ReplyDeletePenggalan kaliamt terakhirnya "hidup itu singkat, cintai selalu keluarga dan orang terdekatmu karena kita tak pernah tahu saat kehilangan mereka. Jangan pernah menundanya” - seperti memberikan banyak inspirasi buat ktia semua. Jika ada waktu untuk bersama dengan orang tercinta, sempatkanlah untuk bersama mereka
ReplyDeleteSedih mbak..
ReplyDelete