Berdiri di depan cermin, menatap lekat sesosok wajah yang terpantul di dalamnya. Entah sudah berapa ribu (atau mungkin jutaan) kali aku menatap wajah yang sama tersebut dengan cara yang sama?
Mungkin juga lebih dari 18 ribu detik setiap harinya aku menatap wajah tersebut dengan satu pertanyaan yang masih sama dalam sepuluh tahun terakhir ini: seperti apakah sosok pendamping yang telah di janjikan dari surga sejak ruhku di tiupkan dalam rahim Ibu hingga sampai sekarang masih jadi misteri yang belum mencercah bayang penampakannya?
Atau aku yang kurang peka menangkap ‘tanda’ yang mungkin sudah sering di tujukan padaku oleh seseorang?. “Kamu sih pilih-pilih, Non” ini merupakan justifikasi yang paling sering aku terima tak hanya oleh teman-temanku bahkan oleh orang yang belum lama aku kenal.
Oh Dearest GOD, apa aku salah memilih sikap ‘mundur’ manakala laki-laki yang mengajak ke hubungan serius tapi tak kutemukan figure Imam keluarga yang bisa menjadikanku makmum yang baik? Bukankah Istikharah mempunyai makna tersirat yang sangat jelas bahwa aku dan orang-orang lainnya di berikan ruang gerak untuk membuat membuat keputusan agar pilihan kita jatuh pada orang yang tepat (bukan semata demi target status sebagai istri), sehingga sepanjang usia berhias harmoni kebersamaan sebagai pasangan akhir zaman yang merindu ridho Lillahi Ta’ala.
“ Hatimu nggak tawar kan kalau sama cowok?” aku tahu ini pertanyaan bercanda tapi kok ya rasanya gimana gitu saat aku mendengarnya. Apa karena aku tak terlihat ‘jalan bareng’ atau istilah yang sering di kumandangkan hubungan pacaran sehingga sampai ada yang terlintas pertanyaan bercanda seperti itu.
“Mungkin aku tak pernah declare pacaran dengan makhluk yang di sebut cowok tapi bukan berarti aku tak pernah suka dan tertarik dengan lawan jenis deh “ pintasku cepat dengan nada datar.
Pertanyaan yang sederhana tapi aku butuh pilihan kalimat yang bisa merepresentasikan bagaimana aku menjalani proses hubungan menuju serius dan dengan sosok laki-laki yang seperti apa aku bisa memproses dalam hubungan serius tersebut. Seperti orang lainnya, aku juga perlu tahu dan mengenal dahulu orangnya.
Aku lebih suka menyebutnya proses pendekatan yang dewasa dan sehat yang oleh guru Agama waktu aku SMA memperkenalkannya dengan istilah ta’aruf. Dengan saling berkomunikasi yag intens membahas tentang banyak hal, bertukar pendapat, menanggapi sebuah permasalahan dan cerita tentang keseharian serta berbagi impian hidup pernikahan yang kami harapkan….dari situ aku bisa mengukur batas kemampuan diriku untuk bersinergis hidup dalam pernikahan jika dia pun punya tujuan hidup bersamaku.
Mencintai seseorang berarti sudah mengukur batas kemampuan diri sendiri untuk bisa menerima/memahami apa dan bagaimana dia sebagaimana adanya, sehingga segala perbedaan yang ada menjadi kekayaan bersama untuk saling menambah, mendukung dan saling menutupi kekurangan. Mendapatkan orang yang kita Inginkan (baca: cintai) tentunya akan membuat hidup lebih hidup.
Akan tetapi mendapatkan teman hidup yang di sukaiNYA merupakan kebahagiaan hidup dunia akherat karena bahagia sejatinya adalah sebuah mata rantai proses yang berkesinambungan sehingga tidak berarti selalu berisi cerita yang penuh warna tawa suka dan serba ketercukupan .
Yang aku tahu, segala sesuatu memang membutuhkan proses, fight dan waktu. Segala sesuatu ada masanya sendiri-sendiri, entah akan terjadi dengan cepat atau lambat karena sesungguhnya tak akan ada yang bisa menyegerakan apa-apa yang ditentukanNYA untuk datang kemudian, demikian juga tak ada yang bisa menghentikan segala sesuatu yang dikehendakiNYA untuk datang dan terjadi lebih cepat. Hak kita, wilayah kita, jangkauan kita: planning, fighting, praying then acceptance with brave heart.
“ Apakah tipe laki-laki yang kamu dambakan itu ada dalam kehidupan nyata sekarang ini?” ini pertanyaan yang pernah aku terima dari seorang teman kerja yang usianya terpaut jauh di atasku. “InsyaAllah, aku yakin ada kok Mbak…”. Aku menjawabnya dengan tanpa ragu Aku paham maksudnya, dia mungkin berpikir kalau sosok yang aku cari-cari adalah fiktif, hanya ada dalam dongeng 1001 malam atau ala pemain sinetron yang tampan dengan penampilan yang selalu kinclong.
Sejujurnya aku belum pernah punya khayalan, impian dan criteria mendapatkan pendamping dengan mendasarkan pada penampilan fisik. Kesan pertama memang penting namun tidak pernah akan jadi factor penentu untuk berlanjutnya sebuah pertemuan dan kenalan menjadi hubungan yang menuju serius atau hanya sebatas berteman.
Menilai seseorang dari rupawannya adalah sebuah kesombongan tersendiri karena bagaimana kita adanya adalah hasil Sang Maha Karya yang Maha Luar Biasa.
Kembali pada sepotong pertanyaan “Apakah tipe laki-laki yang kamu dambakan itu ada dalam kehidupan nyata…?” Saat aku menjawabnya, sebenarnya jawabanku tidak hanya sebuah keyakinan namun sebuah kenyataan yang pernah hampir terbukukan dalam buku nikah.
Aku mengenalnya dari sebuah forum dan ternyata kami satu almamater kuliah tapi beda jurusan. Dari kesamaan tersebut akhirnya kami sering diskusi secara On line, hingga pada suatu waktu pembicaraan kami mengarah tentang pencarian tulang rusuk yang hilang.
“ Aku tak ingin mencari pacar Rie, ketika aku siap menikah maka akan mencari hubungan serius untuk menikah. Wong sudah berusaha mengurangi dosa toh kenyataannya catatan dosaku masih bertambah kok. Nah apalagi kalau aku pacaran, hayooo…”. Serangkaian kalimat yang mengalirkan kesejukan dalam relung hatiku karena seperti itu juga keinginanku dan itulah awal chemistry reaction dalam hubungan kami.
“ So, let me know who’s the one that make you have special feeling…sudah ada atau still looking for…?” tanyaku hati-hati dan harap-harap cemas karena aku tak cukup punya keberanian untuk memberitahunya kalau belakangan ini aku merasa ‘klik’ dengannya.
Aku masih menjadi tipe orang konvensional untuk urusan ini meski teman-temanku bilang sudah gak jaman untuk just wait and see terus. Lebih cepat tahu realitasnya lebih baik karena bisa segera move on, mulai menempuh titian proses pencarian yang baru lagi. Demikian provokasi teman-temanku yang sudah mulai gemas dengan sikapku terhadap dia.
“ Aku merasa sudah menemukannya, tapi aku belum tahu apakah gadis itu merasa menemukanku sebagai pemilik tulang rusuk yang hilang…..”
Begitulah dia, sederhana dalam tutur kalimat namun bisa sangat mengesankan kala masuk ke telinga dan meresap di kalbu “Jawaban filosofis apa diplomatis itu namanya, Mas?”
“ Aku sadar bukan perfect men, jadi aku pun mendamba pasangan yang mencintaiku dengan cara yang tidak sempurna saja…”
Begitulah dia, sederhana dalam tutur kalimat namun bisa sangat mengesankan kala masuk ke telinga dan meresap di kalbu “Jawaban filosofis apa diplomatis itu namanya, Mas?”
“ Aku sadar bukan perfect men, jadi aku pun mendamba pasangan yang mencintaiku dengan cara yang tidak sempurna saja…”
Aku termangu mendengar untaian jawabannya, memang sudah sewajarnya setiap orang menyadari diri sebagai insan yang tidak sempurna. Bahwasanya kelebihan diri kita adalah memiliki banyak kelemahan dan kelemahan kita adalah tidak bisa menghitung berapa banyak kekurangan yang kita punyai. Karena itu salah satu fitrah penciptaan manusia agar hidup berpasang-pasangan dalam hubungan yang halal saling melengkapi dan memperbaiki untuk beribadah.
Dan aku juga tidak pernah mendambakan atau mencari pasangan yang sempurna karena menurutku orang sempurna dalam semua aspek hidupnya tidak akan membutuhkan kehadiran seseorang untuk melengkapi hidupnya lagi. Yang aku harapkan adalah diberikan sesosok pendamping yang bersamanya kami bisa bersinergis dalam kebersamaan untuk menjadi insan yang lebih baik dari waktu ke waktu dalam nafas ketaqwaan.
"Aku tak bisa menjanjikan akan dapat mencintai dengan cara yang sempurna, Rie. Karena jika caraku mencintai sudah sempurna maka aku tak akan punya cara lagi untuk mencintaimu sebagai istriku jika suratan takdir menyatukan kita"
Tak perlu
waktu lama untuk bisa mencerna kalimat ‘indah’ tersebut. Juga tak perlu waktu
lama buatku untuk memberikan penegasan sikapku padanya. Kami yang bertemu
dengan rasa dan itikad yang sama serta cara pandang yang sama bahwasanya kami
tidak mencari pasangan yang sempurna. Dan justru karena dia tak bisa
menjanjikan akan bisa mencintai dengan cara yang sempurna jika aku menjadi istrinya,
yang membuatku semakin yakin kalau dia yang terbaik untukku.
Aku dan dia sama-sama merasa yakin jika
kami akan menjadi pasangan, pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa DIA
dengan segala keajaiban dan hikmatNYA selalu memberikan yang terbaik yang kita
butuhkan (bukan yang kita inginkan !). Ternyata bukan dia pemilik tulang
rusukku.
Suratan Takdir membuat kami berpisah dan menerima kenyataan bahwa kami dipertemukan
sebagai bagian dari proses pencarian dan pendewasaan diri serta pengkayaan
hati. Orang bilang bahwa Sang Pemilik Hidup sengaja mempertemukan kita dengan
beberapa orang yang salah sebelum akhirnya kita di pertemukan dengan orang yang
tepat sebagai pendamping hidup.
Tapi aku memaknainya, tidak ada yang salah
akan pertemuan kami walau perpisahan itu sempat menggoreskan rasa kehilangan
dan sedih dihati. Reaksi hatiku masih dalam bingkai kemanusiaan yang normal
tentunya jika pada akhirnya harus melepaskan sesuatu yang aku pikir
diperuntukkan untukku. Dan buatku dia juga bukan orang yang salah yang
dipertemukan denganku, hanya memang bukan dia orang dipilih untuk aku cintai
serta mencintaiku dengan cara yang tidak sempurna.
Aku dan dia sama-sama memahami tetap lebih penting untuk menemukan sang dia belahan hati yang disukaiNYA dan di restui orang tua,- entah prosesnya akan cepat/lambat- karena cinta adalah kata kerja, nilai yang di ekspresikan melalui perbuatan penuh kasih sayang yang ikhlas. Dengan demikian, cinta sejati, seyogyanya adalah cinta yang bertumbuh dalam mahligai pernikahan yang seiring langkah sang waktu dalam kebersamaan untuk meraih kebahagiaan yang hakiki.
Sudah lebih dari 18 ribu detik sejak aku berdiri menatap sosok wajah di dalam cermin dengan lekat, kuhela nafas dalam-dalam dan menguatkan keyakinan diri bahwa jika nanti sudah aku temukan pendamping hidupku, semoga lelaki tersebut juga mencintaiku dengan cara yang tidak sempurna sehingga akan ada romansa cinta yang dinamis dan baru setiap hari dalam segala fluktuasi kehidupan bahtera pernikahan yang Barakallahu. Amiin.
“ I Do Believe, Basically No One wanna be live alone [single] ever after”
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway 3rd Anniversary The Sultonation”
Noted: Tulisan ini [lama], sebuah renungan yang dibuat dari sudut pandang seseorang yang masuk dalam list orang-orang yang menerima bertubi-tubi pertanyaan: Kenapa Belum menikah?
============================================================
Apik banget tulisan e mbakyu. Menyentuh juga.
ReplyDeleteMembaca tuulisan ini lagi, ahhh..ternyata diriku bisa menulis curcol beginian tho?
DeleteTidak ada yang benar-benar sempura kecuali diri-Nya. Semoga lekas pendapatkan pendamping hidup yang dapat mencintai Mbak dengan ketidaksempurnaannya.
ReplyDeleteAamiin,
Deletetapi itu tulisan saya ketika [memang] belum menikah ,
sekarang Alhamdulillah sudah menikah:)
Oh, sekarang sudah, ya? Kalau begitu selamat menjalani hidup berumah tangga....
Deletememang nyesek kadang kalo ada yg nanya soal kenapa blm menikah mbak, padhal org yg sudah menikah pun mengalami fase dimana dia hrus menunggu dan menemukan jodoh hingga bener2 yakin..
ReplyDeletesemoga dimudahkan mencari seseorang yang bisa dicintai dan juga mencintai
Amiin, semoga perjalanan bahtera rumah tangga kami sakinah mawadah warohmah Mbak:)
Deletetulisan aku tidak mencari pendamping yang sempurna ini, sangat sempurna penyajiannya sangat mengalir dengan alami kisah perjalanan cintanya kepada-Nya dan kepada sidia.
ReplyDeletekenapa belum menikah...?...sama sayah ajah atuh...yu :D
Hahahaha...itu pak ada iklan jual rumah bonus menikahi pemiliknya lho?
Deleteamien, semoga apa yang diinginkan terwujud semua
ReplyDeleteaaamiiiiiiin:)
DeleteKalo nyari yang sempurna nanti gak nemu2 kak....
ReplyDeletebetul betul betul
Deletetulisan ngena banget....
ReplyDeletesemoga ada manfaatnya ya sob
Deletememang ilfil banget kalo di tanya kapan nikah ?
ReplyDeletepadahal kan seua orang punya prinsip dan target yang berbeda beda...
Kalo udah waktu nya juga bakalan nikah kok...
Semua ada masanya masing-masing ya mas
Deletesungguh mengesankan mbak yu...mak thek neng Ati, ada sebuah kenangan yang tersirat namun tidak tersurat... :D..
ReplyDeleteso apa kbr mbak>>..??
kini diriku bisa berkunjung kembali ke blog ini, karena sejak terakhir kali aku berkunjung pada pertengahan tahun 2013, kini daku buat blog baru lg :D
waaa, welkambek ya mas.
Deletedgn blog baru, tentunya lbh semanagt utk ngeblog ria neh
pertanyaan yang banyak di hindari buat yang single ya mbak kenapa belum nikah
ReplyDeleteiya mbak,
Deletepaling pol jawabnya dgn tersenyum yg dibuat semanis mungkin
tulisannya 'dalam' mba :)
ReplyDeleteMa kasiih mbak Indah:)
Deletewah bacanya jadi serius begini nih akunya, hihihi, smangat mb...
ReplyDeleteaku juga ikutan nih lombanya
Waaah terharu banget bacanya. Dirimu beruntung mak :)
ReplyDeleteTulisanennya apik banget mbak..
ReplyDeleteMenyentuh sekali tulisan ini mbak tie. Speechless daku
ReplyDeletesemangat mbak
ReplyDeleteso weet mbak, dari kalimat-kalimat yang ditulis terharu bacanya. Good luck ya mbak
ReplyDeletemenulis tentang cinta itu setiap orang bisa...
ReplyDeletetetapi menulis tentang perasaan kecewa tanpa emosi dan tanpa menyalahkan itu berat sekali...
mbak Rie keren deh bisa melalui masa-masa itu dengan berlega hati dan ikhlas... dan penggantinya lebih istimewa kan mbak... :)