Bukik bertanya: Hujan Mengukir Pelangi. Mencoba merumuskan arti pada setiap langkah dan desah nafas kehidupan, karena semua yang terjadi berbingkai nisbi dan relatifitas dalam mata rantai perputaran alam yang fana. Setiap akhir sesuatu sejatinya adalah awal untuk hal berikutnya, maka tidak ada yang sebenar-benarnya usai selama jantung masih mendetakkan nadi kehidupan.
Dan Bismilllahirrahmaanirrahiim mencoba mengurai tentang diri sendiri masih saja ibarat peribahasa ‘melihat kuman di seberang lautan masih lebih mudah ketimbang seekor gajah di depan mata sendiri’. It’s about me and myself, berasal dari sebuah desa di Lamongan yang terlahir dari 10 bersaudara: 7 laki-laki dan 3 perempuan (sebenarnya 12 orang tapi sepasang saudara kembar yang merupakan anak sulung tidak beumur panjang), jadi saya sangat maklum saat banyak teman mengatakan cara saya berjalan jauh dari style feminin.
Saya berada di urutan kedua dari bawah (kakaknya si bungsu) terlahir dengan nama Ribut Suhartini, konon katanya saat jelang kelahiran saya terjadi dua kali pemilihan Lurah karena Lurah yg terpilih meninggal 40 hari kemudian sehingga diadakan pilihan lurah lagi. Selain itu, alasan lainnya adalah karena ibu saya secara kebetulan ketemu dengan seorang guru yang punya anak perempuan dengan nama tersebut sehingga terbersitlah ide untuk menamai saya Ribut Suhartini.
Sayangnya para tetangga ada yang protes, masak bocah ayu dinamain Ribut? Gak oke banget, maka dipanggilah saya Ripah, cuplikan dari kalimat gemah ripah loh jinawi. Sehingga ketika ada teman SD yang main ke rumah kala itu nanyain Ribut, tetangga pada gak kenal? Hehehe…
Nama yang dilekatkan kala lahir Ribut Suhartini pun mengalami perubahan, namanya juga kedua orang tua saya gak bisa baca-tulis, mungkin kala mendaftarkan saya ke SD hanya menyebutkan nama depan saja sehingga ketika lulus SD ada pengisian blanko data murid, dan kebetulan kok saya PeDe diisi sendiri (gak minta bantuan kakak), maka jadilah nama resmi saya dalam semua dokumen cukup lima huruf RIBUT.
Bagi teman-teman SD - SMA, tidak ada yang menganggap aneh mengingat lingkungan pedesaan yang terbiasa dengan nama-nama yang singkat padat dan ndeso…Baru saat kuliah ada yang bertanya kenapa nama saya kok Ribut? Biasanya saya jawab biar mudah diingat dan unik kan? Jarang-jarang ada g`dis cantik yang namanya Ribut? Dan dengan bangganya saya bilang kalau di desa saya ada 3 orang yg namanya Ribut dan saya satu-satunya yang perempuan.
Demi menghindari pertanyaan dan ketidakpercayaan tentang nama saya tiap kali kenal dengan orang baru, terbersitlah untuk menggunakan nick name Ririe (daripada setiap kali saya menyebutkan nama harus menyertakan KTP untuk meyakinkan bahwa saya tidak mengada-ada akan nama saya). Untuk interaksi dunia maya saya suka pilih nama kinanthi, sehingga saya combine jadi Ririe Kinanthi, yang dulunya ingin saya gunakan untuk nama pena.
Sekian lama tidak progress dalam menulis, kemudian muncul novel dengan judul blabla..kinanthi. Jika saya tetap menggunakan nama Ririe kinanthi, rasanya kok saya ikutan ‘nebeng’ popularitas novel tersebut (meskipun saya udah menggunakan ID tersebut sejak 2005an).
Akhirnya saya menggunakan nama public/pena Ririe Khayan. Toh ketika pembuatan passport, saat sesi wawancara Bapak petugas kasih saran untuk mencantumkan nama dalam 3 kata agar kelak semoga diberikan kesempatan Umrah/haji tidak repot mengubah data base lagi. Katanya bisa menambahkan nama suami atau ayah, berhubung saya belum menikah dan juga saya lebih setuju bahwa nama yang hendaknya ada di belakang nama sendiri adalah nasab Ayah, maka jadilah ID passport saya: Ribut Ririe Khayan.
Selain nama-nama tersebut, masih ada lagi*yang manggil saya Robot (jika saya kumat usil), Rbt (karena paraf saya dari sekolah gitu), Ribut yang tidak meributkan (ini sebutan di awal-awal bekerja sebab saya sangat pendiam karena memang butuh waktu untuk beradaptasi), atau ada yang paling hemat lagi: just “R”.
Sebagai keluarga yang tergolong dalam kelompok KB ~ keluarga besar ~ baik dari pihak Ayah dan Ibu, orang tua sayalah yang dikaruniai banyak anak dan Alhamdulillah ekonomi juga pas-pasan: pas hasil panen juga pas untuk modal tanam lagi, pas butuh bayar uang sekolah pas gak ada uang (harus gali lubang tutup lubang), dan situasi ‘pas’ lainnya. Terlalu banyak momen penting dan berharga bersama orang tua jika saya flashback ke masa lalu.
Oia, panggilan akrab bagi kedua orang tua saya adalah Pak’e (untuk Ayah) dan Mbok’e (untuk ibu). Sampai sekarang kami tetap memanggilnya demikian, rasanya ada keistimewaan tersendiri dengan panggilan ‘ndeso’ tersebut. Pernah ada teman yang mengira kalau yang saya sebut Mbok’e itu adalah panggilan buat Embah/nenek.
Dan salah satu peristiwa bersama orang tua yang menggetarkan adalah saat wisuda, menghadirkan mereka di antara para orang tua yang dominan berbackgorund terpelajar (meski saya yakin juga tidak sedikit yang kondisinya tak jauh beda dengan orang tua saya), sungguh moment yang luar biasa. Apalagi saat ibu merangkul saya dengan mata berkaca-kaca dan mengucapkan selamat, sungguh kedua orang tua sayalah yang paling pantas mendapat ucapan selamat mengingat dengan segala keadaannya mampu membuat saya punya semangat dan motivasi sampai bisa lulus kuliah (yang lengkap dengan lika-likunya untuk bisa survive & struggle.
Ibu meyakinkan ayah saya bahwa justru karena keadaan serba "pas-pas"an dan ketidakbisaan baca-tulis maka anak-anaknya harus bisa sekolah “tidak ada harta kekayaan yang bisa kami berikan sebagai warisan selain sekolah agar kalian tidak menjadi orang-orang yang bodoh seperti kami” itulah cita-cita sederhana kedua orang tua saya. Juga betapa terharunya kala Ayah saya dengan wajah berbinar menceritakan tentang perbincangan singkatnya dengan beberapa pasang orang tua yang ada di dekatnya saat duduk di tribun yang ternyata adalah orang-orang yang bertitel dan pendidikan tinggi.
Setiap tahapan hidup, setiap peristiwa sebenarnya satu paket dengan pembelajaran dan hikmah, setiap pilihan adalah mungkin dan niscaya. Dan kejadian yang cukup membuat saya berubah adalah ketika saya bertekad untuk menggunakan jilbab. Butuh waktu sekitar setahun buat saya untuk mengambil keputusan tersebut. Saat menjelang naik kelas 2 SMA sudah mulai terbersit keinginan untuk berjilbab, namun karena saya harus memprtimbangkan masak-masak karena agar tidak ingin berjilbab semata-mata karena sindiran guru Agama (sehingga hanya pakai jilbab saat sekolah). Juga saya harus siap mental untuk dipandang sinis oleh lingkungan sekitar mengingat kala itu komunitas berjilbab masih di anggap ‘aneh/minoritas’.
Intinya ketika saya memutuskan berjilbab, saya harus bisa konsisten dengan pilihan tersebut. Itulah kali pertama saya belajar tentang sikap konsisten secara lebih luas. Al hasil kelas 3 SMA saya bertekad bulat untuk berjlbab diawali dengan pengorbanan kain seragam adik (waktu masuk SMA) yang saya jahitkan untuk baju panjang saya dan sebagai gantinya baju seragam saya dipakai oleh adik (karena adik saya cowok, jadi untuk celananya kebetulan bekas celana panjang dari kakak ada yang masih bagus) sekaligus siap dengan konsekuensi saat menampilkan foto berjilbab dalam ijazah harus menandatangani surat pernyataan sanggup menanggung segala resiko atas pilihan tersebut.
Rentang masa berikutnya yang cukup mengubah saya adalah saat kuliah. Saya berangkat kuliah dengan modal sugesti dari kakak dan juga salah satu guru SMA yang meyakinkan saya: yang penting kamu diterima dulu, urusan berikutnya InsyaAllah akan ada jalan. Itulah awal saya mempunyai stigma bahwa segala sesuatu harus di coba, dan jangan pernah takut akan kegagalan.
Dan memang benar adanya, pada akhirnya kita akan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan tanpa harus kehilangan jati diri. Saat kuliah saya mendoktrin diri sebenarnya kuliah itu tidak semahal yang di desas-desuskan orang-orang di desa saya. Bahwa kuliah itu tidak harus berpenampilan yang fashionable, apalagi untuk lingkungan kampus yang dominan makhluk laki-laki di Surabaya sehingga tampil acakadut tetap PeDe saja.
Jika tidak punya buku toh masih ada perpustakaan, ada senior yang bisa dipinjam bukunya. Jika uang kost nunggak cari pinjaman ke teman, dan masih ada opsi kerjaan freelance sesuai kemampuan ( bahwa setiap insan sudah dilengkapi dengan kemampuan untuk bisa survive) yang bisa diambil dan kebetulan kala itu kesempatan yang bisa saya adjust adalah sebagi guru private dari satu rumah ke rumah dengan naik lyn lanjut dengan jalan kaki dan jika sisa jarak tempuh masih lumayan jauh ya estafet naik becak. Yang pasti saya tidak kenal istilah minder, mungkin di dukung dengan sikap teman-teman kuliah yang serba welcome.
Keseluruhan hidup dengan segala warnanya, kesulitan dan kemudahan yang saya alami membuat saya belajar bahwa pada akhirnya saya akan lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan yang heterogen dalam segala aspeknya. Saya berusaha menghargai diri saya dengan belajar untuk menghargai orang lain dengan berusaha “if I were them..” meski itu pun belum bisa totally saya membuat penilaian terhadap seseorang. Setiap diri orang mempunyai variable dan komponen hidup yang exactly tidak sama, maka belum tentu apa yang saya lihat/ketahui cukup merepresenatsikan realitas kehidupan orang (lain) tersebut.
Semoga demikian juga orang lain bisa menghargai saya secara obyektif. Dan saya menghargai diri saya dengan lebih memilih mengambil keputusan tidak semata-mata karena pandangan/tuntutan sosial/masyarakat yang berbasis ‘biasanya’ karena belum tentu yang dianggap biasa itu benar? Selama keyakinan saya tidak bertentangan dengan agama dan tidak merugikan orang lain, saya tidak punya alasan untuk melakukan sesuatu karena pandangan masyarakat.
Keluargalah yang selalu bisa menerima dan merindukan saya tanpa pamrih, yang selalu memberikan dukungan baik moril dan materil tanpa menggunakan hitungan numeric. Dan keluarga adalah tempat sekolah kehidupan saya yang pertama yang mengahajari nilai-nilai kehidupan tanpa teori tapi dengan pembuktian sikap bagaiman seharusnya kita tumbuh menjadi orang yang bisa saling berbagi, tidak egois serta berempati dengan tulus.
Dan tanpa mengecilkan sumbangsih kakak saya yang lainnya, salah satu yang bisa saya sebutkan wujud pengorbanannya yang sangat ‘berani’ adalah sosok kakak saya yang nomer 6, semua adiknya memanggil cak PO. Demi kelangsungan sekolah adik-adiknya, dia mengambil langkah berani keluar dari rumah saat masih kelas dua SMA. Merantau di Surabaya, bekerja sambil sekolah dan berusaha menyisihkan uangnya untuk dikirim ke rumah (karena memang saat itu kondisi di rumah pada titik nadir).
Cak PO juga mampu membuktikan bahwa keterbatasan itu sebenarnya masih bisa di kurangi limitasinya. Ketika sekali lagi pilihan hidup menghadapkannya terus kuliah sambil bekerja atau bekerja total, maka Cak PO pun memutuskan untuk hijrah ke Jakarta dan full bekerja di pabrik assembling mesin. Sikap seorang saudara yang sampai sekarang sering saya jadikan cermin, Cak Po dengan pilihan sulitnya justru membuatnya mampu bertindak kreatif dan efektif dengan hasil yang mengagumkan (saya khususnya) karena saat ini Cak Po bahkan sudah mampu membuka usaha assembling mesin packaging sendiri dengan merekrut tenaga kerja.
Demikianlah Saya melihat, merasakan dan menerima segenap pembelajaran tersebut dari kakak-kakak saya, yang demikian bisa mensinkronkan posisinya agar tetap bisa mendukung adik-adiknya tanpa mengabaikan peran kedirianya dalam keluarganya sendiri.
Ketika usia menapak pada jenjang kedewasaan, ketika langkah kaki membawa diri keluar dari lingkungan keluarga serta dekap hangat perlindungan keluarga, maka orang lain yang ada di sekitar saya adalah keluarga (kedua) saya berikutnya. Dan untuk hubungan pertemanan/persahabatn, saya berusaha untuk meniadakan istilah ‘mantan’ teman/sahabat. Bagi saya tidak ada istilah ‘mantan’ teman/sahabat, suka atau tidak suka, saya akan tetap menganggpnya sebagai teman meski apapun yang terjadi dan tentu saja situasi akan mengalami penyesuaian secukupnya.
Dan Indonesia adalah tanah air yang akan tetap saya cintai, saya masih orang yang setuju dengan pernyataan: meski hujan emas di negeri orang dan hujan tombak di negeri sendiri..saya masih lebih suka jadi orang Indonesia. Dan meski saat ini belum banyak yang bisa saya perbuat untuk negeri ini, tapi setidaknya saya sudah membuktikan bahwa jadi PNS itu tidak perlu KKN juga bisa, bahwa tidak semua lingkungan PNS itu pekerjaannya santai (Alhamdulillah saya berada pada unit teknis laboratorium yang interaksinya dengan pihak swasta sehingga ritme kerjanya harus seimbang dengan mereka). Tidak korupsi juga bisa kaya, maksudnya kaya hati untuk berbagi…kan kaya tidak harus diukur dari materi?
Akan halnya kehidupan, yang terjalin dari peristiwa demi peristiwa yang kadang dinamikanya tak tertebak. Jika ada bagian yang mengh`ru-biru, seyogyanya adalah bagian untuk mendewasakan diri. Sedih, menangis dan kecewa memang wajar…yang tidak wajar manakala hal itu membuat kehilangan pijakan nurani sehingga larut dalam nestapa. Cerita hidup memang lebih dramatis daripada yang bisa dituliskan dan semoga itu semua jadi pengejawantahan akan keimanan pada Ilahi karena hidup adalah sebuah anugerah yang menawarkan banyak kesempatan dan juga tanggung jawab untuk menyumbang sesuatu yang berharga bagi kehidupan.
Memandang kehidupan saya secara menyeluruh, jika boleh memilih sebuah symbol maka saya ingin seperti hujan. HUjan yang selalu di rindukan oleh semua orang, hujan yang membawa kesejukan, hujan yang tetap ada meski kemarau memanjang karena nun jauh di bawah permukaan bumi hujan masih setia memancarkan esensinya bagi segenap kehidupan.
Bilamana saya mengalami hibernasi dan terbangun pada 2030 ( semoga Allah Ta’ala memberi kesempatan umur panjang yang barokah), yang ingin saya dengar adalah keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, pendidikan bukan lagi bagian dari manifestasi beragam ‘nama’ komersialisasi, kesehatan tidak hanya cooperative bagi orang yang finansialnya seattle, keadilan tidak lagi buta, hutan tidak lagi jadi target investor untuk melebarkan sayap bisnisnya. Saya ingin melihat orang hidup berdampingan dalam keberagaman yang saling bertoleransi, sampah tidak lagi jadi musibah, kemiskinan tidak jadi target kampanye demi karir politik.
Hal kecil yang bisa saya lakukan dan semoga bisa mempunyai peran dalam mewujudkan imajinasi saya tersebut adalah dengan mengoptimalkan kemampuan menulis (saya menyukai bidang menulis dan mulai saya achieve setelah bertahun-tahun mengalami hibernasi). Dengan menulis maka otomatis akan lebih intens lagi untuk membaca karena untuk bisa membuat tulisan yang berkualitas kita perlu rajin dan banyak “membaca”.
Tidak hanya membaca beragam buku, namun juga membaca dinamika sosial, lingkungan bahkan juga perkembangan iptek. Dengan bisa membuat tulisan yang berkualitas semoga bisa membawa pencerahan bagi diri saya sendiri khususnya juga orang lain yang membacanya, membawa dampak positive yang bisa menembus dimensi ruang, waktu, gender, usia, ras, serta social ekonomi.
Suatu hari nanti kalau ada seseorang yang berminat membuat (kira-kira siapa yang mau ya?) biografi tentang diri saya, judul yang saya inginkan adalah Hujan mengukir pelangi.
Sebenarnya saya bukan tipe anak yang bandel, juga bukan tipikal murid yang suka bertingkah. Namun demikian ternyata menurut guru, pada suatu kesempatan ketemu ada yang mengatakan dengan lugasnya kalau saya dulu jaman SMA bisa di bilang ndableg. Saya juga pernah melakukan banyak hal konyol, salah satunya adalah ketika saya dengan alasan yang ‘diplomatis’ sudah membawa ibu saya berhujan-hujan melintasi jalan setapak saat pulang dari sawah. Saat itu menjelang panen, ada kebiasaan ‘nyulik’ padi sebelum dipanen semuanya demi menyambung makan yang memang sudah kalang kabut.
Suatu hari, sepulang sekolah, Ibu mengajak saya untuk memotong padi (karena adik dan kakak-kakak yang lain sudah on their job). Setelah 2 karung yang di bawa penuh dan pas hujan turun dengan lebatnya. Membawa 2 karung padi tentu saya tidak bisa menaiki sepeda pancal karena bagian belakang dan tengah di tempati hasil potong padi.
Maka dengan berjalan kaki kami pun pulang di bawah siraman hujan pada senja menjelang kala itu. Saya yang tahu banget kalau sore hari di pertigaan desa ada pos yang biasa dipenuhi para pemuda, maka saya bilang pada ibu untuk lewat jalan memutar (tidak melalui jalan utama desa) yang artinya melalui tanggul ledeng setapak karena saya tidak cukup PeDe melintas di depan para cowok dalam performance kucel, basah kuyup, belepotan lumpur dan membawa dua karung padi dari sawah. Sampai sekarang yang diingat Ibu saya betapa saya sudah menjadi anak baik karena tidak mengeluh berhujan-hujan di sawah kala itu?
Merajut keping-keping kenangan yang selalu memberi makna tersendiri, diantara jedanya yang terselip tawa kala mengingatnya kini. Kadang terbersit kerinduan menetas, akan kebersamaan dalam suka dan duka namun masih bisa bercengkrama dalam cerianya segenap sukma. Semoga mampu menjelma asa dengan gelegar cinta disegenap sel-sel saraf dengan menampakkan nyatanya yang berukir manfaat bagi sesama: sekarang, nanti dan selalu selamanya.
" Hanya tiga blogger dalam friendlist saya yang kenal secara menjejak bumi yaitu : Mutiara devi, Al Kahfi, dan Nurul Khaqiqi, maka inilah Identitas Ririe Khayan yang bernama asli dan lengkap RIBUT "