Ada apa dengan Splash After Class? Pertanyaan yang spontan menyeruak dibenak saya ketika mendengar pemberitaan yang gencar mengenai perayaan kelulusan SMA yang bertajuk Splash after class dengan dress code bikini bagi siswi. Iya Bismillahirrahmaanirrahiim, memang sudah bukan hot news lagi saat saya memposting uneg-uneg karena pesta perayaan kelulusan yang semestinya digelar pada tanggal 25 April lalu gagal terselenggara karena menuai banyak protes dan tentangan. Padahal pesta serupa ternyata sudah pernah terselenggara dengan sukses di tahun sebelumnya? Mencuatnya model perayaan yang bergaya ala Holywood (atau Melrose Place?) menjadi tamparan yang sangat keras bagi semua elemen dunia pendidikan: orang tua (lingkungan keluarga), lembaga pendidikan (sekolah), pemerintah dan masyarakat luas pada umumnya.
Splash After Class lebih DAHSYAT hentakannya bagi saya, menyadari jika aktualitas dan implementasi diri menjadi orang tua (ibu) masih cethek ~ dangkal/abal-abal dan bisa dibilang I’m still learning to be A Mommy [and not better yet]
Fenomena perayaan kelulusan sekolah secara over dan dosisnya FAKTAnya semakin meningkat ke level yang memprihatinkan dari tahun ke tahun. Kalau di masa saya sekolah, aksi perayaan kelulusan diekspresikan dengan mencorat-coret seragam sekolah dan seiring berjalannya waktu model perayaan kelulusan pun semakin mengheboh (kalau tidak bisa disebut menggila). Splash after class bisa jadi hanya salah satu model perayaan kelulusan yang extrem dan menjauh dari koridor budaya, kesopanan, susila dan moral.
Sebagai orang tua (juga pernah berada di usia anak-anak kita sekarang), sebenarnya saya juga gemas. Bagaimana bisa mereka begitu berani menandai kelulusan dengan cara-cara yang tidak masuk akal sehat seperti itu? Lha kan baru lulus SMA, perjalanan berikutnya masih panjang dan membutuhkan banyak energi dan persiapan. Tapi kok ya bisa tercetus pemikiran merayakan kelulusan secara all out, seolah inilah moment puncak ujian hidup yang baru saja bisa dilaluinya dan patut dirayakan dengan pesta yang naudzubillah: berpakaian bikini ditemani hingar bingar musik dan minuman keras?
Relevansi yang bisa saya tarik dari fenomena tersebut adalah Sistem pendidikan masih menjadi momok dan masa menjalani pendidikan di bangku sekolah di anggap sebagai penjara. Sehingga begitu UN dilalui, seperti mendapatkan moment yang tepat untuk merayakan kesuksesan keluar dari tembok “penjara” bangku sekolah. Fakta bahwa dunia pendidikan di negara kita masih fokus memborbardir murid-muridnya dengan bejibun ujian: ulangan harian, ulangan dadakan (short quiz), UTS, ulangan umum, ujian kenaikan kelas, dan ujian nasional menjadi sumber antipati yang menggunung bagi siswa. Belum lagi setumpuk PR yang dibebankan ke siswa setiap harinya yang konon katanya demi mendidik anak agar rajin belajar dan disiplin. Rutinitas yang demikian berlangsung sepanjang 220 hari efektif bersekolah setiap tahunnya. Siswa dicekoki dengan PR pelajaran ini, itu dan serangkaian ritual tes/ujian dengan labeling yang berbeda-beda.
Bayangkan, betapa kompleksnya stress yang harus dikelola oleh siswa in every single day they have? Belum lagi metode yang digunakan dalam membuat proses belajar-mengajar yang menyenangkan (learning is fun) juga masih jauh dari impian. Masih banyak guru mengajar secara satu arah dengan metode ceramah yang amat dominan dan mendoktrin. Alih-alih anak terbentuk menjadi pribadi yang tangguh paripurna, yang terjadi adalah akumulasi antipati terhadap sekolah dan membentuk opini betapa bersekolah menjadi belenggu kemerdekaan. Sehingga saat kelulusan tiba, mereka amat sangat merasa layak untuk merayakan dengan acara yang spektakuler.
Dan jika kemudian mereka memilih cara merayakan “kemerdekaan” dari belenggu rutinitas bersekolah secara extrem, kalau dicermati secara rasional tentunya tidak serta merta ide “liar” tersebut tercetus begitu saja di benak anak-anak.
Setiap anak dilahirkan atas dasar fitrah “Bening” atau murni seperti sifat air yang netral. Seandainya seorang anak dibiarkan di atas fitrahnya, tentulah dia akan mendapat hidayah menuju kebaikan dan kebenaran. Akan tetapi ketika datang erosi dari sekitarnya maka berubahlah anak tersebut. Bahwa anak itu dilahirkan dalam keadaan lebih bening dari pada air, lebih putih dari susu, tetapi kemudian kita dapati dari anak – anak tersebut muncul kedustaan yang tadinya dia tidak pernah berdusta, muncul sifat egoisme yang tadinya juga tidak demikian dan berperilaku menyimpang lainnya. Dan tidaklah semua ini terjadi kecuali muncul dari sebab – sebab yang datang dari luar. Keluarga, Sekolah dan lingkungan sosial ( media massa, media on air/on line, media sosial, pergaulan) merupakan variable external yang memiliki kontribusi significant terhadap tumbuh kembang anak-anak.
Bila Anak diumpamakan seperti air yang murni, maka zat yang memiliki sifat dasar murni ini akan berasa pahit, manis, asam; bagaimana air akan berbentuk sesuai model wadah seperti mangkok, gelas piala atau melebar tanpa bentuk; serta akan kemana arah aliran air, maka ketiga main stream di atas [ keluarga, sekolah dan lingkungan sosial] yang pastinya saling terkait dan saling melengkapi dalam proporsinya masing-masing berkontribusi secara linkage dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak.
Sebuah pertanyaan sederhana bagi orang tua [amatir] seperti saya, sudahkan kita memberikan iklim pendidikan di rumah yang konstruktif bagi anak untuk melalui proses demi proses perkembangan hidup menuju bahagia dengan tidak menjadi sosok yang individualis serta eling marang ingkang Maha Dumadi?. Tiap generasi dibangun di atas generasi sebelumnya. Idealnya generasi sebelumnya (orang tua) harusnya berusaha memperbaiki hal-hal vital yang terkait dengan pendidikan agar lebih konstruktif bagi anak sebagai agent perubahan selanjutnya. Bapak dan ibuk, tentu punya peran penting yang proporsional dalam kapasitas dan posisinya masing-masing. Bahwa Kontribusi terbesar pembentukan karakter anak dari lingkungan keluarga yaitu orang tua-lah yang memegang peran strategis dalam mempersiapkan pondasi dasar karakter anak.
Gaya party yang hedonis, tak hanya output dari gerusan trend life style western yang di anggap sebagai mega trend dan recommended untuk diikuti, juga tak bisa dipungkiri diakibatkan oleh kebiasaan orang-orang terdekat mereka yang sering dilihat sehari-hari. Satu contoh sederhana: berapa banyak orang tua yang menganggap ‘lumrah’ keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk? Alibinya: kan di dalam rumah yang isinya adalah anggota keluarga sendiri. Padahal setiap anak memiliki keinginan untuk meniru, menduplikat dan memodifikasi segala apa yang dilihat dan di dengarnya. Jangan heran jika anak-anak memberikan unjuk modifikasi di level yang lebih tinggi. Mereka menganggap, sesama populasi teman SMA, jadi wajar kan jika sama-sama berbikini, toh di ruang tertutup dan terbatas pada para undangan. Konteks peribahasa Bapak kencing berdiri, maka anak akan kencing dengan berlari, adalah salah satu yang patut membuat kita untuk mawas diri.
Mencuatnya ceremonial Splash After Class, selain menjadi CERMIN INTROSPEKSI bagi para orang tua (lingkungan keluarga), juga merupakan cambukan telak bagi dunia pendidikan dan semua yang terkait dengan penyelenggaraan proses belajar mengajar. Sudah tidak dapat ditunda-tunda untuk membuat pembaharuan yang holistic. Re-engineering terhadap ruh pendidikan dimana metode pembelajaran yang mampu memberikan rasa nyaman dan menyenangkan karena sejatinya learning is fun dan agama semakin diperlukan untuk menghadapi perubahan-perubahan paradigma, pola pikir dan pola pergaulan yang kian lebar daya permisifnya.
Apapun rumus yang digunakan untuk menganalisis perubahan zaman dari indikator kemajuan teknologi, yang pasti adalah dewasa ini sedang berlangsung perubahan-perubahan besar yang serius dalam peradaban manusia.
Pergeseran-pergeseran yang seolah terjadi secara magic. Banyak perubahan gaya dan perilaku hidup yang tak bisa diukur dengan segala kaidah rasional yang dipengaruhi oleh konten-konten tontonan yang semakin menjauh dari role model budaya kita yang mengutamakan susila, beradab dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Yang jelas informasi agama semakin diperlukan untuk menghadapi perubahan-perubahan paradigma, pola pikir dan pola pergaulan yang kian lebar daya permisifnya. Karena agama adalah urusan sosial, urusan kebudayaan, urusan peradaban.
Agama memberi tuntutan bagaimana bergaul dengan alam, dengan orang lain, dengna jin, malaikat dan Tuhan. Agama memberi pedoman bagaimana mengonsep sejarah dan kehidupan. Peristiwa splash after class sepenuhnya masalah moral, perilaku menyimpang, urusan sosial dan dengan tegas agama apapun melarang perbuatan merayakan sesautu dengan cara-cara yang diluar tatanan etika. Perayaan dan moment apapun yang memiliki Stereotipe seperti Splash after class, bukan lagi urusan pribadi, bukan lagi hak asasi. Tapi lebih dari sekadar dimensi hak asasi dan kebebasan. Itu adalah persoalan konsep, batas dan strategi kebudayaan manusia.
Ikut menghirup nafas Hari Kebangitan Nasional, saya kutip wejangan Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara:
Pendidikan adalah segala daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
"Pinjem" Tempelan Stick NOTE di kamar Aida |
Ah, rasanya tulisan saya ini masih selapis tuuuiiiipiiiisss kulit ari mencuatnya Ada apa dengan Splash After Class?