Keinginan dan hasrat untuk mengirimkan tulisan ke media cetak sudah cukup lama menggebu, apalagi ketika membaca salah satu postingan Mbak Haya Aliya Zaki men-sharing hasil beliau mengikuti Workshop dan Kompetisi Menulis Rubrik Gado-gado Majalah Femina. Tapi ya dengan pembenaran dan excusing ini dan itu, yang terjadi adalah No progress, No trial yet. Bismillahirrahmaanirrahiim, dua bulan belakangan ini cukup cering menyimak kabar-kabari di FB mengenai kesuksesan menayangkan tulisan di media cetak, sepeti yang telah berhasil dilakukan oleh Mbak Ika Koentjoro, Mbak Ardiba dan banyak lagi lainnya (sampai lupa satu persatu siapa saja yang sudah eksis manis tulisannya menghias media cetak). Jadi melafalkan mantra sakti MAN JADA WA JADDA buat mencoba kirim tulisan mengenai sebuah frase tentang NILAI UANG RECEH (an) yang momentnya terjadi bersama Azka (anak nomer 3).
Untuk “mendisiplinkan” diri menulis secara sistematis dan terarah, saya simak ulang beberapa karya tulis teman-teman yang sudah di eprup di Republika. Fokus saya, memang mau mengikuti jejak-jejak sukses yang telah ditorehkan teman-teman di Leisure Republika. Sudah pada paham kan kalau stylish tulisan saya kebanyakan ngglambyar dan nglantur. Oleh karena itu, saya amat sangat me’warning diri untuk menulis sesuai pakem yang telah ditentukan. Kemana tujuan kita, maka kita perlu memahami seluk-beluk tata tertibnya agar bisa diterima kan? Dimana bumi di pijak, di situ langit di junjung. Kira-kira begitulah jika dibuat peribaratan.
Untuk “mendisiplinkan” diri menulis secara sistematis dan terarah, saya simak ulang beberapa karya tulis teman-teman yang sudah di eprup di Republika. Fokus saya, memang mau mengikuti jejak-jejak sukses yang telah ditorehkan teman-teman di Leisure Republika. Sudah pada paham kan kalau stylish tulisan saya kebanyakan ngglambyar dan nglantur. Oleh karena itu, saya amat sangat me’warning diri untuk menulis sesuai pakem yang telah ditentukan. Kemana tujuan kita, maka kita perlu memahami seluk-beluk tata tertibnya agar bisa diterima kan? Dimana bumi di pijak, di situ langit di junjung. Kira-kira begitulah jika dibuat peribaratan.
Dan untuk lebih meyakinkan, saya pun menyelusuri jejak mension Mbak Ika Koentjoro yang mengarah ke FBnya Leisure Republika, menyimak dengan seksama rule dan menjadi pedoman saat menuliskan percakapan saya dengan Azka. Tanggal 2 Nopember 2014, saya kirim naskah by email dan 11-11-2014 Alhamdulillah sudah ditayangkan dengan manis tulisan sederhana saya tersebut.
![]() |
Pinjam dari Mbak Ika Koentjoro |
Bagi yang belum membacanya di harian Republika, dan sapa tahu ingin juga mengetahui isi tulisan saya tersebut, maka berikut ini draft aslinya bisa disimak:
Menggunakan uang recehan, sepertinya menjadi salah satu alasan banyak orang tua dalam rangka mengajari anak-anak agar memiliki kebiasaan berbagi. Dengan ikhlas kita bilang ke anak-anak untuk memberikan uang recehan ketika ada pengamen di rumah, di area traffic light dan juga dimasukkan ke kotak amal. Minimal saya dan suami juga menggunakan cara ini untuk menumbuhkan jiwa suka berbagi dalam diri anak-anak kami. Dalam perkembangannya, memang ada hasilnya. Bahkan mereka dengan ringan memberikan dengan nilai nominal yang lebih besar manakala baru mendapat uang pesangon saat mudik. Alhamdulillah, mereka tidak berstigma kalau memberi dan berbagi itu cukup dengan uang recehan.
Tapi buat Azka ternyata memiliki stigma lain yang berada diluar dugaan saya. Ternyata, Azka beranggapan bahwa peruntukan uang recehan (koin) ya untuk disumbangkan atau dibagikan seperti yang biasa dilakukannya. Jika belanja atau membeli sesuatu barang/benda itu ‘tidak bisa’ menggunakan uang recehan.
Azka juga beranggapan menggunakan uang koin untuk belanja itu bikin gak PeDe. Ini saya ketahui ketika mengajaknya belanja ke sebuah minimarket. Karena kebetulan di dalam tas ada sejumlah uang recehan, maka saya membayar dengan menyertakan beberapa koin uang pecahan sehingga pas dengan harga barang yang kami beli, kan lumayan tidak perlu nunggu uang kembalian.“ Boleh ya bayar pakai uang koin gitu, Bund?” tanya Azka saat tiba di rumah.“ Ya bolehlah, kan ini uang resmi untuk jual beli, Ka..”“ Oooo…ehm, tapi kan malu Bund belanja di ****mart kok pakai uang koin..”“ Azka, meskipun uang recehan atau koin itu nilainya kecil, tapi tetap uang yang bisa digunakan untuk belanja dan kita tidak perlu malu untuk menggunakannya. Uang seratus ribu, jika kurang seratus Rupiah saja, tidak bisa genap menjadi seratus ribu kan?” Azka memang tertawa mendengar penjelasan saya tersebut. Entah karena ada bagian yang lucu atau dia sudah memahaminya?
Saya perlu mengajari Azka untuk bisa menghargai nilai uang recehan. Hingga beberapa hari berikutnya, saat pulang sekolah, saya ajak dia mampir SPBU. Sebelumnya saya sudah menyiapkan sejumlah uang pecahan koin untuk membeli bensin.“ Ini nanti uangnya kasihkan pada Bapak petugas itu ya..?”Azka tak langsung menerima uangnya “ Ehmm, nanti kalau gak boleh gimana Bund? Kalau orangnya marah bayarnya pakai uang koin gimana?”“ Coba saja Azka kasihkan uangnya nanti ya?”Azka agak ragu-ragu dan sambil tersenyum malu-malu ketika memberikan uang koin tersebut “ Pak, ini uangnya untuk bayar BBM…”“ Tuh kan, gak apa-apa menggunakan uang koin untuk beli bensin?”“ Hehehhee..iya Bund dan uangnya langsung diterima “ jawab Azka dengan nada riang.Kemudian saya jelaskan bahwa uang koin (recehan) maupun uang yang nilainya besar, sama-sama memiliki fungsi yang sama sebagai alat pembayaran yang sah. Selama uang yang kita gunakan itu asli, jika ada yang menolaknya ketika kita pakai untuk membeli atau membayar, maka orang tersebut bisa terkena sanksi hukum.“ Jadi Azka tak perlu gengsi atau ragu-ragu jika suatu saat pakai uang recehan untuk jual beli ”
Memberi kesempatan Azka untuk membayar menggunakan uang recehan, sesekali memang tetap kami lakukan, tentu saja dalam konteks untuk menanamkan penghargaan terhadap hal-hal kecil yang sebenarnya juga memiliki nilai penting. Semoga Azka tak hanya bisa menerima penjelasan mengenai arti uang recehan, tapi juga bisa menghargai hal-hal kecil lainnya. Bahwa segala sesuatu berawal dari kecil, gedung yang besar juga dibangun dari komponen-komponen kecil.
Tuh kan banyak uang recehannya |
Nah,
bagi yang sudah punya ide, cerita, kisah dan peristiwa menarik dan cocok untuk Rubrik
Buah Hati, bisa disimak SOP yang saya ambil dari FB Leisure Republika,
semoga semakin menguatkan niat bagi siapa saja yang ingin berbagi pengalaman.
Naskah ditulis dengan sudut pandang 'saya',
menceritakan cara ayah dan bunda mengatasi suatu tantangan pengasuhan. Temanya
beragam, mulai dari cara menjelaskan makna demonstrasi, mengenalkan anak guna
menabung atau pengalaman lainnya yang dialami bersam sang buah hati. Sedangkan
teknis penulisannya adalah:
- Pilih satu tema utama, usahakan temanya spesifik dan berisi diaog antara orang tua dengan anandanya
- Sertakan informasi nama dan usia anak yang diceritakan, jumlah anak dalam keluarga
- Sertakan foto penulis dengan anak yang diceritakan dalam naskah. Foto dengan seluruh anggota keluarga akan menyulitkan pembaca untuk mengenali anak mana yang diceritakan. Foto harap dilampirkan dalam attachment terpisah dari naskah. Untuk tampilan yang lebih bagus, foto sebaiknya bukan merupakan jepretan kamera ponsel dan berukuran LEBIH dari 150 KB.
- Tulisan berkisar antara 2500 hingga 3000 karakter
- Naskah dan foto dapat dikirimkan melalui email leisure@rol.republika.co.id
Nah kan, tidak sulit tho? Jangan lupa dan wajib
diingat pula untuk mencantumkan nama lengkap, alamat, nomor telepon yang bisa
dihubungi, dan nomor rekening.
Selamat menulis dan jangan ragu untuk segera
mengirimkannya ke redaksi mana saja yang sesuai dengan minat dan tema tulisan
yang akan (diharapkan) bisa ditampilkan pada media cetak.