Writer Wannabe Rekam Jejak Lintas Masa. Event
Mozaik Blog Competition sponsored by
beon.co.id dan Bismillahirrahmaanirrahiim sebenarnya, saya tidak pernah bercita-cita jadi penulis. Gimana mau bercita-cita jadi penulis jika saya baru bisa membaca saat kelas dua SD?
Begitu bisa membaca, saya super semangat membaca persediaan buku di perpustakaan yang nyatanya jumlahnya sangat sedikit. Otomatis berasa seperti kehausan di padang pasir karena hasrat membaca tidak tersalurkan secara maksimal. Saya pun mengalihkan napsu membaca ke buku pelajaran kemudian membuat rangkuman sebagai bahan belajar kalau ada THB atau ulangan harian. Jika ada ulangan, saya suka banget dengan soal-soal isian karena saya akan menjawab dalam kalimat sepanjang-panjangnya.
Terlebih untuk pelajaran Bahasa Indonesia, saya paling suka pada soal yang membuat karangan. Maka mengaranglah saya sebanyak-banyaknya, semakin banyak semakin besar nilai yang diperoleh, gak masalah isinya mengikuti plot atau loncat indah kemana-mana. Kalau hasil tulisan banyak kan bakal males Guru untuk membacanya tho?
Menginjak SMP, isi perpustakaan jauh lebih banyak dan beberapa teman juga ada yang hobi membaca. Karena kuota pinjam terbatas, maka kami bikin kesepakatan untuk gantian baca buku yang dipinjam. Otomatis, waktu untuk menghabiskan satu buku jadi lebih pendek karena bergantian. Semakin banyak membaca, membuat saya jadi mengamati bagian belakang buku-buku yang saya baca. Iya, saya mulai mengamati para penulisnya.
Lambat namun pasti, mulai muncul kekaguman pada sang penulisnya dan berangan-angan alangkah serunya jika bisa jadi penulis karena bisa dikenal banyak orang dimana-mana tanpa perlu kemana-mana. Bahkan ketika sang penulisnya sudah tiada, tetap bermunculan orang-orang baru yang mengenalnya melalui buku-buku yang ditulisnya.
Yang masih saya ingat karya sastra yang fenomenal: Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Derwijk dan Siti Nurbaya. Mulai ada setitik pemahaman bahwa menjadi penulis bisa dikenal secara lintas generasi dan lintas benua. Dan ini membuat saya tertarik, menjadi terkenal di kenal sepanjang sejarah seperti Mpu Tantular misalnya? Pasti keren banget, ini salah satu khayalan saya saat SMP.
|
Antologi Pertama: Event When I Broke Up |
Entah bagaimana awal-awalnya, saya pun mulai suka membuat tulisan semacam puisi. Meski masih di halaman buku tulis yang tersisa. Saat duduk di bangku SMA, saya mulai iseng mengirimkan tulisan tangan saya yang tidak rapi-rapi banget ke koran yang saya tahu alamatnya.
Iyah, via post dengan perangko sekali kirim. Jadinya karya saya tidak mungkin dikirim balik jika tidak layak muat. Wong bisa beli perangko untuk mengirim tulisan saja sudah perjuangan keras. Saya menikmati proses menulis dengan pulpen, di atas kertas polos HVS yang saya beli secara eceran. Untuk menghemat kertas, saya tulis dulu semacam draft di kertas bekas. Setelah merasa fixed, baru saya pindah ke kertas HVS yang akan saya kirimkan.
Mungkin saya yang terlalu Over Dosis Pede sehingga tak tanggung, wong tulisan fiksi amatiran kok dikirimkan ke Jawa Pos, Surabaya post dan koran? Dengan sukses tak ada naskah saya yang dikembalikan, juga tidak ada kiriman wesel pos, yang artinya naskah saya masuk keranjang sampah. Mungkin, karena saya tidak menerima retur naskah sehingga saya merasa just fine dan tetap mencoba menulis lagi dan lagi, tentu saja di waktu luang yang tersedia.
Selain suka membaca, saya pun tertarik dengan penpals. Ada daya magnet yang menarik saya untuk bergabung dengan beberapa club sahabat pena seperti Harvest dan FFC [Franca Fans Club]. Dua club penpals ini saya pilih karena ada buletin yang menampung karya tulis para anggotanya. Walaupun tulisan saya tidak ada yang sukses muat di buletin tersebut, tapi saya menikmati isinya sebagai bahan pembelajaran dan menambah kosa kata sastra.
Hingga kelas 3 SMA, saya belajar menulis cerpen dengan cara memperhatikan dari buku-buku yangs aya pinjam di perpustakaan, serta dari koran-koran bekas yang saya temukan. Hingga kemudian saya tahu tentang koran lokal Karya Darma namanya, kalau gak salah terbitannya memang khusus untuk komunitas guru.
Yess…PAK SOPIR akhirnya dimuat di koran tersebut, cerpen fiksi yang saya adopsi dari keseharian pulang-pergi sekolah naik colt angkutan umum. Surprise, bahkan saya tahunya dari teman yang berasal dari kelas lain karena dia baca koran langganan Ayahnya. Saya merasa seperti mendapat injeksi doping dosis tinggi, demikian menggairahkan semangat menulis.
|
Rekam Jejak dalam Antologi |
Saat saya ke kantor pos untuk mengambil wesel honor, Pak Pos bilang: “ wah, kamu kok pinter bisa nulis di koran gitu ya Nduk?”. Betapa senangnya hatiku..tralalalalaa…trilililiii… Honor pertama sebesar 6 ribu merupakan jumlah uang yang besar dan menjadi punya arti lebih luar biasa lagi yaitu pengakuan akan kemampuan saya dalam menulis cerpen. Saya bersemangat untuk menulis cerpen lagi saat dapat ide dari moment pilkades di desa dan ternyata bisa dimuat juga. Kemudian beberapa tulisan non fiksi yang bertemakan tentang remaja yang di ACC oleh Karya Dharma lagi. Juga sebuah puisi berjudul Nafiri Tahun Baru yang diterima oleh Deutsch Welle [Radio Jerman] dan mendapatkan honor 30 USD kala itu.
Sebenarnya semangat membaca dan belajar menulis selalu membara,
tapi praktek menulis mengalami gelombang pasang surut, terlebih saat jelang
Ebtanas SMA dan masa transisi ke bangku kuliah. Hampir 2 tahun saya vacuum menulis di rentang masa tersebut dan baru mulai bersemangat menulis lagi saat kuliah di semester 3. Referensi dan bahan perbandingan cerpen semakin banyak karena teman-teman kost ada yang suka beli majalah dan koran/tabloid.
Sejak itu pula, saya mengirimkan naskah cerpen dengan mesin tik pinjaman dari teman, tapi tetap masih bikin rancangan dulu di kertas bekas dan setelah fixed baru saya pindahkan kertas polos HVS dengan pakai mesin ketik. Saat kuliah ini saya mulai mencoba mengirimkan tulisan saya ke majalah [selain ke koran]. Berharap dan berusaha optimis bisa dimuat tentu saja, tapi naskah-naskah saya tersebut itu kembali dengan disertai satu lembar kertas semacam checklist beserta tulisan pulpen mengenai point antara lain: Judul terlalu umum, konflik terlalu datar, ending yang mendadak, penokohan yang kurang berkarakter, dan lain sebagainya.
Sedih? Kecewa? Pastinya. Tapi ada yang lebih serius dari itu: saya bingung mengenai poin-poin yang dituliskan sang editor tersebut aplikasinya dalam cerpen seperti apa? Terus, bagaimana lagi saya harus menulis cerpen? Browsing internet? Media IT internet masih sarana langka kala itu, mahal plus ngantri jika pun saya berkesempatan untuk "menyentuh" jembatan maya tersebut.
Yang bisa saya lakukan adalah membaca berulang-ulang secara bergantian antara catatan dari editor dengan cerpen saya. Dan, saya tetap gak paham apa maunya para editor tersebut. Saya putuskan untuk membeli beberapa buku yang isinya tentang metode, trik dan tip untuk menulis secara baik, walau ini pun tidaj cukup efektif untuk menjawab kebingungan saya saat itu.
Meski demikain. saya tetap belajar dan mengasah kemampuan menulis tiap kali ada waktu longgar, saya juga tetap menjaga semangat untuk mengirimkan naskah ke berbagai redaksi. Hasilnya, tulisan saya masih belum bisa melewati screening editor. Ada sih beberapa cerita mini yang bisa diterima, tapi secara prosentase sepertinya tidak sampai 0,05% dari total tulisan yang saya kirimkan.
Setiap kali membuat tulisan menunggu dapat pinjaman mesin ketik dulu, yang tentunya baru dapat pinjaman jika sang empunya alat sudah break berketak-ketik ria. Tulisan yang saya kirimkan lebih dominan dikembalikan, ditambah kesibukan kuliah plus ngajar privat door to door dengan naik bemo, membuat kegiatan menulis akhirnya jadi terabaikan. Juga mulai muncul rasa bosan, jenuh, stag serta putus asa sehingga praktis saya jadi PASIF menulis!
Aksi pasif menulis pun berkepanjangan hingga saya memmasuki dunia kerja, terlalu lama untuk disebut pasif. Mungkin lebih tepatnya,
saya hiatus dari aktifitas tulis - menulis teramat sangat lama, sekitar 5 tahun. Dalam masa hiatus ini, selalu ada hasrat dan dorongan untuk menulis dan menulis, tapi masih kalah oleh gelombang rasa bosan, jenuh, stag serta putus asa karena terlalu sering menerima pengembalian naskah.
Hingga kemudian saya tertarik untuk membuat blog. Iya saya berasumsi, dengan memiliki blog maka saya BISA menampilkan tulisan tanpa perlu ribet dengan prosedur screening dari dewan editor. Di sekitar pertengahan 2009 saya berusaha menerjemahkan kalimat yang cukup sering saya dengar:
Kapan saat yang tepat untuk menulis adalah just take it start! Inilah
alasan awalnya kenapa ingin ngeblog
Ya MULAI saja karena yang sebenarnya sulit adalah MEMULAI. Karena itu, saya mensugesti diri sendiri untuk mengambil langkah MEMULAI menulis seperti saat melakukan hal-hal yang saya sukai dan memberikan rasa senang serta kepuasan, maka saya MULAI menjalaninya secara suka cita, lancar, mengalir tanpa ada keluh kesah?
Saya mencoba mendeterminasikan antuasiasme saat bersocmed ria: FB, WA, BBM, YM dan sejenisnya, esensinya adalah “Write what we like and share it....” Aktifitas menulis di jejaring sosial yang memberikan kepuasan dan rasa senang, sejatinya bisa dijadikan determinan awal untuk aktif menulis di BLOG. Saya berusaha menulis hal-hal yang saya sukai, yang saya alami, yang saya rasakan. Dengan menulis hal-hal menarik dalam keseharian, saya bisa menulis secara mengalir lepas.
Ketika saya memiliki hasrat untuk punya blog, alasannya adalah saya suka menulis dan ingin mendokumentasikan hasil tulisan. Alhasil pada periode awal-awal bersemangat nge-Blog HANYA mendokumentasikan tulisan acak kadut saya, sekaligus dalam rangka memotivasi diri agar bersemangat mengasah kemampuan menulis. Lha kalau tulisan kita ada yang mbaca, kemudian ada yang mau ngasih komentar tentunya sebuah euforia kebahagiaan tersendiri bukan?
Inilah yang saya jadikan kerangka acuan untuk kembali menulis yaitu munculkan rasa suka dan senang untuk nulis di Blog mengenai hal apa saja, tanpa pakai batasan jenis tulisan fiksi atau non fiksi, sekedar curcol atau serius. Hal-hal yang kita lihat, rasakan dan alami sehari-hari merupakan lautan ide yang bisa kita tuangkan dalam tulisan. Anggap saja mulai lagi seperti menulis diary atau kegiatan menulis itu semenyenangkan seperti chatting, FBan, yang mudah dan simple karena berisi hal-hal yang kita alami dalam kehidupan keseharian.
Awalnya mungkin kita masih “asal” menulis, BUT be sure semakin sering/banyak kita menulis akan mengasah pena hingga kita menemukan gaya menulis yang menampakkan stylish diri kita sendiri.
Dengan menjejak dunia Blogging, mempertemukan saya pada komunitas sastra yang rata-rata membuka pintu lebar-lebar untuk berbagi ilmu mengenai kepenulisan yang di sertai challenge: event dan kompetisi-kompetisi menulis. Untuk beberapa periode, saya masih jadi penonton dan penikmat gegap gempitanya tiap kali ada up date lomba menulis atau pengumuman pemenangnya. Dan ketika muncul hasrat untuk berpartisipasi, semata demi menguji kemampuan pena, adakah perkembangan yang telah saya dapatkan setelah kembali aktif menulis semau-maunya via Blog.
Awal-awal mengikuti seleksi penerbitan antologi, tulisan saya masih tidak bisa masuk daftar pemenang. Dan saat mengikuti event “ When I broke Up” yang diadakan oleh Penerbit Leutikaprio, Alhamdulillah tulisan saya yang berjudul My Re-engineering When I broke Up termasuk dalam daftar pemenangnya. Event berikutnya yang saya ikuti adalah menerbitkan buku bersama Jonru dan Alhamdulillah “Theraphy menulis” karya saya dinyatakan layak untuk masuk dalam buku yang akan diterbitkan Jonru.
Memang tidak selalu keikutsertaan saya membuahkan hasil seperti harapan dan keinginan. Dari sini justru saya mengmabil hikmah bahwa skill saya dalam menulis tetap perlu di asah dan kompetisi merupakan salah satu cara untuk mempertajam goresan pena saya. Beberapa tulisan yang lolos seleksi terbit dalam buku antologi lainnya adalah:
Aku tidak mencari pendamping yang sempurna [Perindu Surga],
Persimpangan Asa [ Sang Juara],
Nenek mengajariku menerima rasa “pahit” [Penantang Mimpi],
Bayang-bayang sutra [Sayap-Sayap Cupid],
Sebening Embun [Ironi Strip dua],
Melukis Fajar [ Kami (Tak Butuh) Kartini Indonesia].
Setelah beberapa kali ikut antologi, terlintas tanya pada diri sendiri, apakah seorang Ririe ini sudah layak untuk menerbitkan sebuah buku berkualitas? Sejujurnya saya jawab: sangat belum. Akan tetapi jika saya menunggu dan menunggu sampai skill writing masuk kategori ELIGIBLE, maka sangat mungkin saya tak akan pernah menerbitkan sebuah buku apapun!.
Berpegang dan Beralibi pada impian masa remaja bahwa saya ingin bisa menerbitkan buku dan Man Jadda Wa jadda...Alhasil, saya pun memilih dan memilah Upload postingan-postingan di blog plus beberapa soft file tulisan yang tersimpan di notebook. Then, jadilah
MOZAIK KINANTHI dengan 3 kategori: fiksi, artikel dan puisi.
Jika ditanya, siapa yang menginspirasi saya dalam dunia literasi? Semua penulis yang pernah saya baca karyanya adalah para inspirator bagi saya. Salah satu penulis yang saya kagumi adalah Umar kayam dan Charles Dickens, tulisannya demikian detail dengan diksi yang sederhana tapi bermakna dalam, alur ceritanya demikian hidup. JK. Rawling sang penulis Harry Potter membuat saya kagum akan daya imajinatifnya. Dan banyak penulis lain dengan ciri khasnya masing-masing yang membuat karya tulis mereka menjadi ever green books.
Maka buku Mozaik Kinanthi yang merupakan buku perdana saya, mampu jadi motivasi bagi saya sendiri khususnya sebagai awal untuk berbagi melalui tulisan demi tulisan yang lebih baik di masa selanjutnya Syukur Alhamdulillah jika bisa memotivasi yang lainnya untuk berani menulis. Karena sejatinya setiap orang memiliki potensi dan kemampuan untuk menulis, hanya tinggal mau memulainya menulis atau membiarkan hilang bersama masa yang berlalu tanpa rekam jejak.
Why Writter Wannabe?
Kalau gajah mati meninggalkan gading, maka dengan
writter wannabe semoga jadi rekam jejak dalam tulisan yang bisa jadi salah satu peninggalan yang melintasi dari masa ke masa.
Let’s write as habit then will find the journey of being happy by keep sharing with others from every where at any time.
*) Masuk dalam pemenang 20 besar [dibukukan] https://www.facebook.com/notes/mozaik-indie-publisher/pengumuman-pemenang-mozaik-blog-competition-2014/385160738290679