Bismillahirrahmaanirrahiim, A simple fiction:
“ Ada masalah
apa lagi dengan mesin packagingnya?”tanya
Pak Hafidz sesaat setelah aku duduk di depannya.
“ Bukan mesin packagingnya yang bermasalah, Pak. Tapi
kaleng pengemasnya banyak yang defect “, jelasku langsung pada pokok
permasalahannya.
“ Kaleng
pengemasnya defect?! “ ekspresi wajah Pak Hafidz langsung berubah penuh emosi, juga intonasi kalimatnya.
“ Hampir
sepertiga dari stock kaleng pengemas harus return..”
“ Jadwalkan
besok lembur untuk bagian pengemasan dan labelling
!”
Sebaris kalimat
perintah bagai sabda pandita ratu yang tak mungkin untuk didebat atau pun
diabaikan. Aku melangkah meninggalkan ruangan plant manager dengan kecamuk galau menggelombang. Ku katupkan gigi
geraham untuk meredakan gemuruh emosi yang memenuhi rongga dada.
“ Sepertinya
kamu serius dengan hobi fotografi, Ren ?” sambut Novita begitu aku
menghempaskan tubuh di kursi. Dia demikian asyik mencoba-coba camera DSLR yang
tergeletak di mejaku.
Aku tak
menanggapinya, memilih mencoret-coret block
note untuk menumpahkan kekesalanku. Sejak kecil, aku
sudah menyukai gambar danfoto-foto hasil jepretan kamera. Dan hasrat untuk
menekuni dunia fotografi pun harus aku rapikan dalam hati karena
realistisnyaadalah aku butuh pekerjaan dengan penghasilan yang jelas untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan membantu ekonomi keluargaku.
Setelah
situasi finansial semakin membaik, aku mulai menyalurkan rasa penasaranku
terhadap fotografi tersebut di sela-sela rutinitas pekerjaan. Tepatnya ketika
aku bertemu dengan Mas Firman tahun lalu.Akhir pekan ini aku sudah fix untuk
memburu obyek gambar yang kuimpikan sejak lama
yaituMerapi dan sekitarnya. Dan sekarang acara yang sudah tersusun matang
tersebut terancam berantakan dengan sempurna.
“ Hei, what’s up ...?” Novita menjentikkan
jarinya di depanku.
“ Stress nih,
gara-gara kaleng penyok itu....” gerutuku.
“ Harus masuk
lembur ya?”
“ Kurang sedikit
target produksi bisa tercapai untuk bulan ini, lha kok stock kaleng banyak yang
penyok. “
“ Terus gimana
acaramu ke Jogya – Magelang, cancel
dong?”
“ Beginilah
resikonya jika bekerja kejar setoran. Andai aku sudah bisa jadi fotografer
profesional tentu tidak perlu berada dalam situasi pekerjaan yang dilematis
begini.”
“ Seandainya aku
bisa menggantikanmu. Sayangnya backgroundku
accounting dan gak ngerti sama sekali tentang proses produksi “ hibur Novita
dengan serius.
“ Fotografi
bukan hanya hobi tapi impianku sudah sejak lama “ gumamku memendam galau.
Seandainya
aku tidak bertemu dengan Mas Firman, mungkin aku tidak ingat lagi jika pernah
punya mimpi untuk menjadi fotografer.
“
Aku Firman, teman kakakmu, Amran. Kamu Renata kan?” Aku dibuat bengong oleh
penjelasan laki-laki berambut gondrong yang menemuiku di lobi hotel saat aku
berada di Bandung setahun lalu.
“
Sudah lupa? Aku dulu sering menginap di rumahmu, ingat gak?”
Firman?
Aku mencoba mengingat nama itu. Akhirnya aku ingat tentang sosok cowok yang
dulu sering menginap di rumah. Satu-satunya teman SMA Mas Amran yang sering
datang ke rumah. Aku tak akan mengenali jika dia tidak memperkenalkan dirinya.
Dia sangat berubah, penampilannya terlihat lebih casual dan nyentrik dengan
model rambut gondrongnya.
Aku
mengembangkan senyum dan menyambut uluran tangan Mas Firman, “ Ya aku Renata.
Kok Mas Firman bisa menemukanku di sini?”
“
Amran menelpon, dia minta aku menjagamu selama di Bandung..” ceritanya sambil
tertawa. “ Pantas Amran sangat mencemaskanmu, lha kamu cantik begini
sekarang..”
“
Ya gak segitunya Mas, aku hanya nanya Mas Amran apa ada temannya di Bandung.
Kan lumayan bisa jadi guide gratis tho?”
“
Dengan senang hati, selama seminggu aku akan jadi guide terbaikmu di Bandung
ini “
Dan
saat itulah aku mulai mengenal fotografi secara serius, nekad membeli camera
DSLR dan diajari memotret tidak hanya sebatas dengan menggunakan mode Auto. Mas
Firman yang mengenalkanku dengan fotografi, mengajariku dengan sabar dan
telaten. “Dalam seni fotografi,
sebetulnya tak ada batasan ruang bagi estetika. Karena estetika lebih bersifat
personal,artinya setiap individu memiliki perspektif yang berbeda-beda," tuturnya
meyakinkaku kala itu. “ Fotografi bisa flexible, untuk menekuninya kamu
tidak perlu mengorbankan pekerjaanmu yang sudah ada sekarang. Kecuali jika kamu
memang sudah siap dan mampu jadi fotografer profesional, memang fokus utama
harus fotografi sebagai profesimu”
Sejak itu aku
jadi kecanduan dengan fotografi. Setiap hari camera DSLR selalu bersamaku
kemana pun aku pergi. Berbagai momendan pemandangan yang aku jumpai, yang
penting waktunya tepat dan suasananya mendukung, aku jepret. Jadi hasilnya bisa
lebih natural.
Kalau hari
libur, aku jadi lebih suka berburu pemandangan-pemandangan yang bisa jadi obyek
jepretan cameraku. Kalau cameraku eror, jika aku menghadapi kesulitan
menghasilkan gambar yang bagus, maka Mas Firman yang langsung aku hubungi. Dan
bahkan jika tak ada masalah pun, Mas Firman juga yang aku hubungi untuk sekedar
ngobrol-ngobrol santai. Perlahan ada ketertarikan lain yang turut hadir dalam
hubungan kami, tepatnya di perasaanku. Sosok Mas Firman lebih sering
menyinggahi benakku, ketimbang Mas Permana, lelaki yang sudah meminangku
beberapa bulan sebelum aku bertemu dengan Mas Firman di Bandung.Dengan alasan
yang mengada-ada, aku pun masih saja berdalih untuk menunda ajakannya menikah.
Dan betapa luar
biasanya pengertian Mas Permana saat aku mengatakan padanya hendakhunting obyek pemotretan ke
Merapi.Padahal ada tujuan tersembunyi yang menggodaku untuk berpetualang ke
gunung yang belum lama ini meredakan letusannya. Alasan yang tersembunyi itu
adalah agar bisa menikmati kebersamaan dengan Mas Firman. Rencananya memang
berangkat bersama komunitas fotografi, dan aku yang memunculkan ide tersebut.
Dan alangkah menggembirakannya sekali lagi Mas Firman bisa dengan
mudahmenyediakan waktunya untuk menemaniku ke Merapi. Sekarang justru aku yang
terjebak dengan jadwal pekerjaan yang tidak terduga.Argghhhh..
“ Halloo,”
sapaku dengan suara agak parau.
“ Renata?” aku
berusaha mengenali suara yang menyahut dari ponselku, suara yang tidak asing “
Mas Firman?”
“ Baru bangun
tidur ?” tanyanya dengan suara riangmembuat rasa kantukku hilang. Sepulang dari
pabrik tadi aku memang ketiduran karena rasa capek yang luar biasa.
“ Mas Firman
sudah sampai mana neh?”
“ Tebak saja aku
sampai mana sekarang?” tanyanya menggoda.
“ Aku hanya
butuh waku satu jam lho untuk sampai tempat kostmu, Ren .”
“ Aku di
Surabaya sekarang ! Takdir memang lebih suka jika kita tetap ketemu kan?
Tiba-tiba aku mendapatkan job untuk membuat dokumentasi di Surabaya lho “.
Hatiku girang
bukan kepalang mendengar berita dari Firman, betapasepotong pemberitahuan itu
mengalirkan rasa bahagia yang berdenyar-denyar di setiap sel sarafku karena
sebenarnya inilah yang aku harapkan.
Tapi aku juga tahu rasa bahagia ini akan
bisa melukai orang lain yaitu Mas Permana.
“ Ya sudah,
sejam lagi aku sampai di situ ya..”
Aku terpaku, tak
beranjak dari tempat dudukku. Tadi siang aku menolak secara halus saat Mas
Permana mengajak dinner, tapi sekarang aku berdebar-debar senang menunggu Mas
Firman yang akan datang.
|
|
Sebulan lalu aku
mengusulkan acara ke Merapi agar aku punya alasan untuk bertemu Mas Firman dan
kini kebertemuanku dengan Mas Firman menyata meskipun aku terkendala oleh
lembur kerja yang tak terduga. Aku menghela nafas dalam-dalam, berusaha
menenangkan hatiku yang mulai dihinggapi resah. Pikiranku mencoba merunut
peristiwa-peristiwa kualami setahun terakhir ini. Mulai dari awal pertemuanku
dengan Mas Firman yang berawal bukan karena kebetulan, tapi kini menjadikanku
berada di persimpangan hati. Aku yang yang awalnya ingin memperdalam ilmu
fotografi dari Mas Firman, justru terbawa arus ketertarikan candu asmara yang
perlahan menetas di permukaan hatiku. Benih asmara yang menetas di waktu tidak
tepat karena aku sudah berkomitmen dengan kekasihku. Dan bagaimana aku
mengatasi perasaanku yang semakin menguat mengarah pada Mas Firman?
“
Coba lihat ini, Ren “ sesaat aku tersentak oleh seruan Mas Firman menyodorkan
cameranya padaku. Kuterima kamera itu, dilayarnya terpampang sebuah hasil
jepretan yang sangat cantik. Jepretan lampu yang ada di seberang jalan yang
berwarna kuning kemerahan, dengan degradasi bias warnanya yang menyerupai
bintang.
“ Karena aku tak
bisa memetik bintang di langit, makaaku jadikan lampu itu sebagai obyek bintang
untukmu !”
“ Tapi sayangnya
Renata sudah memiliki bintang di hatinya..”
Serentak aku
menoleh ke arah datangnya suara. Mas Permana sudah berdiri tak jauh dari
keberadaanku dan Mas Firman di teras rumah.
“ Tentunya Anda
sudah tahu jika Renata sudah berrtunangan kan?” lanjut Mas Permana tanpa
memberiku kesempatan untuk berbasa-basi menyambutnya.
“ Iya, saya tahu
Renata sudah punya kekasih. Tapi itu tak menghalangi saya untuk mencintainya
kan ?”
“ Mas Firman
bicara apa ?” tak urung aku terkejut mendengar pengakuan Mas Firman yang
terang-terangan, apalagi di ucapkannya di depan Mas Permana !
“ Kalau begitu
biar Renata yang memutuskan siapa yang dia pilih untuk menjadi bintang di
hatinya !”
Aku gemetar. Tak
tahu lagi apa yang berkecamuk di hatiku demi melihat kenyataan bahwa Mas Firman
pun ternyata mencintaiku sama seperti Mas Permana.
“ Meski aku
mencintainya, semuanya tergantung pada Renata. Aku akan meninggalkannya jika dia memintaku untuk pergi, “ ucap Mas
Firman dengan lugas.
Dua orang lelaki
yang sama-sama mencintaiku duduk di depanku menunggu sebaris kalimat penentuan
terucap dari katup bibirku. Dan konyolnya aku, kedua lelaki itu sama-sama
berarti bagiku. Kupandangi silih berganti Mas Permana dan Mas Firman, berharap
menemukan satu alasan yang tertepat dari diri mereka agar aku bisa melafalkan
satu nama pilihan.
Dalam suasana
serba kaku dan canggung, udara seolah enggan bergerak sehingga terasa gerah dan
menyiksaku dalam suasana yang menikam.
Menjelang jam dua belas malam,
mereka meninggalkanku sendirian dalam kegundahan yang kusut.
“Aku akan tetap
tersenyum jika melihatmu bersamanya, meski ada tangis dalam hatiku. Jika tak
bisa menjadi bintang buatmu, setidaknya ada frgamen kecil tentangku yang kamu
ingat..” demikian ucap Mas Firman sesaat sebelum menjabat tanganku untuk
pamitan.
Butiran air mata
mengalir perlahan, setiap butirannya mengungkapkan laksa perasaanku yang
tercerabut dalam kebimbangan.
“ Aku hanya ingin menjadi lelaki yang bisa membuatmu mengatakan : Aku ada karena kamu ada. Hanya itu, Ren “ ucap Mas Permana sambil menatap penuh kelembutan pada bola mataku. Dan betapa rasa menghunjam ke relung terdalam hatiku telah mengelukan lidahku. Sesederhana itu, dan harusnya dengan mudah aku bisa menganggukkan kepala dengan seyakin-yakinnya.
Iya, seharusnya tidak sulit untuk mengatakan kembali kalimat yang pernah aku bilang pada Mas Permana: Aku ada karena kamu ada. Tapi............
Noted: Hasil belajar nulis
Fiksi, eee tulisan sudah lama sih. Any Suggestion? Agar bisa nulis fiksi lebih
baik lagi? *nyontek ending-nya Tokyo Love Story*
♠♠♠ Facebook | Twitter | Instagram | Linkedin ♠♠♠
Semoga bisa mengikuti jejak sukses beliau dalam dimoment dengan produk-produknya yang super, antara lain #glucogen #propolis#coffeemoment #biocell #slimmer #teragen
Yg tertarik utk join atau pengen tahu lbh banyak apa dan kenapa join moment:
Pin : 53D925F1
WA : 08123155089
Email :ririekinanthi8p@gmail.com