Sejenak kutata debaran jantungku agar iramanya teratur sebelum kulangkahkan kaki memasuki café. Setelah tiga tahun, Bismillahirrahmanirrahiim ku jejakkan kembali kaki memasuki Cafe pojok di Jalan Dharma Husada ini. Jarum jam baru saja menunjuk ke angka tujuh, masih sangat sore untuk kota Surabaya. Dan sinilah kali pertama aku bertemu dengan sesosok gadis bertubuh mungil dengan potongan rambut cepak yang langsung membuatku mengalami sensasi perasaan yang indah, dimana intelekualitas tidak bisa berjalan normal dan untuk pertama kalinya aku yakin untuk menyebutnya...CINTA. Dia yang kuliah tak jauh dari lokasi café ini, sehingga meeting point kami dulu biasanya di sini. Dengan berada di café ini, semua kenangan pun bergelombang dan membawaku hanyut menikmati pusaran-pusaran kisah kasihku, minuman dan seporsi nasi goreng sea food masih tak tersentuh. Hipnotis memoar telah membuatku mengabaikan keriuhan suasana cafe dan alunan musik serta para pengunjungnya.
Serangkum senyum mengembang pada katup bibirku saat memandangi sebentuk cincin dihiasi sebutir permata biru dalam kotak beludru biru yang sengaja kupersiapkan khusus untuk moment malam ini.
“ Maaf…sudah membuatmu lama menunggu, Han” sapa seorang gadis dengan hijab biru berpola bunga-bunga, ramah dan menggetarkan. Pandanganku telah spontan merespon getar kehadirannya di pusat sensoris dan mengirim lewat girus singulata bersama talamus ke sistem limbik sehingga memunculkan kembali sensasi perasaan indah yang menjalari segenap sarafku. Aku tidak tiba-tiba saja memikirkannya, sebenarnya sejak lima tahun lalu, dia sudah menjadi pemicu senyawa Feromon di otakku. Tiara, tak banyak yang berubah pada penampilannya, selain sekarang mengenakan hijab dan sapuan make minimalis yang semakin memperkuat keanggunanya. Melihatnya malam ini, sisi laki-laki normalku mengakui pasti tidak sulit bagi kaum adam untuk jatuh hati pada Tiara. Berpikir demikian membuat dadaku terasa sesak dan kurasakan sebersit perih hinggap sesaat.
“ Tidak lama kok, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menemuiku di sini.”sambutku, mencoba meredakan kegugupan yang tiba-tiba membadai di dadaku
“ Iya, sangat mengejutkan tiba-tiba kamu mengajakku ketemu di sini “ sebaris senyum menawan merekah dari bibir mungil Tiara. “ Setelah keberangkatanmu ke Jepang, dan tak ada kabar sejak...?”
“ Please....?” pintaku dengan perasaan tercerabut.
“ Lantas, gerangan apa yang membuatmu ingin bertemu denganku.....lagi?” Tanya Tiara to the point, datar tapi menetralkan suasana yang mendadak serba canggung. “ Bukan apa-apa sih, ketiga adikku menunggu di rumah “.
“ Iya, aku tahu itu “ jawabku sambil mengaduk gelas capuccino dan mencari kalimat yang tepat untuk menyampaikan maksudku menemui Tiara. “ Hemm....Aku tahu ini.....”
Kalimatku terputus oleh dering HPnya Tiara, “ Ups, sorry...aku terima telpon dulu sebentar” dan selembar kertas ukuran post card terambil keluar dari dalam tas Tiara, melayang jatuh ke lantai.
“..... ini rumah kita.. sengaja kukirimkan sketsa rumah ini. Aku membangunnya untukmu, untuk kita dan keluarga kita….” saat aku mengambil selembar foto itu dari lantai, langsung terbaca olehku sebait kalimat singkat dengan nada melankoli melambungkan yang tak kalah dengan surat cinta pujangga. “....jika aku beruntung memasuki surgaNYA, aku tidak butuh 7 bidadari, cukup seorang Mutiara bersamaku bertasbih cinta ~ Arsa”
Tulisan tangan serapi itu, aku pernah beberapa kali melihatnya dan nama Arsa, tak mungkin salah lagi post card special itu tentu dari General Manager di tempat kerjaku. Dan dia satu-satunya yang suka memanggilku dengan sebutan Kapten Bhirawa karena menurutnya perawakanku tipically sosok seorang perwira dan Pak Arsa juga bilang jika caraku mengambil keputusan selalu tegas layaknya seorang kapten. Maka tanpa melihat sketsa rumah di balik tulisan tangan itu pun aku sudah tahu seperti apa rancangannya, karena akulah yang dimintai tolong untuk mendesain. Sebuah rumah dengan halaman yang luas dipenuhi aneka tanaman bunga, asri. Dominasi kayu elegan. Ada sebuah gazhebo di salah satu sudutnya dan ayunan, serta sebuah kolam renang. Aku sungguh masih hafal detail konstruksi dan desain interiornya.
“ Rumah untuk keluarga saya, nanti...” ujar Pak Arsa, 3 bulan lalu, “ Saya tidak pernah bisa merasakan perasaan yang setara terhadap orang lain, perasaan ingin berbicara berlama-lama. Merasakan tatap matanya, mendengar suaranya, melindunginya. Meski saya mengenalnya belum genap tujuh purnama....tapi saya yakin dia sebagian tulang rusuk saya” lanjutnya dengan lugas dan penuh keyakinan yang membuatku terkesima, sekaligus tersindir. Tapi tak pernah terbersit jika Mutiara yang disebutnya kala itu adalah Mutiara Cintaku
Berkali-kali aku memejamkan mata, berusaha menahan gelora kesedihan, lalu menghirup dan mengeluarkan napas berulang-ulang. Berhasil tetapi gagal lagi. Selapis bening mengabut di kedua kelopak mataku. “ Arsa-lah yang lebih layak dipanggil Kapten Bhirawa, bukan aku...laki-laki pengecut yang meninggalkan cintaku hanya karena ragu-ragu akankah sanggup menjadi Qawwam sekaligus untuk ketiga adik Mutiara yang telah yatim piatu”. batinku penuh rasa nyeri.
" Namanya Arsa, dia teman saudara sepupuku...." jelas Tiara tanpa kuminta, usai menutup HPnya. " Bulan depan kami menikah, mohon doanya ya..Han “ nada sumringah, wajah berseri-seri, membiaskan aura kebahagiaan di hati Mutiara.
Dan betapa rasa menghunjam ke relung terdalam hatiku telah mengelukan lidahku untuk mengatakan: Aku hanya ingin menjadi lelaki yang bisa membuatmu mengatakan : Aku ada karena kamu ada. Sebaris kalimat yang mestinya sudah kusampaikan 3 tahun lalu saat Mutiara menanyakan kejelasan hubungan kami, sebelum aku menerima tawaran kerja di Jepang. Tapi Tiara sudah pamit 2 jam lalu....dan aku masih tak beranjak dari tempat duduk, sekarang dan entah sampai kapan menggengam Cincin bermata Mutiara dengan hati terserpih. Aku terpaku....Aku masih memimpikanmu lebih dari apapun, perasaan...memilikimu.
Serangkum senyum mengembang pada katup bibirku saat memandangi sebentuk cincin dihiasi sebutir permata biru dalam kotak beludru biru yang sengaja kupersiapkan khusus untuk moment malam ini.
“ Maaf…sudah membuatmu lama menunggu, Han” sapa seorang gadis dengan hijab biru berpola bunga-bunga, ramah dan menggetarkan. Pandanganku telah spontan merespon getar kehadirannya di pusat sensoris dan mengirim lewat girus singulata bersama talamus ke sistem limbik sehingga memunculkan kembali sensasi perasaan indah yang menjalari segenap sarafku. Aku tidak tiba-tiba saja memikirkannya, sebenarnya sejak lima tahun lalu, dia sudah menjadi pemicu senyawa Feromon di otakku. Tiara, tak banyak yang berubah pada penampilannya, selain sekarang mengenakan hijab dan sapuan make minimalis yang semakin memperkuat keanggunanya. Melihatnya malam ini, sisi laki-laki normalku mengakui pasti tidak sulit bagi kaum adam untuk jatuh hati pada Tiara. Berpikir demikian membuat dadaku terasa sesak dan kurasakan sebersit perih hinggap sesaat.
“ Tidak lama kok, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menemuiku di sini.”sambutku, mencoba meredakan kegugupan yang tiba-tiba membadai di dadaku
“ Iya, sangat mengejutkan tiba-tiba kamu mengajakku ketemu di sini “ sebaris senyum menawan merekah dari bibir mungil Tiara. “ Setelah keberangkatanmu ke Jepang, dan tak ada kabar sejak...?”
“ Please....?” pintaku dengan perasaan tercerabut.
“ Lantas, gerangan apa yang membuatmu ingin bertemu denganku.....lagi?” Tanya Tiara to the point, datar tapi menetralkan suasana yang mendadak serba canggung. “ Bukan apa-apa sih, ketiga adikku menunggu di rumah “.
“ Iya, aku tahu itu “ jawabku sambil mengaduk gelas capuccino dan mencari kalimat yang tepat untuk menyampaikan maksudku menemui Tiara. “ Hemm....Aku tahu ini.....”
Kalimatku terputus oleh dering HPnya Tiara, “ Ups, sorry...aku terima telpon dulu sebentar” dan selembar kertas ukuran post card terambil keluar dari dalam tas Tiara, melayang jatuh ke lantai.
“..... ini rumah kita.. sengaja kukirimkan sketsa rumah ini. Aku membangunnya untukmu, untuk kita dan keluarga kita….” saat aku mengambil selembar foto itu dari lantai, langsung terbaca olehku sebait kalimat singkat dengan nada melankoli melambungkan yang tak kalah dengan surat cinta pujangga. “....jika aku beruntung memasuki surgaNYA, aku tidak butuh 7 bidadari, cukup seorang Mutiara bersamaku bertasbih cinta ~ Arsa”
Tulisan tangan serapi itu, aku pernah beberapa kali melihatnya dan nama Arsa, tak mungkin salah lagi post card special itu tentu dari General Manager di tempat kerjaku. Dan dia satu-satunya yang suka memanggilku dengan sebutan Kapten Bhirawa karena menurutnya perawakanku tipically sosok seorang perwira dan Pak Arsa juga bilang jika caraku mengambil keputusan selalu tegas layaknya seorang kapten. Maka tanpa melihat sketsa rumah di balik tulisan tangan itu pun aku sudah tahu seperti apa rancangannya, karena akulah yang dimintai tolong untuk mendesain. Sebuah rumah dengan halaman yang luas dipenuhi aneka tanaman bunga, asri. Dominasi kayu elegan. Ada sebuah gazhebo di salah satu sudutnya dan ayunan, serta sebuah kolam renang. Aku sungguh masih hafal detail konstruksi dan desain interiornya.
“ Rumah untuk keluarga saya, nanti...” ujar Pak Arsa, 3 bulan lalu, “ Saya tidak pernah bisa merasakan perasaan yang setara terhadap orang lain, perasaan ingin berbicara berlama-lama. Merasakan tatap matanya, mendengar suaranya, melindunginya. Meski saya mengenalnya belum genap tujuh purnama....tapi saya yakin dia sebagian tulang rusuk saya” lanjutnya dengan lugas dan penuh keyakinan yang membuatku terkesima, sekaligus tersindir. Tapi tak pernah terbersit jika Mutiara yang disebutnya kala itu adalah Mutiara Cintaku
Berkali-kali aku memejamkan mata, berusaha menahan gelora kesedihan, lalu menghirup dan mengeluarkan napas berulang-ulang. Berhasil tetapi gagal lagi. Selapis bening mengabut di kedua kelopak mataku. “ Arsa-lah yang lebih layak dipanggil Kapten Bhirawa, bukan aku...laki-laki pengecut yang meninggalkan cintaku hanya karena ragu-ragu akankah sanggup menjadi Qawwam sekaligus untuk ketiga adik Mutiara yang telah yatim piatu”. batinku penuh rasa nyeri.
" Namanya Arsa, dia teman saudara sepupuku...." jelas Tiara tanpa kuminta, usai menutup HPnya. " Bulan depan kami menikah, mohon doanya ya..Han “ nada sumringah, wajah berseri-seri, membiaskan aura kebahagiaan di hati Mutiara.
Dan betapa rasa menghunjam ke relung terdalam hatiku telah mengelukan lidahku untuk mengatakan: Aku hanya ingin menjadi lelaki yang bisa membuatmu mengatakan : Aku ada karena kamu ada. Sebaris kalimat yang mestinya sudah kusampaikan 3 tahun lalu saat Mutiara menanyakan kejelasan hubungan kami, sebelum aku menerima tawaran kerja di Jepang. Tapi Tiara sudah pamit 2 jam lalu....dan aku masih tak beranjak dari tempat duduk, sekarang dan entah sampai kapan menggengam Cincin bermata Mutiara dengan hati terserpih. Aku terpaku....Aku masih memimpikanmu lebih dari apapun, perasaan...memilikimu.