Stress? Siapa yang tak kenal dengan satu kata magic tersebut? Bahkan sangat mungkin kita sering melafalkan kata tersebut untuk hal-hal yang sebenarnya belum complicated. Stress, sudah termasuk kata yang latah kita ucapkan mana kala kita berada pada zona uncomfort. Meski sangat mungkin tak ada yang suka dengan stress, namun tetap gak bisa dipungkiri jika tidak ada orang yang benar-benar sanggup mencoret dengan tuntas si stress dalam hidupnya. Stress tak kenal kasta, status social, gender, usia, etc. Setiap orang tentu pernah (sering?) mengalami kondisi pikiran yang serawut, kalut, kacau, hectic yang bisa di wakilkan dengan sebutan keren nan elegan STRESS.
Maka bersimbiosis secara mutualisme dengan stress bukan berarti dengan sengaja mencari-cari masalah, juga bukan bentuk persetujuan terhadap aneka ekspresi sikap emosional, amarah, putus asa, depresi, etc. Bersimbiosis dengan stress di sini adalah berusaha untuk cooperative pada keadaan (sulit) yang memang tidak bisa kita hindari, karena mengutuk dan memusuhinya justru akan menguras lebih banyak energy dan wasting more time.
Mengkompilasi dari beberapa sumber, minimal bisa jadi wacana diri saya sendiri biar tidak antipati dan atau alergi dengan kondisi hectic atau stress. Jadi mohon maaf jika uraiannya juga agak ada nada-nadanya orang stress karena semata berusaha memahami psikologis stress...hayyyahhh ngomong apaan ya ini?.
*********
“Sudah yakin gak ada yang mau kamu tanyakan lagi?” tanyaku pada suatu kesempatan ada mahasiswa yang praktek/penelitian.
“Sepertinya untuk saat ini sudah cukup dulu..Mbak” beginilah untungnya punya wajah yang gak boros, tak hanya mahasiswa, murid SMK pun lebih suka memanggil dengan sebutan Mbak #PeDe Over Dosis
“ Yakin neh?”
“ Ya iya dunk…”
“ Metode, bahan, komposisi...jelas semuanya? what, why, how......”
“ Boleh deh di pre-test…hehehe…”
“ Yakin?”
“ Wah, ganti kata yang lain dong…suka banget pakai kata ‘yakin’ gitu..”
“ Iya, harus suka dengan kata ‘yakin’ kan itu ekspresi dari percaya diri ?” begitulah obrolan akrab saya suatu hari salah satu mahasiswa yang melakukan praktek penelitian untuk skripsinya. “ hanya 1 pertanyaan : kenapa untuk membuat larutan histamin 1000 ppm membutuhkan 169,1 mg Histamine dihydrochlorid menjadi 100 ml?”.
“ Hah? Maksudnya piye kuwi Mbak?” ekspresi bingung langsung membias di wajahnya.
“ Larutan 1000 ppm itu gimana cara membuatnya…?”
“ Ya 0,1 gram di larutan menjadi volume 100 ml, salah satu caranya.”
“ Tapi 1000 ppm larutan histamine membutuhkan 169,1 mg dalam 100 ml? So, let me know the calculation is?”
“ Waduuh, mumet Mbak. Stress….”
Gubrakkkk
**********
Sekedar dialog untuk intermezzo jika ada kemiripan nama, tokoh, tempat, ini semata-mata fiksi..wkwkwkk yang sudah mengalami beberapa penyesuaian sesuai EYD. At least,sebuah ilustrasi sederhana betapa stress tanpa kita sadari sudah sedemikian akrab untuk kita ucapkan.
Hidup memang tempatnya masalah sehingga tak ada yang benar-benar bisa bebas dari stress.
Jadi berani hidup berarti berani bersimbiosis dengan stress! Pertanyaannya, bersimbiosis yang seperti apa? Parasitisme ~ menempatkan stress sebagai benalu/penyakit. Komensalisme ~ stress tak berpengaruh apa-apa, ada stress atau tidak nothing different. Ataukah mutualisme ~ stress sebagai keadaan yang justru membawa manfaat?
HIdup secara alamiah adalah penuh masalah karena mata rantainya berisi tentang penyelesaian masalah demi masalah. Tidak ada masalah bukan hidup namanya. Sehingga kita tidak bisa benar-benar terhindar dari stress. Mengutip definisi dari buku Definition and conceptualization of stress in organizations : Stress ~ suatu kondisi dinamis saat seseorang dihadapkan pada peluang, tuntutan, dan hal yang amat penting namun orang tersebut dihadapkan pada ketidakpastian hasil yang diharapkan. Maka tersebutlah dua penggolongan stress, yaitu Stress tantangan: adalah kondisi yang melekat pada setiap target (pekerjaan) yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, misalnya menyelesaikan Skripsi dimana stress adalah hasil penelitian yang reliable dan responsible dalam interval waktu yang sudah di tentutkan (kecuali sudah berniat ingin jadi mahasiswa abadi sih). Dan Stress hambatan: adalah situasi yang tidak ada hubungan langsung dengan target yang hendak di raih, misalnya listrik mati, printer rusak, motor mogok.
Stress ~ secara grammatical ‘tekanan’ maka bisa di diferensiasikan maknanya untuk stress tantangan sebagai fakta yang akan memberikan kontribusi yang bisa membuat jadi lebih produktif ‘the power of kepepet’ sehingga akan menciptakan suasana yang lebih dinamis, continues improvement atau penghargaan pada waktu. Jadi dengan definisi yang sederhana, ‘menjaga’ diri agar tidak mengalami stress (stay in comfort zone all the time) maka dengan senaja memilih nuansa hidup yang platonic ~ statis. For long term, jangan heran jika existensi diri perlahan akan menghilang dari permukaan dan garis edar aktualitas.
Lari/menghindari masalah besar dengan dalih biar gak stress merupakan paradigma lama yang sudah expired. Perubahan era global hitungannya sudah pada jelajah per detik, kompetisi muncul di setiap aspek, dan semua itu adalah variable uncertainty yang harus siap kita hadapi.
Jadi buat yang bercita-cita hidup damai sentosa tanpa stress, selamat menikmati kehidupan yang aman dari masalah, termasuk menjadi bagian orang (selfish) yang tidak ingin perduli dengan sekitar. Dan jika ada yang tidak pernah mengalami atau merasa stress, maka congratulation karena ‘aman’ dari masalah, tapi sekaligus harap jangan menuntut yang lebih jika kehidupan berjalan dan berlalu statis bagai garis lurus.
Maka bersimbiosis secara mutualisme dengan stress bukan berarti dengan sengaja mencari-cari masalah, juga bukan bentuk persetujuan terhadap aneka ekspresi sikap emosional, amarah, putus asa, depresi, etc. Bersimbiosis dengan stress di sini adalah berusaha untuk cooperative pada keadaan (sulit) yang memang tidak bisa kita hindari, karena mengutuk dan memusuhinya justru akan menguras lebih banyak energy dan wasting more time.
Dan hasil sebuah riset menunjukkan bahwa orang yang mengalami variasi emosional dalam kesehariannya justru memiliki jantung yang lebih kuat/sehat. Faktanya saat mengalami berbagai polemic emosi seperti tegang, tertawa, sedih, takut, marah, frustasi, relaks, cemas atau optimis, jantungnya akan mengalami detak yang lebih variatif “ jantung seperti berolahraga”. Jadi orang yang menghadapi dengan beragam kondisi emosi AKAN memiliki “variabilitas detak jantung” yang membuat terlatih dan sehat. Sehingga jangan kaget kalau orang yang mengalami daya tahan jantung lemah adalah yang tinggal menyendiri dengan tentram, jarang menghadapi masalah pelik, berada dalam kemapanan yang nyaris tanpa gejolak tantangan.
*******
“ Terus gimana Mbak ?”
“ Apanya ?”
“ Itungane kui lo…”
“ Lha yang tanya tadi bukannya diriku? “
“ Hehehee…..ya iya Mbak.”
“ Nah silahkan di cari jawabannya ya…? Itu kan tujuannya kamu melakukan penelitian skripsi?.”
“ Ini juga usaha mencari tahu lo….”
" Apa perlu aku tambah pertanyaan biar lebih expand analisisnya..?"
“ Wah..…aku bisa tambah stress, Mbak !”
Glodagggg..
************
“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.
Apabila dia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah"
~ Al-Ma’arij: 19-20 ~