Different pond different fish, lain ladang lain pula tanamannya dan sederet peribahasa lainnya yang menkiaskan tentang indahnya perbedaan tradisi dan kebiasaan yang serba unik dan sama-sama bertujuan untuk menyambut hadirnya Bulan Ramadhan dengan penuh semangat dan keceriaan.
Begitu pula Bismillahirrahmaanirrahiim di kampung halaman saya nun jauh di Lamongan sana, di desa yang bernama Tlanak, juga terdapat tradisi yang masih terjaga sampai sekarang yaitu Megengan dan Maleman. Sebenarnya 2 tradisi untuk menyambut datangnya Bulan Ramadhan tersebut tak hanya eksis di desa saya, tapi juga jamak dilakukan di sebagian besar wilayah Jawa Timur.
Kok tetiba nulis tentang tradisi puasa? Berasa ikutan iklan yang lagi neghits di televisi nasional saat ini. Tapi tulisan ini dalam rangka tawaran ehh…tantangan tema LBI untuk pekan yang ke-21. Ciyeeee…dahsyatnya, LBI 2017 sudah berlangsung hampir 6 bulan ya. Meski agak terseok-seok karena drama diklat 5 bulan plus konsekuensi adanya ujian kompetensi pasca diklat, sebisa mungkin tetap berusaha hadir setor postingan di setiap pekannya . Walau, walau, walau pasif blogwalking dan 2 kali absen ngeposting tema (setelah bertahan agar bisa tutup setor 2 postingan di setiap pekannya, akhirnya keputusan untuk absen pun tak terelakkan).
Lha ini mau nulis tentang tradisi puasa atau mau curcol ya? Maapkeun, postingannya terkontaminasi dengan curhatan. Baiklah, saya akan kembali ke tema yaitu tentang tradisi puasa di desa saya, Megengan dan Maleman: Tradisi Puasa di Lamongan. Dilihat dari ritmenya bersifat setahun sekali, sama juga tradisi nyadran atau bersih desa yang biasanya digelar setahun sekali di desa saya.
Kok Lamongan sih? Kan sudah tinggal di Sleman? Ya bolehlah, kan saya juga lahir dan besar di LA, make sense jika saya nulis tentang tradisi puasa yang sudah saya kenal sejak lahir hingga dewasa ini. Seain itu, untuk Sleman sudah ada perwakilan dari perserta LBI yang aseli Sleman yang menceritakan tradisi puasa di Sleman juga kok. Makanya saya ngalah saja nulis tradisi Megengan dan Maleman di Lamongan, hehehe.....
Cerita tradisi puasa di LA tapi pakai image tradisi Gunungan dalam acara Nyadran jelang puasa di Sleman |
Antara megengan dan maleman, sebenarnya memiliki ritual yang serupa yaitu kondangan dan membawa pulang berkatan, hanya beda momentnya saja. Kalau megengan dilakukan sebagai ungkapan dan reminder akan datangnya Bulan Ramadhan dimana di dalamnya terdapat ibadah puasa selama sebulan penuh (selain ibadah wajib dan sunah lainnya). Sedangkan maleman dilaksanakan ketika bulan puasa sudah memasuki 10 hari terakhir, yaitu malam 21, 23, 25, 27 dan 29, selain sebagai perwujudan syukur memasuki malam 10 hari terakhir juga merupakan pengingat akan datangnya kesempatan Lailatul Qodar.
Megengan sebagai alarm, sesuai dengan arti asalnya: megeng atau ngempet, yakni menahan (diri) sebagai penanda bahwa sebentar lagi akan puasa selama sebulan penuh. Adapun pelaksanaan megengan ini biasanya pada minggu terakhir Bulan Sya’ban, dilakukan dengan cara kondangan di setiap rumah dengan mengundang tetangga. Demi ketertiban dan keguyuban, jumlah tetangga yang di undang biasanya sudah dibagi-bagi per kelompok, berjumlah antara 10 -15 rumah tangga. Jadi masing-masing rumah akan menggelar acara kondangan dengan menyediakan berkatan (nasi lengkap dengan lauk pauknya). Dalam prosesi kondangan megengan ini dipanjatan doa untuk para leluhur yang sudah meninggal, ya semacam mengirimkan doa untuk para ahli kubur (sanak saudara yang sudah meninggal).1 porsi spektakuler berkatan (kondangan) |
Begitu pula dengan maleman, hanya kalau maleman kuota berkatannya lebih sedikit karena yang menggelar kondangan dilakukan secara bergantian. Semisal grup kondangan ada 15 orang, maka di setiap malam ganjilnya akan ada 3 orang saja yang kondangan.
Dalam perkembangannya, tradisi megengan dan maleman ini mengalami penyesuaian demi meminimalkan kemubadziran. Seingat saya, sudah 15 tahun terakhir ini sistematika kondangannya di buat lebih efisien tanpa mengurang esensi dan tujuan pelaksanaan megengan dan maleman.
Model lainnya dari Gunungan di Sleman |
Dan kalau mau diubek-ubek lebih banyak, sebenarnya tradisi di bulan puasa yang masih akrab dilakukan di desa saya masih banyak. Sebut saja “klothekan” yaitu anak-anak dan remaja laki-laki keliling membawa kentongan atau benda-benda lainnya untuk membangunkan sahur dengan bunyi tetabuhannya yang unik-unik. Ada pula tradisi menyalakan obor-obor kecil (sebesar lilin) di malam 29 Ramadhan, pas bedhug magrib dikumadangkan. Minimal obor kecil yang dinayakan (seingat saya) berjumlah 9, sesuai malam ganjilnya malam 29 atau malam 9.
Sesi menyalakan obor-obor kecil ini merupakan moment yang palings aya sukai. Bahkan sehari sebelumnya kami dulu sudah heboh bikin obornya, bisa menggunakan batang lidi atau bambu yang di potong seukuran tusuk sate kemudian di bebat dengan kain. Sebelum dinyalakan obor-obor tersebut di celupkan dalam minyak tanah. Peletakan obor-obor tersebut biasanya di pintu-pintu rumah. Makin banyak obor yag dibuat otomatis makin banyak spot di rumah dan sekitarnya yang dikasih obor mini.menyala.
Kalau tradisi di kampung saya cuma karnaval biasa kak
ReplyDeleteIya sama di kampung suami saya ada megengan
ReplyDeleteWah... Aku malah baru tahu yang naman megengan dan maleman....
ReplyDeletebeginilah indonesia, negeri dengan banyak tradisi :)
ReplyDelete