Dilema Penggadaian Jiwa dan Jati Diri

Ketidaktenangan selalu menjadi atribut manusia. Tuhan maha Tahu kemana manusia bergerak. Menanam benih menuai hama. Menanam kebaikan dan berharap yang seharusnya baik juga sebagai hasil jerih payah dan ikhtiar namun malah di rajam kegagalan. Untuk bisa bertahan, hati memang harus menjadi batu. Tanah di pijak suatu ketika pasti akan di rampas. Hak di tegakkan, suatu saat akan di robohkan. Pasrah memang bukan jalan terbaik.

Memberontaklah demi uang ! Karena uang adalah jalan. Uang adalah ruh itu sendiri. Uang menjadi pegangan di mana keputusan akan terlahirkan. Buang jauh idealism yang mengantar pada kemiskinan. Ubahlah diri menjadi bunglon. Warnailah hati seperti sekeliling, maka jalan amanpun membentang lapang di hadapan. Dosa besar siap menanti. Derita dan pedih perih setia menghampiri. Apakah itu namanya hidup, yang menghargai tapi tidak selalu di hargai?

Kecerdikan memang kadang harus lahir dari kebohongan. Kesetiaan harus muncul dari pengkhianatan. Kehidupan akal harus lahir dari kematian berpikir. Sebuah proses yang tidak selamanya tidak bisa dimengerti akal sehat manusia. Waras ruh belum tentu waras yang terlahir buat kawan dan lawan.

Drama konyol kehidupan selalu menawarkan alternative-alternatif yang tidak selamanya bisa dinalar. Di panggung drama kehidupan ini selalu saja kita menjadi elemen yang tidak merdeka. Tidak independent, tetapi tidak selamanya harus interdependent. Hidup kita telah terkontaminasi, kadang menjadi diri kita sendiri, kadang harus menangisi jati diri. Drama, ya drama menuntut manusia laiknya bunglon. Muafik dalam rupa, namun juga kerap tidak mampu bertahan. Drama, kata Aristoteles, memang demikian adanya, proses imitasi. Sehingga selalu saja ada sosok-sosok panutan, sosok idola yang dinilai selalu benar dalam segala tindakan dan keputusan. Berpegang pada idola itu, niscaya kau akan menjadi mereka. Mengambil keputusan seperti mereka dan sama menyakitkan seperti mereka, berbicarapun laiknya mereka.

Kebenaran dan keadilan telah tergadaikan, karena memang kebenaran dan keadilan tdk ada tolok ukur universalnya. Mereka Cuma benda-benda abstrak, imaginary, yang lebih menunjuk pada persepspi, bukan evaluasi yang sebenarnya juga bisa di manipulasi. Betapa sulitnya memahami pola pikir manusia, betapa susahnya menarik simpati manusia. Karena pada hakekatnya manusia memang suka mengimitasi idola-idola. Lahir dari keremangan jiwa yang sudah lepas dari jati diri otentiknya. Maka, melihat yang lain pun bukan lagi dengan mata hati jernih, melainkan rasa dengki buat kepentingan diri sendiri.

Politikilah dirimu sendiri untuk mempolitisir yang lain. Bermainlah yang cemerlang agar bisa menang dalam kompetensi survival of fittest. Hidup hanya sekali, nista kalau jadi pecundang. Bagi setan tidak pernah ada nilainya, bebas nikmati kebebasan tanpa batas. Terbelenggu uangpun jangan mau mati bersama. Harus ada yang dibunuh. Yang membunuhlah yang menang, yang tak mau dibunuh harus dicarikan jalan ampuh agar tidak sekali-kali menjadi pemenang. Kalau sudah, mungkin akan terasalah mereka. Bahwa, hidup sebenarnya tiada makna tanpa pesaing. Kepuasan memusnahkan pesaing-apalagi yang dinilai mitra rendahan – untuk sementara memang bisa di persepsi sebagai kemenangan, upaya mempertahankan kemenangan. Padahal, sebenarnya ada lagi kehidupan di masa mendatang untuk rh yang diperjuangkan. Ruh semangat yang kendur akibat himpitan sesaat. Ruh yang tergencet dan membuat yang selama ini takut mati.

Ekonomi, sosial, politik dan proses melacurkan diri, semua sektor itu seolah sudah menjadi ruh dalam keadaan yang serba terhimpit. Mematikan rasa manusia, karea ruh penyelamatan hanya ada pada keyakinan absurd. Nilai-nilai dan penilaian cenderung tidak rasional, sehingga memaksa manusia malahirkan rasionalisasi yang di amanatkan para setan. Kemanusiaan bukan lagi membiarkan yang lain berkembang dan mengembangkan diri sesuai ciri kemanusiaanya sendiri. Manusia sudah bisa menilai manusia dengan patokan-patokan yang sebenarnya masih bisa di pertanyakan manusia lainnya.

Maka, tidak ada lagi yang bisa di percaya, karea kepercayaan sudah tidak mendapatkan tempat lagi sebagaimana layaknya. Krisispun tercipta. Soal warna kulit, kepandaian, kesenangan menilai, soal uang, jabatan, kecemburuan, imitasi dan soal membohongi diri lewat imitasi.

Di sini ada drama, di sini pula ada krisis tercipta.
Pembuat kebijakan di tengah krisis, masihkah ada jalan terbaik bagi kehidupan? Sebuah inovasi kreatif yang tetap menghargai manusia pada kodrat kehidupannya. Bukan mengintimidasi kedzaliman bahwa harus ada perenggutan kehidupan agar sisanya bisa bertahan hidup. Menggadaikan diri kepada manusia lebih baik di banding berserah diri pada setan.
Mana manusia, mana setan, itulah masalahnya......




Notes: Di rangkum dr berbagai sumber...

Ririe Khayan

Assalamulaikum. Hi I am Ririe Khayan a Lifestyle Blogger and live in Jogya. I’m the Author Of Kidung Kinanthi, a Personal Blog about my random thought, parenting, traveling, lifestyle, & other activity as well as Personal & Working Mom Story. Kindly feel free to contact me at: ririekhayan(at)gmail(dot)com

1 comment:

Leave a comment or just be silent reader, still thank you so much.
Terima kasih telah singgah di Kidung Kinanthi.
Mohon maaf, atas ketidaknyamanan MODERASI Komentar.

Maaf ya, komentar yang terindikasi SPAM atau mengandung link hidup tidak akan dipublikasikan.

So, be wise and stay friendly.