Untuk A SELF REFLECTION lomba tengok-tengok blog sendiri berhadiah Bismillahirrahmaanirrahiim saya mengambil postingan Tunggak Jarak Mrajak, Tunggak Jati mati. Butuh waktu +4 hari untuk bisa menyelesaikannya, itu pun menjelang penutupan GA.
Sesuai latar belakang tema GA jika bahasa daerah kita sungguh kaya, sekaya sumber alam kita, makanya saya sengaja pilih peribahasa tersebut yang sangat sering diucapkan Mbok’e (panggilan istimewa untuk Ibu kami) untuk menyemangati anak-anaknya agar optimis, bahwa dengan kemauan dan usaha yang sungguh – sungguh, sesulit apapun kondisi kita, memiliki kesempatan meraih sukses. “disik wong tuwone uripe susah, di enyek-enyek. Akhirnya anak-anake iso urip mulyo kabeh tho. Turunane wong mlarat iku ora selawase bakal urip susah, lan anak turune wong sugih ora selawase urip seneng terus = roda itu berputar, demikian versi bahasa saya.
Sesuai latar belakang tema GA jika bahasa daerah kita sungguh kaya, sekaya sumber alam kita, makanya saya sengaja pilih peribahasa tersebut yang sangat sering diucapkan Mbok’e (panggilan istimewa untuk Ibu kami) untuk menyemangati anak-anaknya agar optimis, bahwa dengan kemauan dan usaha yang sungguh – sungguh, sesulit apapun kondisi kita, memiliki kesempatan meraih sukses. “disik wong tuwone uripe susah, di enyek-enyek. Akhirnya anak-anake iso urip mulyo kabeh tho. Turunane wong mlarat iku ora selawase bakal urip susah, lan anak turune wong sugih ora selawase urip seneng terus = roda itu berputar, demikian versi bahasa saya.
Untuk memastikan maknanya, saya lihat di Buku Pinter Basa Jawa-nya Azka (hal. 113) “ Prakara ala ngambra-ambra, prakara becik kari sathithik”. Ehmm, bukti awal perbedaan definisi peribahasa dengan pemahaman saya.
Survey singkat pun saya lakukan, tanya Una dan Rivai “ Mbuh Mbak, ora ngerti….” *shock*. Ya iyalah, mereka mana ngeh Boso Jowo koyo ngono kui *salah obyek survey*
Tanya teman-teman di Jatim, rata-rata jawabannya memiliki kemiripan dengan makna yang saya pahami. “ Aku sampek nanyak Ibuk, Mbak. Kata Ibuk peribahasa tersebut artinya: wong mlarat iso sugih (makmur/sukses), sebalik’e wong kang sugih sing anak turune dadi susah (jatuh miskin)”, demikian cerita Dian yang Ibuknya termasuk orang Jawa yang masih ngugemi tata krama dan adat istiadat Jawa.
Saya tanya ke Bu Ida Nur Laila (asumsi saya beliau paham culture Jawa), ada dua versi yang dijabarkan oleh Ibu Ida: yang pertama semakna dengan konteks ‘roda itu berputar’. Makna lainnya “perkara yang kurang baik cepat menyebar dan hal baik mengalami marginalisasi” (ini versi simpulan saya). Last survey, teman kantor di Sleman yang saya panggil Kakak Tri (asal Bantul), ”nek gak salah artinya perkara jelek gampang menyebar dan kebaikan sukar sekali untuk diterima (menyebar). Tapi konteks makna yang kamu sampaikan juga bisa masuk dalam peribahasa tersebut“.
Finally: saya bulatkan tekad untuk maju terus dengan pilihan Tunggak Jarak Mrajak, Tunggak Jati mati karena terbukti memiliki KEKAYAAN MAKNA.
Jika kemudian saya pilih makna “wong mlarat iso sugih (makmur/sukses), anak turune wong sugih iso dadi susah (jatuh miskin)”, karena secara nyata peribahasa tersebut sudah menjadi semacam mantra sakti man jadda wa jadda bagi saya. Juga contoh nyata lainnya pencapaian dari salah satu teman sekolah saya, Suparto yang sukses menjadi wirausaha muda di bidang peternakan. Saya tahu banget seperti apa dan seberapa tingkat kesulitan yang dulu “melingkari” kehidupannya. Maka tentu butuh semangat, perjuangan, keyakinan Man Jadda wa Jadda yang luar biasa untuk mengatasi semua kondisi ‘tidak bersahabat’ yang dialaminya hingga kemudian bisa mewujudkan swasembada peternakan di desanya.
Dan terkait dengan respon terhadap peribahasa tersebut, ada yang inbox FB seperti saya capture di bawah ini (maaf, IDnya di-blur yaaa). Sehingga, sekali lagi saya dipertemukan bahwa satu peribahasa daerah (dalam hal ini Bahasa Jawa) sejatinya memiliki kekayaan makna dan keberagaman nilai filosofi yang membarakan asa dan rasa.
“ Behind the Scene: Tunggak Jarak Mrajak, Tunggak Jati mati ini diikut sertakan dalam lomba Tengok-Tengok blog sendiri berhadiah, yang diselenggarakan oleh blog The Ordinary Trainer”
Sangat bermanfaat sekali gan info dan artikelnya...
ReplyDeletepepatah leluhur dalam bahasa daerah memang sarat dengan makna....asyik juga bisa menyimak latar lahirnya artikel tersebut...
ReplyDeleteselamat berlomba ya...semoga menjadi salah satu yang terbaik...keep happy blogging always...salam dari makassar :-)
kalau di telaah arti dari tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati, mirip pantun dan menurut analisa awam sepet saya, pohon jarak kan bisa di jadikan bahan bakar alternatif, sementara pohon jati kalau di tebang ya wis, mati lah sudah...hlaaa ngarange kejagan deh:D
ReplyDeleteBaru tahu saya Mba Rie. Ini kayaknya tergantung di mana peribahasa tersebut dipergunakan ya Mba. Saya sih malah gak ngerti sama sekali. Huehehehe.
ReplyDeleteOiya. Semoga menang ya Mba giveawaynya. :)
DeleteAisyah ga paham bahasa jawa meski abi Aisyah orang Jawa (Cilacap), hhe.. ^__^
ReplyDeleteSukses giveawaynya kak..
bahasa jawa memang kaya makna, dan menurut surveinya bahasa jawa menjadi logat yang palingtepat jika dibahasakan dalam bahasa indonesia, jawa memang mantap
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSy senang belajar filosofi jawa, maknanya dalam. Sayangnya sy belum mengerti bahasa jawa yg halus hikz.. :(
ReplyDeletepernah denger peribahasa seperti itu
ReplyDeleteaku malah gek krungu sanepa iki! hehehe
ReplyDeleteSaya datang dan sudah membaca “Self Reflection” di blog ini
ReplyDeleteTerima kasih telah berkenan untuk ikut lomba saya ya
Semoga sukses
Salam saya
#41
kaya banget bahasa daerah kita, ya :)
ReplyDelete