Dimana-mana reuni itu ya ketemuan dengan teman-teman sekolah yang lama gak ketemu ya? Kayak teman SD, SMP, SMA atau teman kuliah yang setelah lulus jadi jarang ketemu. Tentu seru dan heboh kalau moment reuni getu, Bismillahirrahmaanirrahiim serasa waktu kembali berputar ke masa silam. Segala kebiasaan dan hal-hal yang pernah di alami saat kebersamaan jadi bahan cerita yang tak ada habisnya mengundang tawa, juga hal-hal baru yang di alami setelah masa keberpisahan. Yang sudah pernah ngalami reuni, pasti tahu gimana heboh super dupernya saat kembali menikmati kebersamaan dengan teman-teman lama dan seandainya bisa rikues agar waktu dihentikan sehari = setahun untuk menikmati gathering reuni, tentu akan sangat luar biasa. Tappiii…ya mana mungkin ya waktu bisa dihentikan serupa kisah 7 Pemuda dalam kisah Ashabul Kahfi yang mengalami hibernasi sehingga usianya dorman selama +309 tahun.
Sekip soal hibernasi, wong saya kan lagi pengen curhat Reunian sama mesin ketik yang sudah sekian tahun berpisah dari keseharian saya. Setelah komputer menjadi alat utama administrasi kerja, maka secara otomatis penggunaan mesin ketik manual semakin berkurang dan sejak beberapa tahun lalu praktis OFF menggunakan itu mesin yang bunyi merdu ketak-ketik. Memang tidak totally cut off hubungan dengan mesin ketik. Dalam kondisi-kondisi emergency, masihlah terbantukan dengan adanya mesin ketik, seperti saat listrik mati dan ada sedikit revisi yang perlu ditambahkan dalam report immediatelly. Seperti yang saya alami waktu on duty di Surabaya, pas listrik mati dan ada sebuah dokumen yang salah. Padahal harus segera disetor ke pihak yang berwajib.
“ Bisa pakai mesin ketik kan Mbak?” pertanyaan sekaligus instruksi dari seorang Bapak yang berada di depan saya ketika itu.
“ Ya bisa sih Pak, tapi kan eman-eman kuku-kuku saya lho? Perawatan mahal…?” jawab saya berseloroh sekenanya.
“ Ghuayamu itu lho? Hehehee…wes kono gaweo mesin ketik wae ben ndang rampung espejemu Mbak…!”
Dengan setengah hati pun saya mendekati mesin ketik satu-satunya yang ada di ruangan tersebut. Dan mulai mengetik dengan super pelan dan hati-hati. Bisa ditebak, baru dapat satu kalimat, terjadilah salah ketik. Terus nyoba lagi sampai kali ketiga, eh lhah hasilnya masih saja ada khilaf padahal saya sudah mengerahkan segenap ilmu ketelitian.
“ Wes Mbak, nunggu listrik nyala saja. Kalau di terusin bisa habis kertas satu rem nanti, malah aku kehabisan stock kertas nanti..” Gembiranya saya karena Selamatlah dari edisi penyiksaan mengetik manual saat itu.
Alhamdulillah, tak berselang lama listrik pun menyala dan saya cukup open soft file dan klik PRINT, beres deh.
Sekip soal hibernasi, wong saya kan lagi pengen curhat Reunian sama mesin ketik yang sudah sekian tahun berpisah dari keseharian saya. Setelah komputer menjadi alat utama administrasi kerja, maka secara otomatis penggunaan mesin ketik manual semakin berkurang dan sejak beberapa tahun lalu praktis OFF menggunakan itu mesin yang bunyi merdu ketak-ketik. Memang tidak totally cut off hubungan dengan mesin ketik. Dalam kondisi-kondisi emergency, masihlah terbantukan dengan adanya mesin ketik, seperti saat listrik mati dan ada sedikit revisi yang perlu ditambahkan dalam report immediatelly. Seperti yang saya alami waktu on duty di Surabaya, pas listrik mati dan ada sebuah dokumen yang salah. Padahal harus segera disetor ke pihak yang berwajib.
“ Bisa pakai mesin ketik kan Mbak?” pertanyaan sekaligus instruksi dari seorang Bapak yang berada di depan saya ketika itu.
“ Ya bisa sih Pak, tapi kan eman-eman kuku-kuku saya lho? Perawatan mahal…?” jawab saya berseloroh sekenanya.
“ Ghuayamu itu lho? Hehehee…wes kono gaweo mesin ketik wae ben ndang rampung espejemu Mbak…!”
Dengan setengah hati pun saya mendekati mesin ketik satu-satunya yang ada di ruangan tersebut. Dan mulai mengetik dengan super pelan dan hati-hati. Bisa ditebak, baru dapat satu kalimat, terjadilah salah ketik. Terus nyoba lagi sampai kali ketiga, eh lhah hasilnya masih saja ada khilaf padahal saya sudah mengerahkan segenap ilmu ketelitian.
“ Wes Mbak, nunggu listrik nyala saja. Kalau di terusin bisa habis kertas satu rem nanti, malah aku kehabisan stock kertas nanti..” Gembiranya saya karena Selamatlah dari edisi penyiksaan mengetik manual saat itu.
Alhamdulillah, tak berselang lama listrik pun menyala dan saya cukup open soft file dan klik PRINT, beres deh.
Itu kisah kali terakhir saya bekerjasama dengan mesin ketik saat masih domisili kerja di Jawa Timur. Dan ternyata pas saya mendarat di tempat tinggal baru plus domain pekerjaan yang baru pula, cerita menggunakan mesin ketik pun muncul episode lanjutannya. Di masa-masa permulaan kan saya masih berstatus orientasi dan adaptasi dengan jenis pekerjaan baru, sehingga jobdes juga belum ada. Nah, si mesin ketik ini pun mulai diperkenalkan kepada saya pas suatu kesempatan di minta untuk bantuin oleh Mbak Emmy untuk bikin kelengkapan dokumen: bikin kwitansi.
“ Mbak, bisa pakai mesin ketik kan?”
“ Dulu sih bisa, tapi sudah lama banget gak menggunakan mesin ketik?”
“ Lha kwitansi untuk espeje ditulis pakai apa Mbak?”
“ Ya di print semua dari komputer sejumlah rangkap yang dibutuhkan…”
“ Nah, berarti Mbak Ririe harus men-setting lagi jari jemarinya untuk menggunakan mesin ketik ya?”
Pungkasing carito,
awal-awal menggunakan kembali mesik ketik manually ini pun saya extra hati-hati, sehingga cukup pakai 1 jari karena satu huruf saja salah akibatnya adalah nyari stempel dan tanda tangan yang tertera di kwitansi rangkap 5 [semacam kertas NCR] ke tempat asalnya lagi. Kalau lokasinya dekat-dekat sih no problem at all. Lha kalau tempatnya di Cangkringan dekatnya rumah Mbah Marijan sana? Makanya saya perlu nyetel gaya mengetik seperti orang yang baru pertama kali belajar ngetik. Juga me-refresh mengenai re-roll pita mesin ketik, huruf Capital, spasi, dst.
Dengan menggunakan mesin ketik manual [lagi] ini, setidaknya saya jadi melatih konsentrasi dan mengasah ketelitian diri saya lagi [biar gak salah ketik]. Meskipun, kesini-sininya sekarang saya sudah bisa lebih lancar menggunakan style pengetikan sebelas jari alias dua jari, tapi kendala overlapping huruf karena speed pengetikan juga muncul karena kondisi mesin ketiknya juga perlu perlakuan kesabaran. Ya asline, huruf di keyboard PC/Netbook pun saya gak hapal. Jadi sampai sekarang kalau ada ujian untuk mengetik dengan mata tertutup ya di jamin peluang lulus saya adalah 0,000000000001%.
“ Mbak, bisa pakai mesin ketik kan?”
“ Dulu sih bisa, tapi sudah lama banget gak menggunakan mesin ketik?”
“ Lha kwitansi untuk espeje ditulis pakai apa Mbak?”
“ Ya di print semua dari komputer sejumlah rangkap yang dibutuhkan…”
“ Nah, berarti Mbak Ririe harus men-setting lagi jari jemarinya untuk menggunakan mesin ketik ya?”
Pungkasing carito,
awal-awal menggunakan kembali mesik ketik manually ini pun saya extra hati-hati, sehingga cukup pakai 1 jari karena satu huruf saja salah akibatnya adalah nyari stempel dan tanda tangan yang tertera di kwitansi rangkap 5 [semacam kertas NCR] ke tempat asalnya lagi. Kalau lokasinya dekat-dekat sih no problem at all. Lha kalau tempatnya di Cangkringan dekatnya rumah Mbah Marijan sana? Makanya saya perlu nyetel gaya mengetik seperti orang yang baru pertama kali belajar ngetik. Juga me-refresh mengenai re-roll pita mesin ketik, huruf Capital, spasi, dst.
Dengan menggunakan mesin ketik manual [lagi] ini, setidaknya saya jadi melatih konsentrasi dan mengasah ketelitian diri saya lagi [biar gak salah ketik]. Meskipun, kesini-sininya sekarang saya sudah bisa lebih lancar menggunakan style pengetikan sebelas jari alias dua jari, tapi kendala overlapping huruf karena speed pengetikan juga muncul karena kondisi mesin ketiknya juga perlu perlakuan kesabaran. Ya asline, huruf di keyboard PC/Netbook pun saya gak hapal. Jadi sampai sekarang kalau ada ujian untuk mengetik dengan mata tertutup ya di jamin peluang lulus saya adalah 0,000000000001%.