Kenapa (seperti) Bunglon? Postingan ini adalah sebagai ‘oleh-oleh’ saat saya mengambil cuti beberapa waktu lalu, selain being present for my best friend wedding. Sebagian besar day off saya memang stay @home bersama keluarga yang super besar maklum 9 saudara yang 7 orang sudah menikah dan beranak pinak, hehehee…
Moment bisa berkumpul lengkap adalah hal langka semenjak di antara kami sudah ada yang ‘keluar’ dari rumah guna mencari sesuap nasi dan sebakul berlian (yang belum dapat-dapat sampai sekarang). Meskipun moment lebaran, belum tentu kami bisa berkumpul di rumah at the same day, as usual others do yaitu berbagi tujuan mudik juga dengan mertua.
Bahkan untuk kakak yang mertuanya luar Jawa mudik lebaran gantian, kalau tahun ini mudik ke mertua maka jatah mudik ke kampung halaman sendiri di delay jadi Idhul Adha, demikian pula sebaliknya untuk tahun berikutnya. Tapi seribet dan seruwet apapun prosesi mudik, tetap sesuatu yang amazing moment….Ini foto 3 keponakan yang termuda (sengaja hanya ditampilkan 3 wajah balita yang lujtu-lutju biar gak pindah jadi album keluarga postingan ini).
Nah, behalf on 11-11-11 kemarin (tepatnya tanggal 16-11-11) ada salah satu Pak Lik (paman: adik dari Ibu) yang punya hajat menikahkan putri bungsunya maka kami sebagai para keponakan yang baik mengalokasikan waktu untuk bisa datang. Karena saya mengambil jatah cuti sehingga sayalah yang pertama check ini @wonderful “hotel” our home sweet home, sekaligus being the last do check out.
Enaknya ya punya waktu menikmati suasana di rumah lebih lama dari yang lain, karena setiap berada kembali di rumah semua kenangan ketika kami masih jadi anak-anak serasa ‘hidup’ kembali, feel never live apart from home. Dan yang jelas karena kali terakhir yang check out tentunya dapat jobdesc tak tertulis clean up rumah yang berantakan bak kapal pecah setelah semuanya balik ke jalan hidupnya masing – masing.
Rentang waktu last check out, iseng-iseng saya motret sekitar rumah yang Alhamdulillah masih hijau seperti ketika masa kecil dulu (tentunya dengan tanaman yang tidak sama). Dan ini merupakan pemahaman system tumpangsari ala Ayah saya (kalau saya ingat-ingat lagi, sebenarnya ayah saya juga kebanyakan petani lainnya sudah menerapkan sistem tumpang sari meski tak paham teorinya). Untuk musim kemarau (tidak tanam padi), biasanya di antara tanaman utama (jagung/tembakau yang sering di tanam di musim kemarau) di tanamai bayam, tomat, cabe, terong, singkong, dsb.
Tanaman kelapa yang jadi perdebatan kecil bagi Ayah dan Ibu saya. Ibu Protes dengan point karena lokasi tanamnya dekat rumah (jadi kalau sudah besar maka akar serabut dan buahnya akan berimbas pada rumah). Sedangkan Ayah saya pada prinsipnya menanam pohon itu gak masalah jika kelak tidak bisa menikmati buahnya, toh tetap bisa di nikmati anak-cucu…..nah Lhoh, gimana tuh? Salah satu keunikan orang tua saya, sebentar beradu argument (debat) dan tak berapa lama kemudian sudah ngobrol akur lagi.
Ketika motret buah sirsak (nangka Belanda), saya di kagetkan oleh binatang yang melompat (sepertinya dia juga kaget kena lighting camera), untungnya binatang tersebut tidak melompat kearah saya, bisa histeris total kalau sampai kejadian seperti itu. Beberapa waktu setelah reda dari rasa kaget, saya coba mengamati binatang tersebut yang masih berhenti pada sebuah dahan…olalalalaaa ternyata BUNGLON. Tapi sayang saya missed mengambil gambarnya (mungkin si bunglon nyadar bakal di masukin blog fotonya…xixixiiiii).
Kopdar dengan bunglon tersebut membuat saya teringat akan pelajaran biologi tentang sub bab adaptasi di mana bunglon memiliki kemampuan untuk mengubah warna kulitnya menyesuaikan dengan lingkungan dimana dia berada sebagai ‘weapon to survive’ mengaburkan diri dari incaran pemangsanya. Yang jadi pikiran saya, terus kenapa kalau di pelajaran Bahasa Indonesia jadi ada istilah “seperti bunglon” untuk mengibaratkan sikap seseorang yang tidak teguh pendirian (pada prinsip yang baik dan benar) alias plin plan atau save position dalam konteks yang negative? Padahal bunglon sendiri mengubah warnanya bukan untuk tujuan ‘licik/jahat’ dan itu pun sudah default/Sunatullah.
Lha kalau manusia kan di beri keleluasaan untuk memilih seperti kalimat bijak yang sering saya baca : Life is about how to make right choice.
Bunglon hanya salah satu binatang yang jadi label ‘kurang baik’ untuk memberi istilah pada sikap kurang simpatik manusia. Masih banyak nama binatang yang lain yang sering kita dengar digunakan untuk mempresentasikan seseorang yang sedang “khilaf”, misalnya: Tupai/bajing+an, Kadal, buaya (darat), ular, kambing (hitam), kucing (garong)…hehehe jadi mengabsen isi kebun binatang neh jadinya ya…
Btw, ini lanjutan dari rasa penasaran saya setelah ‘ketemu’ dengan sang bunglon (yang tidak mau di foto), jalan – jalan di mbah gugel hingga singgah di Harun Yahya dan membawa sebagian isinya sebagai berikut :
Buku-buku teks zoologi menjelaskan bahwa lidah balistik bunglon diperkuat oleh seutas otot pemercepat (akselerator). Otot ini memanjang ketika menekan ke bawah pada tulang lidah, yang berupa tulang rawan kaku di tengah lidah, yang membungkusnya.Akan tetapi, dalam sebuah penelitian yang telah disetujui untuk diterbitkan oleh majalah ilmiah Proceedings of the Royal Society of London (Series B), dua ahli morfologi yang memelajari kebiasaan makan bunglon menemukan unsur-unsur lain yang terkait dengan gerakan cepat lidah binatang ini.Kedua peneliti Belanda ini, Jurriaan de Groot dari Universitas Leiden, dan Johan van Leeuwen dari Universitas Wageningen, mengambil film-film sinar X berkecepatan tinggi, yakni 500 bingkai per detik, dalam rangka menyelidiki bagaimana lidah bunglon bekerja ketika menangkap mangsa. Film-film ini menunjukkan bahwa ujung lidah bunglon mengalami percepatan 50 g (g = konstanta gravitasi). Percepatan ini lima kali lebih besar daripada yang dapat dicapai oleh sebuah jet tempur “
Untuk edisi lengkapnya silahkan mampir ke rumah Pak Harun Yahya, selamat menikmati oleh-oleh dari cuti saya. Maaf bagi yang kurang berkenan dengan tulisan ini, tiada maksud untuk SARA ataupun menyinggung siapapun, suerr…