Wisata Gunung Bromo yang Eksotis Yang Menawarkan Petualangan Serasa Bukan di Bumi, sepertinya saya memang harus mengakui kalimat afirmatif ini. Pertama kali ngetrip ke Gunung Bromo semasa kuliah, perjalanan pertama ke naik gunung yang tanpa persiapan.
Bahkan sejak awal berangkat, setiap kisahnya sudah menyuguhkan kenangan manis tak terlupakan. Apalagi ketika beneran bisa sampai ke Bromo dengan selamat dan Alhamdulillah semakin bersemangat begitu melihat hamparan keindahan yang membentang di kawasan wisata Gunung Bromo.
Blogwalking, mampir sana-sini….kemudian pada sebuah shoutmix (lupa kala itu dari shoutmix blog sapa ya….hayoo ngaku punya sapa..* LHOH?*) klik pada ID tamu Una….landing sukses pada posting My first GiveAway:Pengalaman pertama, pengalaman pertama apa saja boleh. yang terlintas pertama kali: follower saja dulu (habis ide spontanitasnya belum muncul mau ikut Giveaway cerita tentang apaan ya…).
Setelah beberapa hari mengobrak-abrik isi memory otak….tarrraa…terpilihlah Pengalaman pertama: berpetualang ke Gunung Bromo One night stand. Tapi firstly, sebelum menimbulkan definisi sayap kiri (negative) tentang frasa “One night stand” maka kuperjelas dulu batasan dan definisinya ( cieee…sok nulis karya ilmiah deh, xixixixiiii….). Maksud frase tersebut adalah aku dan teman-teman begadang semalaman. So, yukk kembali pada my first story.
Sebenarnya peristiwanya sudah luuuaamaa (saking lamanya neh) banget, saat masih kuliah. Kupilih kisah tersebut karena banyak pengalaman yang serba pertama dalam petualangan Bonek ke Bromo, jadi menurutku ceritanya lebih menarik ketimbang cerita cinta pertama(ku)….hehehe *kumat lebay-nya*. Ceritanya berawal dari idenya Susan, waktu hari teakhir UAS. Begitu keluar dari ruangan, karena shock ternyata soal Perencanaan Alat menyimpang jauh dari prediksi “ biar gak stress, main ke Bromo yukk…” ucap Susan dengan spontan. Yang langsung di sepakati oleh Lilik, Faida, Surya dan Muji. Sedangkan aku mikir MODE ON karena sadar diri sedang krisis total. Tapi tak berapa lama aku juga tunjuk jari untuk ikut setelah Lilik bersedia memberikan dana talangan (lunak= baru aku bayar jika honor aku ngajar privat cair….sstt, rahasia neh)
khirnya di sepakati (singkat cerita neh untuk proses preambule’nya…), kami berangkat ber-8, ada teman cowok yang bersedia untuk jadi bodyguard ( namanya Rifai tapi akrab di panggil Pa’I, kagak tega dia melihat kami berlima cewek semua ke Bromo). Tak lupa Pa’i juga mengajak 2 teman cowok lagi dari teman kuliahnya di kampus satunya (Pa’I ambil double degree ~ 2jurusan berbeda dari 2kampus yg berbeda juga). Skenarionya: Rental mobil dan drivernya gantian biar ongkos sewanya lebih murah. Pokoknya paket hemat sehemat-hematnya deh, itu isi perjanjian kami. Bondo nekad tapi slamet….
Kami berangkat jam sekitar jam 9 malam dari Surabaya, sampai di Gempol Susan nylethuk “ perlengkapan mobilnya sudah di check waktu ambil dari rental tadi?”. Hemmm, baru kali ini aku tahu kalau bawa mobil harus dipersiapkan detail perlengkapannya gitu…(hehehe…ndeso ya aku?). Langsung deh menepi dari jalur Tol untuk melihat perlengkapan emergency mobil: dongkrak, ban cadangan dll. Hasilnya NIHIL…. ! “ Lanjut apa balik Surabaya nih?”. Tanpa ada keraguan kami pun sepakat : Bismillah lanjuuttt….
Sepanjang perjalanan kami tetap berusaha riang gembira, nyanyi-nyanyi sekenanya atau cerita-cerita yang lucu-lucu. Nyanyian akan berubah jadi rangkaian dzikir tiap kali menempuh rute yang kanan – kirinya jurang atau jalan yang sempit dan harus berpapasan dengan mobil dari arah depan.
Sampai di tempat tujuan sekitar tengah malam, udara dingin bukan kepalang. Kami semua begadang di parkir bersama para rombongan lain yang juga begadang. Syukurlah ternyata banyak juga yang style backpacker. Jadi tetap seru meski harus menahan kantuk dan dingin menunggu waktu untuk naik ke Bromo. Tapi lumayanlah ada yang menyalakan api unggun, jadi masih bisa menghangatkan diri sambil ngobrol dengan style sok kenal dan sok akrab dengan orang-orang di sekitaran api unggun…Sepanjang malam tidak tidur, berada di alam terbuka bersama orang-orang yang tidak di kenal: First moment neh, bathinku
Sekitar jam 2 dini hari semua orang yang ada di parkir mobil sudah heboh untuk berangkat. Hampir semuanya jalan kaki karena kondisi mobilnya tidak memungkinkan untuk menempuh medan yang off road. Tapi bagi yang memang niat berwisata tentu akan pakai jip hardtop atau naik kuda. Tapi bagi para backpacker dan yang sengaja ingin berpetualang di alam akan memilih jalan kaki.
Begitu pula dengan rombonganku yang modal nekad full. Gimana tidak nekad, wong ternyata di antara kami gak ada yg bawa senter untuk penerangan dalam menempuh rute ke Bromo (sehingga kami jadi follower rombongan yang di depan). Rute yang harus dilewati adalah lautan pasir yang luasnya mencapai 10 km², area gersang yang dipenuhi pasir dan hanya ditumbuhi sedikit rumput-rumputan yang mengering dengan tiupan angin yang membuat pasir berterbangan dan dapat menyulitkan kita bernafas. !
Sesuatu yang baru juga bagi kami menempuh medan yang terjal dan curam serta lumayan jauh jaraknya dengan berjalan kaki pakai sandal jepit lagi, sudah bisa di duga yang cewek selalu ada yang (gantian) minta berhenti karena kelelahan. “Eh, kalau kelamaan berhenti nanti kita bisa salah arah lho..tuh yang bawa lampu udah mau hilang cahayanya…..” kalimat ini yang jadi andalan Pa’i dan 2 temannya untuk membuat kami yang cewek ini bergegas bangkit untuk meneruskan perjalanan. “ Masih kurang berapa lama neh…?” tanyaku pada salah satu teman Pa'i (sebelum berangkat pa'i meyakinkan jika salah satu temannya sudah pernah ke Bromo).
Jawaban yang sangat meyakinkan pun kudapatkan “ Lihat nyala lampu di sana kan...”. kemudian baru ku tahu jika jawaban tersebut itu hanya penenang saja karena begitu nyala lampu yang dia maksud terdekati ternyata lampu ternyata tempatnya penjual makanan atau minuman hangat dan perjalanan pun masih berlanjut dengan melewati lampu penjual-penjual berikutnya. magic juga jawabannya karena serasa punya tenaga baru, hehehe.. Setelah perjuangan panjang dan melelahkan serta entah berapa kali berhenti untuk ambil nafas…Alhamdulillah kami sampai juga di Bromo.
Tapi tunggu dulu, kami masih harus menaiki tangga yang jumlahnya mencapai 250 anak tangga untuk sampai ke puncak Gunung Bromo. Ibaratnya perjalanan tinggal “selangkah” untuk bisa sampai puncak Bromo, kami pun berjuang untuk bisa sampai ke atas.
Sesampainya di puncak Bromo yang tingginya 2.392 m dari permukaan laut, betapa banyaknya orang yang sudah berjajar dan ramainya sudah mirip di pasar, sambil menunggu sun rise, kami gantian sholat shubuh pertama di atas gunung. Rasanya benar-benar luar biasa syahdu dan membuat diri benar-benar merasa makhluk yang kecil (jadi down to earth gitu deh). Dalam suasana masih gelap, Pa’i menyalakan korek mau melihat skala thermometer yang di bawanya. Kami semua ketawa, gak nyangka kalau Pa’i malah lebih ingat bawa thermometer ketimbang lampu penerang. Hahahahaaaa…
Bahkan kami tetap merasa excited meskipun pada akhirnya sun rise malu-malu di balik awan karena cuaca yang tidak mendukung (langit berawan kala itu).
Dan kami juga tetap bisa tertawa manakala temannya Pa'i bikin pengakuan kalau sebenarnya dia juga belum pernah sampai naik ke Bromo. Nah Lhoh???. Kemudian kami baru tahu juga (hasil dari perbincangan dengan sesama pengunjung yang ada di Bromo) kalau view yang bagus untuk melihat sun rise dengan keindahannya yang memiliki sensasi tersendiri adalah dari Penanjakan, dimana Kita akan merasa berada di atas awan dengan melihat kabut di bawah menari-nari diatas Gunung Bromo serta Puncak Semeru juga kelihatan dari kejauhan membelakangi Bromo.
Jadi habis turun dari Penanjakan mestinya baru menuju ke bromo untuk melihat pemandangan kawahnya. Karena sudah ada di puncak Gunung Bromo, kami pun tidak buru-buru untuk turun, melihat langsung kawah yang sedikit berbau belerang serta sepuas-puasnya menikmati Indahnya Pemandangan di bawah berupa lautan pasir yang menghampar luas (yang kala berangkat kami arungi dalam suasana gelap gulita).
Pura Luhur Ponten berdiri dengan anggun di kejauhan kaki gunung. Kuda-kuda yang parkir menunggu penyewanya juga menambah keindahan pemandangan. Di sebelah Gunung Bromo juga bisa dilihat Gunung Batok yang terlihat seperti bentuk batok berlapis raksasa karena bentuk gunungnya seperti berlapis-lapis.
Namanya pengalaman pertama ke Bromo bersama orang-orang yang baru pertama kali juga ke Bromo. Kalau di ceritakan lebih detail (semua kejadian-kejadian lucu plus konyolnya) bisa lebih panjang lagi tulisan ini. Yang penting kami tetap bisa menikmati secara maksimal perjalanan ke Bromo ini dengan hati riang gembira meski modal Bonek. Tidak hanya cerita lucu dan hal-hal di luar dugaan yang (luar biasa) menambah lembar kenangan dan mengkayakan integritas diri, tapi juga pembelajaran langsung pada praktek bagaimana kita bertoleransi, saling perduli dan mendukung pada teman juga pada orang lain (meskipun kita belum mengenalnya) yang ada di sekitar kita.
Dan masih ada bonus dari perjalanan ini yaitu ketika pulangnya masih sempat mampir dulu ke air terjun Madakaripura (mengingat waktu rentalnya masih tersisa banyak jadi di optimalkan deh pemakaian mobilnya). Sayangnya foto-foto yang kami ambil banyak yang tidak bisa di cetak (blank hasilnya). Awalnya kami mengira karena kamera yang eror/rusak terkena area “hujan sepanjang tahun” yang baru kami lewati. Belakangan baru aku tahu dari hasil saling berbagi cerita, ternyata di lokasi air terjun Madakaripura memang susah untuk di ambil Fotonya. Percaya atau tidak, silahkan di buktikan ya guys….
Note: Mohon maaf, dokumentasi (foto-foto) yang tampil di postingan ini menghilang. (Checked 9 Juni 2020)