Dan Bismillahirrahmaanirrahiim ternyata diluar dugaan, hari Kamis kemarin saya harus ke Surabaya. Ahaahaaa, pucuk di cinta ulam tiba. Saya pun mengajukan negosiasi dengan boss, jika harus berangkat ke Surabaya maka saya ijin hari Jumat-nya untuk sekalian mudik. Bukan hanya mumpung di Surabaya yang tinggal 2-3 Jam sudah nyampek di rumah..ada alasan lain yang menguatkan: nengok keadaan Bapak. Alhamdulillah negosiasi saya di terima dengan sukses.
Untuk rangkaian pagelaran Wayang Golek pada setiap kali Nyadran, sebenarnya saya tidak pernah mengikuti pertunjukann
Wayang golek secara full, hanya sekedar datang dan melihatnya sebentar saja untuk pantes-pantesan masak ada wayng golek kok gak lihat sama sekali. Bukan tidak tertarik dengan wayang golek, tapi lebih pada rasa gak nyaman saja di antara bejubel orang-orang. Untuk pertunjukkan Nyadran tahun ini, kebetulan ada adik sepupu si
Devi [yang saya ajak mbolang ke
Gunung Pegat] excited banget untuk ‘menikmati’ euforia Nyadran. Kalau sendirian rasanya bakal aneh bin ajaib soale. Maka saya pun menyanggupinya dan sengaja untuk menonton di skuel terakhir pertunjukkan. Kata Devi, biar sekali-kali ada experienced menikmati secara khusyuk tontonan wayang golek di kampung sendiri. Side purpose-nya, pastinya ambil dokumentasinya dunk...
Dari Cerita turun temurun yang saya dapatkan, Nyadran dengan pertunjukkan wayang golek mulai diadakan oleh sang pioneer yang bubat alas membuka area desa. Konon kisahnya, beliau menggunakan wayang golek untuk mengumpulkan warga untuk melakukan syiar agama Islam. Sang piooner tersebut dikenal dengan nama Mbah Buyut Sarengat. Pertunjukkan wayang golek pun akhirnya berlangsung hingga sekarang dan digelar di dekat lokasi makam beliau. Ritual seputar Nyadran gak banyak, yaitu pertunjukkan wayang golek dua hari satu malam dan dihari terakhir orang-orang membawa makanan yang dikumpulkan kemudian dibagi-bagikan pada siapa saja yang berkenan yang dikenal dengan Istilah ‘berkatan’. Dan umumnya, saat Nyadran para ibu akan bikin masakan yang banyak untuk di hantarkan pada semua sanak saudaranya [kerabat yang masih dekat], tentunya yang lokasi tinggal masih bisa di jangkau dari desa kami. Juga ada kue yang identik dengan momentum Nyadran yaitu: tape ketan, kucur [cucur] dn onde-onde [Devi yang mengingatkan ini]
Dari waktu ke waktu, seperti itulah ritual Nyadran yang diadakan di desa saya. Dan setahu saya dari dulu hingga sekarang, Ibu saya termasuk penduduk yang tidak ikut membawa berkatan ke lokasi Nyadran. Cukup mengadakan kondangan di rumah dengan tetangga yang biasanya jadi grup kondangan. Hal lain yang dulu menyertai pertunjukkan Wayang Golek adalah hadirnya para penjudi dadakan dari berbagai desa. Dan seiring ‘perbaikan’ pemahaman tentang agama dan pengetahuan lainnya, maka acara Nyadran pun mengalami beberapa perbaikan. Beberapa tahun belakangan ini, format Nyadran direformasi dengan pendefinisian “Ulang tahun desa” atau bersih desa.
Ada seseorang yang bertanya pada saya, “Kok aneh bersih desa diadakan di Bulan Syawal? Bukannya dimana-mana tradisi bersih desa diadakan pada Bulan Muharam?”
Tempo doeloe Nyadran diadakan hari Jumat pahing pada bulan Haji/Dzulhijjah. Dan karena bulan-bulan hijriah dari waktu ke waktu berganti musim dan cuacanya, kemudian dimufakati jika jadwal Nyadran di formulasikan sebagai ulang tahun desa dan ditetapkan hari Jumat Pahing pada Bukan Agustus dan untuk tahun ini merupakan peringatan yang ke 130 tahun haul desa saya. Jadwal ini pun sifatnya masih flexible, seperti tahun 2011 karena Agustus full Ramadhan akhirnya Nyadran pun diselenggarakan pada Bulan September. Acaranya pun di desain mulai Kamis Malam dengan pengajian, Jumat siang ba’da Jumatan pertunjukkan wayang Golek pun mulai di gelar sampai shubuh dan masih berlanjut sabtu siang hingga jam 3an sore. Orang-orang yang berjudi pun entah bagaimana juga sudah hilang, Alhamdulillah.....
Lokasi Makam Mbah Sarengat bersebelahan dengan lapangan desa yang dulunya merupakan area pemakaman. Kata Bapak, pemakaman tersebut sudah non aktif [tidak terpakai sejak Bapak masih anak-anak yaitu masa Jepang] dan kemudian di alih fungsikan jadi lapangan pada tahun 1960an. Lokasi Makam Mbah Sarengat juga mengalami beberapa perubahan. Sekira 15 tahun lalau mulai dirintis berdirinya musholla kecil yang kemudian secara bertahap dan swadana warga desa diperbesar hingga sekarang diperluas fungsinya menjadi Mesjid [kedua] di desa saya.
Dan kembali ke acara Nyadran, sekitar jam 1 siang saya tiba di lokasi pertunjukan nonton wayang dan langsung take action fotografer profesioanal amatir, mumpung penonton belum kian memadat. Kami pun langsung mulai jepret sana-sini. Awal-awalnya banyak yang melihat kagum aneh pada saya dan Devi, mungkin dikiranya wartawan gadungan dari mana kali ya? Dan tak berselang lama, ternyata beberapa orang pun mulai ikutan mengambil foto dengan kamera Hpnya, jadi kami tidak lagi jadi sorotan utama banyak penonton deh. Saya sempat melihat juga ada tukang ambil foto profesional [dilihat dari kameranya yang high quality] dan sayangnya saya tak sempat menyapanya sekedar untuk bertanya untuk reportase ap` dokumentasi yang dia lakukan.
Dari banyak pengunjung, how amazing tak banyak yang mengenali saya...bahkan ketika saya sengaja menyapa beberapa orang yang saya kenal pun rata-rata bilang pangling! Gubrakkkk. Dan dari sekilas percakapan yang sempat saya lakukan, malah banyak yang menyangka jika aksi poto memoto yang kami lakukan merupakan bagian reportase sungguhan. Ada seorang bapak yang bertanya akan di muat dimana? Kemudian beberapa orang pun memberikan kami tempat yang lebih dekat dengan posisi Wayang golek dan dalangnya agar bisa lebih leluasa mengambil gambar. Benar-benar berasa jadi penonton istimewa deh!
Bahkan saat saya motret di lokasi tumpukan berkatan, kebetulan ada tetangga dekat rumah yang jadi panitianya. Saya minta ijin untuk mengambil beberapa foto, termasuk moto lokasi makam. Dan ada seorang bapak yang berdiri tak jauh dari tetangga saya tadi menyapa dan menawari untuk bawa berkatan” Sampean nek gelem nggowo wae berkatan, bagi-bagikan karo koncone kuliah ~ kamu kalau mau bawa saja berkatan untuk dibagi-bagikan sama teman-teman kuliahnya“. Bisa ditebak, Devi pun tertawa mendengarnya.
Rasa antusias membuat kami memutuskan untuk melihat pertunjukkan wayang sampai usai. Iya..saya ingin mengambil gambar wayang ‘primadona’nya, yaitu wayang golek perempuan yang paling cantik dari semua wayang golek yang ada. Wayang golek yang jadi primadona ini hanya dikeluarkan saat pertunjukkan usai yaitu saat dini dini hari dan penutupan. Sejam berlalu dan saya masih tidak paham jalan cerita wayang goleknya. Saat tanya pada seorang bapak yang di dekat kami, katanya judulnya “ Wahyu gelung emas pitung kelung” Asli saya asing dengan judul wayang tersebut. Namun akhirnya saya bisa menangkap cerita yang dipentaskan, yaitu tentang kisah cinta segitiga Sri Tanjung yang bersuamikan Patih Sidopekso tapi juga dicintai oleh Prabu Sulahkromo. Kisah cinta segitiga yang berakhir dengan kematian Sri Tanjung karena di fitnah oleh Prabu Sulahkromo yang merupakan cikal bakal terjadinya kota Banyuwangi!
Penantian kami pun mendapatkan hasil sepadan karena kami mendapatkan lokasi duduk yang strategis dan bahkan saat usai, sang dalang mengijinkan saya untuk mengambil wayang golek promadonanya secara langsung. Setelah mendapatkan gambar-gambar wayang golek, kami pun beralih memotret alat-alat musik yang digunakan: mulai dari kendang, gender, sarongan, gong dan entah apalagi namanya. Sayangnya saya tak sempat berfoto dengan sang Dalang Junior [anak sang dalang yang rupanya sudah mulai di ajak show, seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku SMP kelas 1]. Untuk ukuran anak SMP, kemampuanya men-dalang sungguh sangat mengagumkan dan saya salut, dia dengan yakin memilih cita-citanya untuk menjadi Dalang profesional seperti Ki Anom Suroto katanya.
Saat acara Nyadran selesai, saya sengaja menyapa orang yang sedang merapikan alat-alat sound system. Dan sekali lagi saya dibuat terpana karena dia juga tidak mengenali saya. Saat saya bilang adiknya Cak To, baru dia nyambung “O...sampean Ribut tho? Maaf Mbak, pangling aku...” hurrayyyy...ternyata banyak yang pangling sama saya.
Lepas dari kontroversi tentang tradisi Nyadran, bersih desa, petik laut atau apapun namanya dan tak ada maksud untuk berdebat atau adu argument. Dalam opini saya, Nyadran atau acara bersih desa dengan pagelaran Wayang Golek dua hari satu malam mempunyai sisi positif: melestarikan salah satu kesenian tradisional dan merupakan ‘tool’ silaturahim karena adanya moment Nyadran merupakan alasan bagi sebagian penduduk desa yang di rantau untuk pulang kampun/mudik [selain hari lebaran]. Biasanya sanak kerabat yang tinggalnya di desa lain juga berdatangan untuk ikut melekan lihat wayang golek tersebut. Dan bagi warga desa yang merantau yang tidak bisa mudik saat lebaran, biasanya memang mengambil momentum Nyadran untuk jadwal mudiknya sebagai pengganti mudik lebaran. Bahkan bagi yang memungkinkan untuk sering mudik, Nyadran pun salah satu magnet yang dibuat alasan untuk mudik... So, dalam pandangan saya pribadi, Tradisi Nyadran di desa saya sudah jauh lebih baik penyelenggaraannya, juga pendefinisiannya serta memberikan kontribusi bagi kerukunan warga.
Bagaimana dengan tradisi di daerah Anda? Adakah Tradisi serupa dengan Nyadran yang tiap tahun digelar di desa saya?