Menikmati akhir pekan dengan kondisi yang kurang fit, all alone by my self tapi tentu saja yang TIDAK teringkari ada Sang Maha Dekat yang tak pernah sesaat pun lepas menjaga saya, satu keyakinan yang membuat saya bisa merasa berani dan percaya diri dimanapun berada. Jika ada rasa takut mengibar, satu kalimat yang terdoktrin adalah I do believe GOD always with me, I hope so. Dan Bismilllahirrahmaanirrahiim daripada larut dalam melow tiada ujung manfaatnya, menuliskan kembali sebuah part dari buku “ Mendengarkan suara hati’, dengan sub judulnya sangat menarik (menurut saya) yang mengambil latar sebuah acara pelatihan untuk di simak sehingga saya ingin men’share dalam postingan ini..
“ Siapa orang terpenting dalam hidup anda?” tanya sang pengajar. “ Silahkan tulis 20 yang paling dekat dengan kehidupan anda sekarang “ demikian pintanya pada salah satu peserta yang di tunjuknya.
Seorang peserta perempuan maju ke depan dan menuliskan 20 nama di papan tulis, mulai nama tetangga, teman kantor, saudara dan orang-orang terkasih lainnya. Kemudian sang pengajar memintanya mencoret satu nama yang dianggap tidak penting. Maka dicoretlah satu nama tetangganya dan selanjutnya sang pengajar pun memintanya untuk mencoret nama-nama berikutnya yang dianggap tidak penting sampai akhirnya hanya tersisa 3 ama yaitu orang tuanya, nama suaminya dan nama anaknya. Dan ternyata sang pengajar masih memintanya untuk mencoret satu nama lagi. Dengan perlahan dan agak ragu, perempuan tersebut mencoret satu nama yaitu orang tuanya.
“ Coret satu nama lagi...” ternyata sang pengajar masih memintanya untuk mencoret satu nama lagi. Suasana dalam ruangan pun semakin hening larut dalam ‘permainan’ yang menggelisahkan ini. Tampak sang siswa perempuan tersebut menghadapi pilihan tersulit dan setelah termenung sejenak dia pun dengan yakin mencoret nama teratas yaitu nama anaknya. Seketika suasana menjadi pecah oleh berbagai luapan emosi. Setelah suasana reda, sang pengajar pun bertanya, “ Orang terkasih Anda bukan orang tua dan Anak anda? Orang yang melahirkan dan membesarkan Anda. Dan anak yang Anda yang lairkan dengan taruhan nyawa? Mengapa Anda memilih sosok suami sebagai orang yang paling penting, padahal suami bisa dicari lagi ?”
Dengan penuh kemantapan, perempuan tersebut memberikan penjelasannya, “ Waktu akan berlalu. Orang tua akan pergi meninggalkan saya. Anak pun demikian, jika ia telah dewasa dan menikah, ia juga akan meninggalkan saya juga. Yang benar-benar bisa menemani saya dalam hidup ini adalah suami saya”.
Senada dengan cerita di atas, beberapa waktu lalu (tepatnya bulan Pebruari saat ada acara di Jakarta) saya juga mendengar langsung pernyataan yang sama dari seseorang. Saat itu kebetulan kami satu meja ketika sarapan, ngobrol santai pun mengalir diantara kegiatan menikmati menu sarapan. Kebetulan si Ibu yang saya maksud adalah salah satu yang jadi nara sumber. Saling cerita di antara kami, kemudian giliran si Ibu itu bilang jika sedang banyak acara/ kegiatan yang harus beberapa hari “pindah” tinggal di hotel maka beliau biasanya gantian sama suaminya, mana lokasi yang lebih memungkinkan untuk bisa saling mengikuti ‘pindah’ rumah tersebut. “ Pada akhirnya ya sama pasanganlah orang yang selalu ada buat kita. Ngrasain punya anak ya maksimal hanya sampai usia SMA. Setelah itu, mereka sudah punya kehidupannya sendiri, jadi tinggal kembali berdua lagi pada akhirnya...”
Kehidupan bisa diibaratkan seperti bawang bombay, ketika dikupas selapis demi selapis akan habis. Dan, ada kalanya kita dibuat menangis
saat lapisannya terkupas.