Tentang [ajaran] kebiasaan bijak terhadap air

Prolog: Seharusnya tulisan ini  saya posting di akun http://komp.as/jogjahijau tapi karena kala itu registrasi saya tidak kunjung mendapatkan konfirmasi pengaktifan sehingga lewat dari masa submit tulisan. Dalam rangka memasyarakatkan Gerakan Sustainable Consumption Program, Kompas mengadakan workshop kepenulisan dan fotografi yang kesemuanya berporos Sustainable Consumption Program [SCP]: #Don’t (just) Recycle! Think First berkelanjutan mulai September 2014 s.d Januari 2015. Nah, berhubung tulisan ini gagal posting di #jogjahijau,jadi deh publish di sini

Bismillahirrahmaanirrahiim 
Ketika kita dihadapkan pada himbauan “Save water”, yang spontan terlintas adalah Prinsip dan berperilaku hemat air: gunakan air secukupnya dan seperlunya. Konsep ini sebenarnya sudah ditanamkan oleh kebanyakan orang tua dan para nenek moyang kita. Salah satu bagian orang-orang bijak terhadap pola penggunaan air tersebut adalah Kedua orang tua saya. Sedikit ikut berbagi kisah kasih yang dikembangkan dalam pola didik terhadap anak-anaknya, khususnya soal penggunaan air. Berdamai dengan alam, mungkin ini salah satu refleksi dari beradaptasi. Iyaah, kami tinggal di daerah yang memiliki keterbatasan dengan ketersediaan air di saat musim kemarau. Lamongan, merupakan salah satu wilayah yang termasuk menjadi langganan kekeringan air di kala musim kemarau menyambangi musim. Dengan sebuah teori dasar: untuk mendaptakan air itu tidak mudah yaitu harus menimba dari sumur yang sangat dalam atau mengambil dari desa lain yang berjarak beberapa kilometer. 

Sehingga dalam keseharian sudah ditanamkan pola-pola untuk berhemat air seperti yang belakangan ini digencarkan dalam rangka kampanye Save Water di seluruh penjuru dunia. Sekedar bernostalgia tentang kebiasaan bijak menggunakan air yang telah dibiasakan oleh orang tua kami, bisa saya sebutkan bagian dari budaya hemat air yang saya sejak kecil antara lain:
  1. Mencuci baju seminggu sekali. Sekilas terkesan: Idiiih, jorok nian ya, lha nyuci baju kok seminggu sekali? Maksudnya, kalau mencuci baju ya nunggu jumlah baju kotornya banyak, yang diperkirakan bisa sekali periode mencuci baju dalam kuota baju oran serumah. Atau, karena kami sudah dibiasakan untuk mengurusi keperluan diri sendiri sejak SD kelas 3, lha kan kalau tiap haru nyuci baju kan capek karena nimba air berkali-kali hanya untuk mencuci baju dua atau tiga potong, ribet, riweh. Jadi ya saya kumpulin sampai seminggu baru deh dicuci pas hari libur sekolah. 
  2. Memanfaatkan air bekas cucian beras yang digunakan untuk minum binatang piaraan yang kami punyai kala itu, kambing, sapi atau ayam serta untuk menyirami tanaman konsumtif (sayur dkk). 
  3. Ketika musim kemarau, air bekas mencuci pakaian kami gunakan untuk menyiram halaman rumah dan bunga, sedangkan untuk air bilasan mencuci baju yang terakhir biasanya kami manfaatkan untuk mencuci sepatu atau sepeda onthel kesayangan (the only one). 
  4. Untuk mencuci piring, Ibu saya mengajarkan untuk menggunakan 3 baskom air: Baskom pertama, untuk merendam piring kotor. Baskom kedua untuk membilas piring/gelas yang disabun. Baskom ketiga untuk finishing alias bilas bersihnya.
  5. Kalau mandi pakai gayung, kira-kira 5-7 gayung cukuplah. Apalagi jika musim kemarau, bisa-bisa 3-4 gayung saja dan mandi cukup sekali saat sore hari. Hehehe
  6. Untuk wudhlu menggunakan ‘padasan’ yakni gentong ukuran kecil yang dikasih lubang kecil yang difungsikan sebagai kran untuk outlet air wudhlu
  7. Ketika hujan menampung air dari pancuran untuk mengisi dua gentong besar di dapur yang sehari-hari digunakan untuk memasak. Lumayan, tidak perlu capek-capek menimba air dari sumur kan? Sekaligus di saat-saat hujan, kesempatan untuk rajin mencuci baju sambil mandi dan keramas dengan berhujan-hujan. Jangan tanya soal pilek atau masuk angin ya? Waktu dulu, kami sudah terbiasa dengan bermandikan sinar matahari dan hujan ketika membantu pekerjaan di sawah. 
  8. Ketika musim hujan, menyuci sepeda onthel cukup dibiarkan kehujanan di luar ketika turun hujan. Apa tidak takut berkarat? Saat itu tidak terpikir soal sepeda berkarat, wong nyatanya sepeda butut kami baik-baik saja meski sering kehujanan kok. Bahkan sepeda pancal yang saya gunakan saat SMP sampai sekarang masih bisa digunakan dengan lancar jaya (saat ini sudah hampir 25 tahun saya lulus dari SMP).
Dan masih banyak lagi kebiasaan bijak yang ditanamkan pada kami semenjak usia kanak-kanak, yang sebagian besar masih kami lestarikan sampai sekarang untuk kemudian bisa dilanjutkan oleh generasi kami selanjutnya. Karena main core dari save water adalah ketersediaan air untuk kelangsungan kehidupan di masa mendatang.  Jika dimasa kecil saya ditanamkan KEBIASAAN hemat air, pada perkembangan selanjutnya dimana populasi manusia semakin bertambah, pola hidup juga berkembang serta dampak lingkungan akibat jumlah limbah/sampah baik industri maupun rumah tangga yang kian meruah, adalah sumber-sumber yang mengancam ketersediaan air yang tak hanya dalam batasan mencukupi untuk masa-masa tertentu, tapi juga mengancam kelestarian sumber air untuk mendukung kehidupan di masa-masa mendatang. 

Bila tiga dasawarsa lalu, orang tua kita telah mengajarkan untuk terbiasa berpola hemat dalam menggunakan air, maka Tantangan terhadap masalah air di masa-masa selanjutnya  secara global sudah TIDAK MUNGKIN lagi bisa dipecahkan dengan pemecahan persoalan-persoalan yang sudah ada saat ini semacam [hanya] pola-pola berhemat air. Karena Permasalahan air di seluruh dunia ini sebenarnya berakar dari hubungan fundamental manusia dengan alam yang seiring dengan masalah-masalah ekonomi, sosial dan ekosistem yang menyertainya sehingga berdampak (salah satunya) pada kelestarian sumber air.


Jadi, secara hukum demand and order, prinsip 3R ( reuse, reduce, dan recycle) sudah SAATnya didahului dengan pola pikir: THINK FIRST. Hemat air saja, sudah tidak cukup tangguh ‘membendung’ laju drastis penurunan ketersediaan air. Sedangkan mengaplikasikan prinsip 3R pada intinya hanya bersifat “delay Time” sebelum benar-benar terbuang ke alam bebas dalam bentuk sampah yang pada akhirnya akan menjadi salah satu sebabt utama yang memicu terjadinya masalah air di bumi ini. 

So, it’s time to think first for everything we gonna do in our life. Dalam setiap aspek kehidupan dan penggunaan barang konsumtif kita wajib mengedapankan pertimbangan THINK first sebelum memilih dan membuat keputusan. 

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” QS. Ar ruum: 41




Ririe Khayan

Assalamulaikum. Hi I am Ririe Khayan a Lifestyle Blogger and live in Jogya. I’m the Author Of Kidung Kinanthi, a Personal Blog about my random thought, parenting, traveling, lifestyle, & other activity as well as Personal & Working Mom Story. Kindly feel free to contact me at: ririekhayan(at)gmail(dot)com

4 comments:

  1. kalau aku setiap hari mbak :) soalnya smeinggu sekali pas musim hujan keteter ga kering

    ReplyDelete
  2. kebiasaan bijak yg tentunya membekas dan akhirnya menjadi kebiasaan baik ya mak...

    ReplyDelete
  3. jadi inget kalo musim kemarau di daerah saya juga beberapa kebiasaan itu diterapkan...
    alhamdulillah sekarang dit4 kontrakan airnya mencukupi
    apalagi punya anak bayi, gx kebayang gimana kalo kesulitan air

    ReplyDelete
  4. Rasulullah Muhammad SAW pun juga menanamkan sikap hemat terhadap air ini, terbukti kita disuruh berhemat ketika wudlu dan mandi..

    ReplyDelete

Leave a comment or just be silent reader, still thank you so much.
Terima kasih telah singgah di Kidung Kinanthi.
Mohon maaf, atas ketidaknyamanan MODERASI Komentar.

Maaf ya, komentar yang terindikasi SPAM atau mengandung link hidup tidak akan dipublikasikan.

So, be wise and stay friendly.