Bapak adalah Ayahku

Pesawat telpon di meja kerjaku berdering kembali padahal baru satu menit aku meletakkan gagang telpon tersebut,  “ Iya Lia, ada apa lagi ?” tanyaku tanpa basa-basi pada sekertarisku. 
 “ Seorang bapak ingin bertemu, tapi tidak mau menyebutkan namanya Pak.” kudengar nada agak ragu di seberang telpon yang aku pegang. Sok misterius banget, mau bertemu tapi tidak mau menyebutkan identitasnya. Tapi demi mengingat didikan etika kedua orang tuaku, maka aku bilang pada Lia untuk mempersilahkan tamu itu masuk ke ruang kerjaku.
Assalamu’alaikum…” seorang lelaki seumuran bapak tapi sedikit lebih tinggi memasuki ruanganku. Kulitnya sawo matang, rambut agak bergelombang. Garis wajahnya mengingatkan aku pada seseorang tapi aku tidak ingat sama sekali kapan dan dimana pernah melihatnya.
“ Wa’alaikum salam,” kuterima uluran tangannya,”silahkan duduk Pak..” 
“ Maaf jika kedatangan saya mengganggu Nak Damar..”
“ Tidak ada apa-apa, tapi maaf boleh saya tahu bapak ini siapa ya?”
Lelaki itu tidak langsung menjawab, kulihat seberkas gundah menghiasi wajahnya yang mulai keriput di beberapa bagian.
“ Sangat wajar jika Nak Damar tidak mengenaliku, sama halnya aku juga tidak akan tahu bagaimana rupa Damar kecil yang telah kutinggalkan 27 tahun silam…”
“ Maksud Bapak…?” perasaan aneh, gugup dan bingung serta merta membadai di dadaku. Apakah dia….?
Iya aku ayahmu…” satu kalimat yang cukup membuat bumi terasa berhenti berputar. Aku terdiam dalam keterpanaan tiada terkira, terkejut dan ingin tidak mempercayai ucapannya. 

Bippp...bippp...suara handphone menghentikan lamunanku, kulihat nama Pratama muncul dilayar HPku. Hemm, adikku yang bawel itu pasti akan mencerca dengan banyak pertanyaan kenapa dan untuk apa aku tiba-tiba mau pulang lagi padahal belum ada seminggu berada di Jakarta. Sebagai gantinya kukirimkan pesan singkat agar besok menjemputku di Juanda.
*****
Bapak mana, Buk?” tanyaku begitu masuk rumah dan mencium tangan ibu.
Kamu ini ada apa? Tiba-tiba pulang lagi dan langsung nanyain bapakmu “ protes ibuk sambil mengacak rambutku, kebiasaannya jika gemas pada anaknya ini. “ cuci kaki dan minum teh dulu. Jam segini ya bersama taxinya, apa lupa kalau pekerjaan bapakmu itu sopir taxi?”
Lha Bapak sih ngeyel, suruh berhenti jadi sopir tidak mau. Sekarang aku sudah kerja dan Andi sudah lulus kuliah. Hanya Pratama yang harus dibiayai, aku sanggup bayari kuliahnya”.
Kamu ini datang-datang bicara ngalor-ngidul gak jelas begitu? Ada apa sih, Mar? Apa kamu malu punya bapak yang jadi sopir taxi? ”
Astaghfirullah, kok jadi salah paham begini ? Ibuk tahu jika Damar sangat menghargai dan kagum dengan bapak kan ?” aku berusaha meredamkan perasaan ibu, merangkul pundaknya dan mencium keningnya dengan lembut. “ Bagi Damar bapak adalah ayah terhebat di dunia, jadi tidak ada alasan buat Damar untuk malu dengan pekerjaannya sebagai sopir “.
“ Iya ibuk heran lha tiba-tiba kamu pulang lagi dan baru satu menit masuk rumah sudah bicara yang membingungkan seperti orang kesambet gitu “.

Ya Allah, aku tak sanggup mengatakan pada ibuk kenapa aku mendadak pulang lagi. Aku memandang pigura yang menggantung di tembok, foto kami sekeluarga saat acara wisudaku beberapa tahun lalu. Ada bapak, ibuk dan kedua adikku, sungguh potret keluarga utuh yang harmonis. Dan kenyataanya keharmonisan itu tak hanya tampak di foto. Dengan bekerja sebagai sopir taxi dan dibantu ibuk yang melayani pesanan kue, mereka membesarkan kami bertiga dalam kesederhanaan di tengah kerasnya kehidupan kota Surabaya dan mampu mengantarkan kami sampai jenjang kuliah. Bapak menikah dengan Ibuk yang janda beranak satu yaitu diriku. Sebenarnya saat itu bapak kerja di perusahaan tapi karena mengalami kebangkrutan akhirnya bapak harus mencari pekerjaan lain dan jadi sopir taxi sampai sekarang. Aku hanya mengenal Bapak sebagai ayahku, karena yang aku tahu dari cerita sekilas ayah kandungku sudah meninggalkan ibuk sejak aku belum genap berumur setahun. 
 “ Kamu kenapa? Kok dari tadi melihat foto itu? “.
Aku menoleh dan tersenyum pada ibuk “ Coba lihat di foto itu, bapak kelihatan keren kan Buk? Hehehe…”
“ Dari tadi bapakmu terus yang kamu omongin, Mar “ selidik ibu dengan instink ingin tahunya.
“ Ibuk bisa saja “, elakku sekenanya .
*****
 Semilir angin sore yang meniup perlahan, menawarkan kesegaran tersendiri dengan aroma basah sisa hujan beberapa jam lalu. Duduk pada salah satu sudut tribun di Stadion Tambaksari, melayangkan pandangan ke tengah lapangan. Tampak beberapa anak sedang asyik main bola dengan keriangannya yang tanpa beban. Pemandangan yang menerbangkan ingatanku pada masa kanak-kanak. 

Tak terasa sudah dua puluh tahun berlalu saat bapak setiap hari minggu mengajakku main bola di lapangan ini. Bapak yang mengajariku naik sepeda, menemaniku main bola dan membuatkan aku layang-layang. Bapak yang panic saat aku di serempet sepeda motor, bapak yang meredamkan amarah Ibuk waktu tahu aku coba-coba merokok. Terlalu banyak kenangan dan tak bisa aku sebutkan satu persatu betapa bapak sudah menempatkan dirinya sebagai sosok ayah yang luar biasa bagiku dan kedua adikku. 

“ Menangis itu normal Mar, tapi jadi laki-laki cengeng itu yang salah besar..” nasehatnya ketika aku jatuh saat belajar naik sepeda.
Kenapa cengeng itu salah, Pak?” tanyaku kala itu.
“ Karena cengeng itu artinya kamu lemah, kamu tidak hebat…” dengan bahasanya bapak mencoba memberi penjelasan yang bisa diterima oleh nalar kanak-kanakku.

Matahari memang hilang ditelan senja, tapi ia akan menepati janjinya,
datang esok hari [lagi dan lagi]
Dedauanan hijau yang masih basah oleh sisa air hujan, beberapa butirnya jatuh di tubuhku saat angin bertiup perlahan. Kupejamkan mata, merasakan romantisme suasana di stadion ini sambil mengenang kembali setiap kenangan masa-masa aku sering bermain di lapangan ini. 
Damar…” suara yang sangat aku kenal, seorang lelaki yang akrab aku panggil bapak sudah duduk dengan santai. 
Kucium tangannya dengan takzim “ Kok bapak tahu Damar di sini?”
Di sini kamu dulu suka menghabiskan waktu untuk bermain, dan di sini pula kamu biasa menyendiri jika ada masalah kan?”
Yah, tentu saja bapak dengan mudah bisa menemukan aku di sini karena dia sedemikian paham dan hafal akan semua kebiasaanku.

“ Apa dia sudah menemuimu, Mar? Sehingga kamu tiba-tiba pulang dan mau minta penjelasan kenapa bapak memberitahu dia alamatmu di Jakarta?” tanya bapak langsung pada pokok dilema hati yang aku alami.
Damar bingung, pak. Antara kecewa, sedih dan ingin marah…andai bisa di hapus, Damar akan lebih mudah untuk memilih menghapus jejaknya dalam hidup Damar “.
Hushh, jangan ngawur gitu kalau ngomong..”
Bapak menatapku dalam-dalam, seolah hendak menyelami isi hatiku dan sesaat kemudian melemparkan pandangannya lurus ke tengah lapangan.
Karena Bapak tahu bagaimana hati seorang ayah terhadap anaknya..”
“ Hanya karena dia kebetulan yang menyebabkan aku lahir? Kemudian pergi tanpa tanggung jawab sedikitpun, tidak perduli istri dan anaknya masih hidup atau tidak? Itu yang di sebut hati seorang ayah?”
“ Bapak mengerti perasaanmu, tapi dia tetap ayah kandungmu yang harus kau hormati “
“ Dan kalau aku tidak bisa maka aku di sebut anak durhaka ya kan Pak? Kenapa dia tidak di sebut ayah durhaka?”
“ Damar..!” pintas bapak dengan intonasi agak tinggi.
Maaf, Damar tidak bermaksud kasar..”

Bapak menghela nafas  panjang dan merangkul pundakku dengan kasih.
Bapak tahu tidak mudah bagimu untuk menerima kenyataan bahwa kau harus menerima dan menghormati dia. Asal kau tahu inipun salah satu resiko tidak mudah yang harus bapak hadapi ketika memutuskan menikah dengan ibukmu “
“ Maksud bapak?”
“ Aku yang membesarkan dan selalu ada buatmu..bagiku kau sudah menjadi anak kandungku. Tapi kenyataannya ada laki-laki lain yang jelas-jelas adalah ayah kandungmu ? Dan bapak tidak mungkin meniadakan fakta itu. Sangat tidak mudah buat bapak, Mar. Dengan menekan rasa cemburu dan ego, bapak meyakinkan ibukmu agar mau memperkenalkan kamu dengan keluarga ayahmu demi hubungan silaturahim agar tidak putus..”
“ Iya, Damar sama-samar masih ingat. Dulu ibuk sesekali mengajak Damar ke rumah orang yang menyebutkan dirinya sebagai Eyang” 
“ Tidak mudah juga bagi  bapak saat harus berbesar hati memberikan alamatmu, Mar. Tapi bapak harus realistis, walau bagaimana tidak ada mantan orang tua dengan anaknya kan?”
Aku terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang di ucapkan bapak, berusaha meresapi dan mengendapkannya dalam hati serta meredam emosiku.

Sisi manusiawi bapak tidak rela, tiba-tiba dia muncul dan ingin di anggap sebagai ayah kandungmu. Tapi bapak akan jadi sosok ayah yang gagal mendidikmu jika bapak sendiri tidak mampu bersikap gentlemen dengan memberikan apa yang menjadi hak bagi kalian sebagai anak dan ayah..”
Aku terhenyak, terenyuh dalam palung haru yang terdalam. Sedemikian luar biasanya jiwa besar bapak. Dia yang sudah bersusah payah berselimut suka dan duka untuk membesarkan aku yang jelas-jelas bukan darah dagingnya, melimpahiku dengan perhatian dan kasih sayang. Dan dia berbesar hati meyakinkaku agar bisa menerima laki-laki yang mengaku sebagai ayah kandungku.
Terima kasih, bapak adalah ayahku yang terhebat” kupeluk bapak dengan sangat erat. Jika tidak ingat ini di lapangan, mungkin air mataku sudah menetes perlahan.
“ Jadi bagaimana..?”
“ Damar tidak akan mengecewakan bapak “ jawabku dengan suara serak “ Damar akan berusaha bersikap sportif terhadap ayah kandung Damar“
“ Maksudmu…?”
“ Dua puluh tujuh tahun tidak bisa ditebus dengan hitungan hari untuk melahirkan hubungan emosional antara ayah dan anak..”
“ Iya bapak mengerti itu “
“ Bapak sendiri yang suka bilang pada Damar bahwa tidak ada yang instan di dunia ini. Semua butuh proses dan waktu kan ?” 
“ Ya sudah, sekarang ayo kita pulang. Ibukmu sudah masak nasi goreng kesukaanmu lho?”

Kami pun beranjak dari stadion dengan diiringi sayup-sayup suara adzan Maghrib, menggema memecahkan langit Surabaya. Warna jingga mulai semburat di sisi barat dan angin senja pun seolah  berhenti sejenak untuk menjawab seruan suara muadzzin yang merdu mengumandangkan panggilan untuk menyerukan pada Allah azza wa jalla dalam sujud demi sujud yang khusyu. 


Noted: Sebagian cerita based on true story [ Edisi memfiksikan true story]. Masih harus banyak belajar dan berlatih lagi. #SEMANGAT




Ririe Khayan

Assalamulaikum. Hi I am Ririe Khayan a Lifestyle Blogger and live in Jogya. I’m the Author Of Kidung Kinanthi, a Personal Blog about my random thought, parenting, traveling, lifestyle, & other activity as well as Personal & Working Mom Story. Kindly feel free to contact me at: ririekhayan(at)gmail(dot)com

14 comments:

  1. Mengharukan dan sarat makna mak ... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. alur cerita dan pendalaman kisah masih dangkal banget Mbak :(

      Delete
  2. ceritanya bagus mak.... saya sebagai pembaca terbawa emosinya :)

    ReplyDelete
  3. keahraun atas postingan ini menyeruak kedalam kolbu yang dalam sebab penuh dengan makna kehidupan banget deh ih

    ReplyDelete
  4. fiksi campuran kisah nyata yaa ? kereeen lanjutkan yaa

    ReplyDelete
  5. JUDULNYA MEMANG MEMBINGUNGKAN MBAK, TAPI DARI CERITA DI ATAS DENGAN TEMA BAPAK ADALAH AYAHKU, BARU SAYA MENGERTI LEBIH LENGKAP, MEMANG SUDAH SEHARUSNYA SEORANG ANAK HARUS BERBAKTI PADA ORANG TUA, SALAM KENAL Y MBAK JANGAN LUPA MAMPIR,TERIMAKASIH

    ReplyDelete
  6. sungguh cerita yang mengharukan sekali

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya juga terharu kalo di lapangan voli. kalah mulu

      Delete
  7. ntar saya baca pas di kereta deh Insya Allah.
    saya pulang jam delapan nih.. heheee

    ReplyDelete
  8. pada suatu kenyataan kita harus menerima ayah yang selama ini merawat dan membesarkan kita...namun kita juga tidak bisa memungkiri kalau ada bapak kandung yang samapi sekarang belum kita temukan...dan sebagai anak, ada baiknya mengambil suatu hal bijak untuk memutuskan langkah selanjutnya yang memang sangat pelik dan saling berkaitan dengan suasana serba salah dan tidak mengenakkan...muantab...cerita yang sangat menyentuh gan.

    ReplyDelete
  9. udah bagus kok mbak ceritanya..

    ReplyDelete
  10. Di koneksi yang lemot, kok jadi ribet ya mo komen di sini.
    Ini komen yg ke-3. Entah masuk, entah tidak. Ho...7x

    @nuzululpunya

    ReplyDelete

Leave a comment or just be silent reader, still thank you so much.
Terima kasih telah singgah di Kidung Kinanthi.
Mohon maaf, atas ketidaknyamanan MODERASI Komentar.

Maaf ya, komentar yang terindikasi SPAM atau mengandung link hidup tidak akan dipublikasikan.

So, be wise and stay friendly.